Dalam fakta realitas sosial sekarang
khususnya di Indonesia, sering terlihat di media sosial ataupun di
televisi munculnya permasalahan sosial yang identik dengan tindakan
kekerasan yang semakin agresif yang terjadi di masyarakat. Salah
satunya yaitu konflik antaragama dalam satu kelompok ataupun suatu
kemompok masyarakat, baik konflik yang antarseagama ataupun beda
agama.
Sangat disayangkan jika masyarakat
Indonesia masih banyak yang belum sadar akan toleransi terhadap
agama-agama lain, padahal sudah dijelaskan dalam peraturan
perundang-undangan tentang HAM kebebasan beragama, kebebasan
menempati suatu wilayah, dan kebebasan untuk hidup. Bahkan, di
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah beragama Islam, di
dalam al-Qur’an sudah dijelaskan pula berbagai konsep toleransi
beragama yang sebenarnya sudah pernah terjadi pada saat Nabi Muhammad
SAW di Madinah. Berdasarkan
fakta dan alasan inilah menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana
toleransi dalam konsep kewarganegaraan dan konsep Islam terhadap
minoritas agama di Indonesia dalam konteks masakini.
Kinloch berpendapat bahwa kelompok
orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih
tinggi. Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai kelompok
minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih
rendah karena memiliki ciri yang berbeda dari biasanya sehingga
mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38). 1
Adapun signifikansinya terkait
kondisi di Indonesia saat ini bahwa toleransi antarumat beragama
harus lebih diterapkan dan digalakkan. Hal ini didasari oleh beberapa
alasan, yakni adanya kemiripan kondisi dan unsur-unsur pendukung
antara Indonesia dan Madinah pada masa Nabi yang mengharuskan
dilakukannya toleransi dan toleransi adalah salah satu ajaran
Muhammad SAW yang harus diikuti oleh umat Islam khusunya.2
Di Indonesia, beberapa agama
minoritas atau agama yang diyakini oleh kaum yang jumlahnya hanya
sedikit dalam suatu wilayah menjadi sasaran kekerasan dan intoleransi
agama oleh kaum mayoritas atas nama agama. Sangat disayangkan,
karena konflik ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia
dengan terbukti dari hasil penelitian Lembaga
Pemantau Kekerasan mencatat bahwa telah terjadi sebanyak 264 kasus
kekerasan minoritas agama pada tahun 2012.3
Subjek atau pelaku dari tindakan
kekerasan yang dimaksud adalah sekelompok militan dari kaum mayoritas
yang berusaha untuk melakukan tindakan mengintimidasi atau
mendiskriminasi, melecehkan berupa kata-kata yang tidak baik,
mengancam akan melakukan tindakan yang tidak baik, menyerang
rumah-rumah ibadah, dan tindakan kekerasan massal terhadap
anggota-anggota minoritas.
Agama minoritas dalam lingkup
Indonesia itu sendiri contohnya agama Budha,
Katolik, Kristen, bahkan Islam juga menjadi agama minoritas di
wilayah Indonesia bagian timur. Sikap intoleransi
terhadap agama minoritas ini sangat bertolak belakang terhadap Negara
Indonesia yang menganut sistem demokratis dalam pemerintahannya,
sehingga pemerintahannya melindungi Hak Asasi Manusia masyarakatnya,
salah satunya hak untuk beragama. Selain itu, Indonesia juga dikenal
sebagai Negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim moderat atau tidak
radikal, yang seharusnya tidak mempermasalahkan adanya perbedaan
dalam berkeyakinan atau beragama.
Contoh kasus intoleransi antaragama
yang terjadi yakni pada tanggal 7
Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di pusat
kota Jakarta setelah militan
Islam bersumpah balas dendam terhadap umat Budha di Indonesia karena
serangan terhadap kaum minoritas Muslim oleh umat Budha di Myanmar.
Sehari
kemudian setelah kejadian tersebut, bom molotov meledak di dalam
sebuah sekolah Katolik di Jakarta.
4
Selain itu, warga
Muslim di beberapa daerah Indonesia Timur, yang mayoritas warganya
beragama Kristen mengalami kesulitan untuk izin mendirikan tempat
beribadah atau masjid. Bahkan ada salah satu kelompok agama Islam di
Yogyakarta mengancam akan menghancurkan situs warisan dunia, yaitu
Borobudur dari UNESCO. Dalam kasus intoleransi antar sesama agama
juga terjadi di Indonesia, seperti pada tanggal 20 Juni 2013, sekitar
1000 warga kelompok militan Sunni mengepung stadion di mana warga
Syiah berlindung. Mereka menuntut warga Syiah untuk pindah, keluar
dari Pulau Madura. Para penyerang dari kelompok mayoritas membakar
sekitar 50 rumah, menewaskan satu warga dan menyebabkan seseorang
luka parah.5
Akibatnya, kasus
intoleransi agama terhadap kaum minoritas menjadi penyebab terbesar
kedua dari kasus pelanggaran HAM di Indonesia menurut Organisasi Hak
Asasi Manusia: Kontras, meningkatnya “siar kebencian” atas nama
Islam di Indonesia menurut Wahid Institute Jakarta.6
Selain itu
munculnya permasalahan sosial baru berupa konflik-konflik masyarakat
yang dipicu atau dilatarbelakangi oleh masalah antarumat beragama.
Hal ini dikarenakan warga yang terlibat didalam konflik tersebut
sensitif terhadap hal yang menyangkut agama atau fanatik terhadap
agama yang dianutnya, seperti konflik yang terjadi di Poso yang
timbul karena gagalnya kristenisasi terhadap umat Islam secara halus
sehingga mereka melakukan tindakan kekerasan dan mengusir warga yang
beragama Islam yang tidak mau mengikuti agamanya.7
Solusi untuk mengurangi terjadinya
intoleransi agama di Indonseia, salah satunya ialah adanya penegakan
keadilan dari pemerintah terhadap kaum minoritas agama, memiliki
strategi-strategi guna mengurangi kekerasan atas nama agama baik
secara formal yaitu melaui pendidikan ataupun seminar dan nonformal
yaitu terjun langsung ke masyarakat dengan memberikan pendidikan
agama yang baik dan benar serta pendidikan kewarganegaraan agar dapat
menjadi warga negara yang selalu menjunjung tinggi HAM.
Selain itu, sebagai warga negara yang
baik, maka perlu menjalin hubungan serta kerjasama secara damai,
saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu
antarberbagai golongan dalam masyarakat sebagai suatu bangsa untuk
menghilangkan prasangka dan kebencian serta mengusahakan
kesejahteraan bersama.8
Dalam konsep kewarganegaraan tidak
dikenal kategori ”mayoritas” ataupun ”minoritas”, karena
seluruh penduduk adalah warga negara yang berarti seluruh penduduk
masuk dalam kategori ”mayoritas”. Perlu diketahui, bahwa untuk
menjadi Negara yang demokratis untuk saat ini di Indonesia masih
dalam tahap proses, sehingga perlu adanya negosiasi terhadap
masyarakat secara terus menerus sesuai dengan konteks sosial
budayanya. Lalu perlunya bimbingan dan pendidikan sejak dini terhadap
Warga Negara Indonesia untuk beragama secara tidak radikal, tidak
menyelesaikan suatu permasalahan dengan jalur kekerasan yang dapat
melanggar HAM warga lainnya, dan perlunya kesadaran akan HAM,
khususnya hak untuk beragama yang dilindungi oleh Negara.
Untuk mencegah terjadinya konfilk
akibat intoleransi agama, maka perlu adanya kerjasama dari semua
pihak untuk menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan UUD.
Pemerintah sangat serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban
antarumat beragama baik berdasarkan konstitusi maupun
pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama memiliki
tanggung jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun
daerah, di era demokrasi sebagai pemangku kekuasaan, termasuk juga
media untuk bersama-sama menyejukkan kerukunan beragama. (Sekretaris
Kabinet, Dipo Alam).9
Adanya kelompok mayoritas dan
minoritas dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan
keniscayaan. Sebab, hal itu sebagai takdir Tuhan. Bahkan, salah satu
mantan rektor IAIN Jakarta, Harun Nasution mengatakan “kita harus
selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari
berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan teologi.
Kalau kita bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka kita bisa
menoleransi perbedaan diluar Islam”. Prinsip dari toleransi adalah
bertetangga dengan baik; saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama; membela mereka yang teraniaya; saling menasehati, dan
menghormati kebebasan beragama. 10
Dalam konsep Islam, toleransi disebut
dengan “tasamuh”
yang berarti sama-sama berlaku baik, lemah lembut dan saling pemaaf,
akhlak terpuji dalam pergaulan, saling menghargai antar sesama
manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam.
Macam-macam
tasamuh atau toleransi dalam Islam:
- antar sesama muslim : tolong menolong, saling menghargai, menyayangi, menasehati, dan tidak curiga mencurigai.
- terhadap non muslim : menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam satu negara.
Toleransi
dalam Islam juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadis
sebagai berikut:11
- Tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat.
- Menjamin adanya kebebasan beragama dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 6:
Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku".
- Tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka, karena mereka nanti akan membalasnya dengan memaki Allah dengan melampaui batas dalam Q.S. Al-An'am ayat 108:
Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
- Tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi, karena Allah menyukai orang yang berlaku adil dalam Q.S. Al-Mumtahanah 8:
Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu.
5.
Memberi perlindungan atau jaminan keselamatan.
Rasulullah mengajarkan pentingnya
toleransi, yaitu tidak hanya toleransi pasif (hidup berdampingan
secara damai), akan tetapi juga toleransi aktif dan positif atau
praktek dari sikap toleransi tersebut berupa tindakan terpuji, yaitu
berbuat baik dan berlaku adil. Contoh :
- Nabi memaafkan dan mendoakan kaum
yang telah berbuat jahat kepadanya
- Nabi membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat, yaitu antara kaum Muslim, Quraisy dan Yahudi.
- Nabi membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat, yaitu antara kaum Muslim, Quraisy dan Yahudi.
Sabda Nabi : “Sesungguhnya orang
Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan,
sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang”.
- Penaklukkan Kota Makkah, Nabi memaafkan penduduk Makkah yang selama ini memusuhinya dan membiarkan mereka hidup di kota Makkah.
- Penaklukkan Kota Makkah, Nabi memaafkan penduduk Makkah yang selama ini memusuhinya dan membiarkan mereka hidup di kota Makkah.
Adapun batasan toleransi adalah
apabila toleransi kita tidak lagi disambut baik oleh mereka yang
menentang dengan menyatakan perang. Akan tetapi kita tidak boleh
langsung membalasnya, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan
pendekatan untuk "memanggil" atau menyadarkan. Jika tidak
berhasil, maka dapat dnyatakan untuk perang. Seperti firman Allah
dalam Q.S. Al-Fushshilat ayat 34 yang artinya: Dan tidaklah sama
kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang
lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya ada permusuhan itu
seolah-olah menjadi teman yang setia.
Islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin. Nabi Muhammad tidak pernah mengawali perang sebelum para
penentang Islam yang lebih dahulu melawan Islam dan Nabi pernah
dibaikot, dicela, dan diusir, akan tetapi beliau lebih memilih untuk
memerintahnya umatnya hijrah. Nabi Muhammad telah mengajarkan bahwa
dalam menyebarkan agama Islam dengan jalan dakwah, tidak dengan
kekerasan atau dengan jalan pedang.
Terdapat pesan moral dalam sabda Nabi
saat beliau melakukan Haji Wada’, yaitu bahwa setiap muslim
bersaudara dengan muslim lainnya. Di antara muslim tidak ada ras dan
suku bangsa. Janganlah kalian keluar meninggalkan persaudaraan Islam
dan janganlah memutuskan tali silaturahmi diantara kalian. Kalian
semua adalah sama-sama keturunan Adam As, hapuskanlah pertikaian
diantara kalian, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling
bertakwa kepada Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa toleransi
antarumat beragama harus lebih diterapkan dan digalakkan di Indonesia
dalam konteks saat ini. Melihat dari faktanya, bahwa konflik
ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia. Karena sudah jelas
diterangkan dalam konsep Negara Indonesia maupun konsep agama Islam
bahwa sikap toleransi antarmanusia sangat dijunjung tinggi
keberadaanya, baik dalam UUD, al-Qur’an, ataupun Hadis. Sehingga,
toleransi aktif dan positiflah solusi yang dapat menjadikan Indonesia
menjadi lebih baik kedepannya.
1
Kamanto Sunato,
Hubungan Antarkelompok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), hlm.142
2
http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan,
diakses pada tanggal 29 April 2015
3
Ibid
4
http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan,
diakses pada tanggal 29 April 2015
5
http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan
6
Ibid.
8
Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural: Teori
Hak-Hak Minoritas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), hlm. 70
9
Dipo Alam, Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami,
(Jakarta: Cyber News), hlm.151
10
Jamhari, Kelompok Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan (Jakarta:
Berita UIN Online)
11
Robingan Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam 3
(Solo: PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010), hlm.57
Daftar
Pustaka
Alam, Dipo. Kelompok
Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami.
Jakarta: Cyber News.
Apriliani, Ayu. 2015. Wawancara
"Tanggapan Terhadap Kasus Intoleransi Agama di Yogyakarta
Baqir, Yusuf Qardhawi dan Muhammad.
Minoritas Non Muslim
di dalam Masyarakat Islam.
Bandung: Karisma, 1994.
Jamhari. Kelompok
Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan.
Jakarta: Berita UIN Online.
Khalil, Ribingan Munawar. Teladan
Utama Pendidikan Agama Islam 3.
Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010.
Kymlicka, Will. Kewargaan
Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas.
Jakarta: LP3ES, 2002.
Sunato, Kamanto. Hubungan
Antarkelompok Pengantar Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Rkonomi UII, 2004.
Laman Human Right Watch:
http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar