Rabu, 27 Mei 2015

TOLERANSI TERHADAP AGAMA MINORITAS DI INDONESIA

Dalam fakta realitas sosial sekarang khususnya di Indonesia, sering terlihat di media sosial ataupun di televisi munculnya permasalahan sosial yang identik dengan tindakan kekerasan yang semakin agresif yang terjadi di masyarakat. Salah satunya yaitu konflik antaragama dalam satu kelompok ataupun suatu kemompok masyarakat, baik konflik yang antarseagama ataupun beda agama.
Sangat disayangkan jika masyarakat Indonesia masih banyak yang belum sadar akan toleransi terhadap agama-agama lain, padahal sudah dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM kebebasan beragama, kebebasan menempati suatu wilayah, dan kebebasan untuk hidup. Bahkan, di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah beragama Islam, di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan pula berbagai konsep toleransi beragama yang sebenarnya sudah pernah terjadi pada saat Nabi Muhammad SAW di Madinah. Berdasarkan fakta dan alasan inilah menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana toleransi dalam konsep kewarganegaraan dan konsep Islam terhadap minoritas agama di Indonesia dalam konteks masakini.
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih tinggi. Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri yang berbeda dari biasanya sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38). 1
Adapun signifikansinya terkait kondisi di Indonesia saat ini bahwa toleransi antarumat beragama harus lebih diterapkan dan digalakkan. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, yakni adanya kemiripan kondisi dan unsur-unsur pendukung antara Indonesia dan Madinah pada masa Nabi yang mengharuskan dilakukannya toleransi dan toleransi adalah salah satu ajaran Muhammad SAW yang harus diikuti oleh umat Islam khusunya.2
Di Indonesia, beberapa agama minoritas atau agama yang diyakini oleh kaum yang jumlahnya hanya sedikit dalam suatu wilayah menjadi sasaran kekerasan dan intoleransi agama oleh kaum mayoritas atas nama agama. Sangat disayangkan, karena konflik ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia dengan terbukti dari hasil penelitian Lembaga Pemantau Kekerasan mencatat bahwa telah terjadi sebanyak 264 kasus kekerasan minoritas agama pada tahun 2012.3
Subjek atau pelaku dari tindakan kekerasan yang dimaksud adalah sekelompok militan dari kaum mayoritas yang berusaha untuk melakukan tindakan mengintimidasi atau mendiskriminasi, melecehkan berupa kata-kata yang tidak baik, mengancam akan melakukan tindakan yang tidak baik, menyerang rumah-rumah ibadah, dan tindakan kekerasan massal terhadap anggota-anggota minoritas.
Agama minoritas dalam lingkup Indonesia itu sendiri contohnya agama Budha, Katolik, Kristen, bahkan Islam juga menjadi agama minoritas di wilayah Indonesia bagian timur. Sikap intoleransi terhadap agama minoritas ini sangat bertolak belakang terhadap Negara Indonesia yang menganut sistem demokratis dalam pemerintahannya, sehingga pemerintahannya melindungi Hak Asasi Manusia masyarakatnya, salah satunya hak untuk beragama. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim moderat atau tidak radikal, yang seharusnya tidak mempermasalahkan adanya perbedaan dalam berkeyakinan atau beragama.
Contoh kasus intoleransi antaragama yang terjadi yakni pada tanggal 7 Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di pusat kota Jakarta setelah militan Islam bersumpah balas dendam terhadap umat Budha di Indonesia karena serangan terhadap kaum minoritas Muslim oleh umat Budha di Myanmar. Sehari kemudian setelah kejadian tersebut, bom molotov meledak di dalam sebuah sekolah Katolik di Jakarta. 4
Selain itu, warga Muslim di beberapa daerah Indonesia Timur, yang mayoritas warganya beragama Kristen mengalami kesulitan untuk izin mendirikan tempat beribadah atau masjid. Bahkan ada salah satu kelompok agama Islam di Yogyakarta mengancam akan menghancurkan situs warisan dunia, yaitu Borobudur dari UNESCO. Dalam kasus intoleransi antar sesama agama juga terjadi di Indonesia, seperti pada tanggal 20 Juni 2013, sekitar 1000 warga kelompok militan Sunni mengepung stadion di mana warga Syiah berlindung. Mereka menuntut warga Syiah untuk pindah, keluar dari Pulau Madura. Para penyerang dari kelompok mayoritas membakar sekitar 50 rumah, menewaskan satu warga dan menyebabkan seseorang luka parah.5
Akibatnya, kasus intoleransi agama terhadap kaum minoritas menjadi penyebab terbesar kedua dari kasus pelanggaran HAM di Indonesia menurut Organisasi Hak Asasi Manusia: Kontras, meningkatnya “siar kebencian” atas nama Islam di Indonesia menurut Wahid Institute Jakarta.6
Selain itu munculnya permasalahan sosial baru berupa konflik-konflik masyarakat yang dipicu atau dilatarbelakangi oleh masalah antarumat beragama. Hal ini dikarenakan warga yang terlibat didalam konflik tersebut sensitif terhadap hal yang menyangkut agama atau fanatik terhadap agama yang dianutnya, seperti konflik yang terjadi di Poso yang timbul karena gagalnya kristenisasi terhadap umat Islam secara halus sehingga mereka melakukan tindakan kekerasan dan mengusir warga yang beragama Islam yang tidak mau mengikuti agamanya.7
Solusi untuk mengurangi terjadinya intoleransi agama di Indonseia, salah satunya ialah adanya penegakan keadilan dari pemerintah terhadap kaum minoritas agama, memiliki strategi-strategi guna mengurangi kekerasan atas nama agama baik secara formal yaitu melaui pendidikan ataupun seminar dan nonformal yaitu terjun langsung ke masyarakat dengan memberikan pendidikan agama yang baik dan benar serta pendidikan kewarganegaraan agar dapat menjadi warga negara yang selalu menjunjung tinggi HAM.
Selain itu, sebagai warga negara yang baik, maka perlu menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu antarberbagai golongan dalam masyarakat sebagai suatu bangsa untuk menghilangkan prasangka dan kebencian serta mengusahakan kesejahteraan bersama.8
Dalam konsep kewarganegaraan tidak dikenal kategori ”mayoritas” ataupun ”minoritas”, karena seluruh penduduk adalah warga negara yang berarti seluruh penduduk masuk dalam kategori ”mayoritas”. Perlu diketahui, bahwa untuk menjadi Negara yang demokratis untuk saat ini di Indonesia masih dalam tahap proses, sehingga perlu adanya negosiasi terhadap masyarakat secara terus menerus sesuai dengan konteks sosial budayanya. Lalu perlunya bimbingan dan pendidikan sejak dini terhadap Warga Negara Indonesia untuk beragama secara tidak radikal, tidak menyelesaikan suatu permasalahan dengan jalur kekerasan yang dapat melanggar HAM warga lainnya, dan perlunya kesadaran akan HAM, khususnya hak untuk beragama yang dilindungi oleh Negara.
Untuk mencegah terjadinya konfilk akibat intoleransi agama, maka perlu adanya kerjasama dari semua pihak untuk menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan UUD. Pemerintah sangat serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai pemangku kekuasaan, termasuk juga media untuk bersama-sama menyejukkan kerukunan beragama. (Sekretaris Kabinet, Dipo Alam).9
Adanya kelompok mayoritas dan minoritas dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan keniscayaan. Sebab, hal itu sebagai takdir Tuhan. Bahkan, salah satu mantan rektor IAIN Jakarta, Harun Nasution mengatakan “kita harus selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan teologi. Kalau kita bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka kita bisa menoleransi perbedaan diluar Islam”. Prinsip dari toleransi adalah bertetangga dengan baik; saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; membela mereka yang teraniaya; saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. 10
Dalam konsep Islam, toleransi disebut dengan “tasamuh” yang berarti sama-sama berlaku baik, lemah lembut dan saling pemaaf, akhlak terpuji dalam pergaulan, saling menghargai antar sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam.
Macam-macam tasamuh atau toleransi dalam Islam:
  1. antar sesama muslim : tolong menolong, saling menghargai, menyayangi, menasehati, dan tidak curiga mencurigai.
  2. terhadap non muslim : menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam satu negara.
Toleransi dalam Islam juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadis sebagai berikut:11
  1. Tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
  1. Menjamin adanya kebebasan beragama dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 6:
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
  1. Tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka, karena mereka nanti akan membalasnya dengan memaki Allah dengan melampaui batas dalam Q.S. Al-An'am ayat 108:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
  1. Tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi, karena Allah menyukai orang yang berlaku adil dalam Q.S. Al-Mumtahanah 8:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
5. Memberi perlindungan atau jaminan keselamatan.
Rasulullah mengajarkan pentingnya toleransi, yaitu tidak hanya toleransi pasif (hidup berdampingan secara damai), akan tetapi juga toleransi aktif dan positif atau praktek dari sikap toleransi tersebut berupa tindakan terpuji, yaitu berbuat baik dan berlaku adil. Contoh :
- Nabi memaafkan dan mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepadanya
- Nabi membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat, yaitu antara kaum Muslim, Quraisy dan Yahudi.
Sabda Nabi : “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang”.
- Penaklukkan Kota Makkah, Nabi memaafkan penduduk Makkah yang selama ini memusuhinya dan membiarkan mereka hidup di kota Makkah.
Adapun batasan toleransi adalah apabila toleransi kita tidak lagi disambut baik oleh mereka yang menentang dengan menyatakan perang. Akan tetapi kita tidak boleh langsung membalasnya, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk "memanggil" atau menyadarkan. Jika tidak berhasil, maka dapat dnyatakan untuk perang. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Fushshilat ayat 34 yang artinya: Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia. 
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Nabi Muhammad tidak pernah mengawali perang sebelum para penentang Islam yang lebih dahulu melawan Islam dan Nabi pernah dibaikot, dicela, dan diusir, akan tetapi beliau lebih memilih untuk memerintahnya umatnya hijrah. Nabi Muhammad telah mengajarkan bahwa dalam menyebarkan agama Islam dengan jalan dakwah, tidak dengan kekerasan atau dengan jalan pedang.
Terdapat pesan moral dalam sabda Nabi saat beliau melakukan Haji Wada’, yaitu bahwa setiap muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Di antara muslim tidak ada ras dan suku bangsa. Janganlah kalian keluar meninggalkan persaudaraan Islam dan janganlah memutuskan tali silaturahmi diantara kalian. Kalian semua adalah sama-sama keturunan Adam As, hapuskanlah pertikaian diantara kalian, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa toleransi antarumat beragama harus lebih diterapkan dan digalakkan di Indonesia dalam konteks saat ini. Melihat dari faktanya, bahwa konflik ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia. Karena sudah jelas diterangkan dalam konsep Negara Indonesia maupun konsep agama Islam bahwa sikap toleransi antarmanusia sangat dijunjung tinggi keberadaanya, baik dalam UUD, al-Qur’an, ataupun Hadis. Sehingga, toleransi aktif dan positiflah solusi yang dapat menjadikan Indonesia menjadi lebih baik kedepannya.

1 Kamanto Sunato, Hubungan Antarkelompok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), hlm.142
3 Ibid
5 http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan
6 Ibid.
7 Wawancara dengan Ayu Apriliani (Konselor), tanggal 30 April 2015 di Yogyakarta.
8 Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural: Teori Hak-Hak Minoritas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), hlm. 70
9 Dipo Alam, Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami, (Jakarta: Cyber News), hlm.151
10 Jamhari, Kelompok Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan (Jakarta: Berita UIN Online)
11 Robingan Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam 3 (Solo: PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010), hlm.57

Daftar Pustaka


Alam, Dipo. Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami. Jakarta: Cyber News.
Apriliani, Ayu. 2015. Wawancara "Tanggapan Terhadap Kasus Intoleransi Agama di Yogyakarta
Baqir, Yusuf Qardhawi dan Muhammad. Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam. Bandung: Karisma, 1994.
Jamhari. Kelompok Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan. Jakarta: Berita UIN Online.
Khalil, Ribingan Munawar. Teladan Utama Pendidikan Agama Islam 3. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010.
Kymlicka, Will. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas. Jakarta: LP3ES, 2002.
Sunato, Kamanto. Hubungan Antarkelompok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Rkonomi UII, 2004.
Laman Human Right Watch: http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar