A. Pengertian Akulturasi dan Budaya Lokal
Akulturasi
adalah suatu proses sosial yang timbul karena ada kebudayaan
asing yang masuk dan
kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa
menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Akulturasi
terjadi karena adanya keterbukaan suatu masyarakat, “perkawinan”
dua kebudayaan, kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan yang maju yang mengajarkan
seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap
mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan. [1]
Sedangkan budaya adalah suatu cara berfikir
dan cara merasa yang menyatakan diri dalam keseluruhan segi kehidupan dari segolongan
manusia yang membentuk kesatuan social dalam suatu ruang dan waktu.[2]
Budaya lokal adalah bagian dari
sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis, bukan berdasarkan baik dan
buruk). Budaya lokal juga merupakan budaya milik penduduk asli yang merupakan
warisan budaya. Jadi budaya lokal adalah kebudayaan yang berlaku dan dimiliki
tiap daerah atau suku bangsa.
B.
Pengertian “Sekaten”
Sekaten merupakan acara peringatan
ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada tiap tanggal 12 Maulud atau bulan
ketiga tahun Jawa di alun-alun utara Yogyakarta. [3]
Pendapat lain mengatakan bahwa
Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain (dua kalimat syahadat) yang
kemudian berangsung-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi
Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang.
Sekaten selain berasal dari kata
syahadatain juga berasal dari beberapa kata, yaitu Sahutain (menghentikan atau
menghindari dua perkara, yaitu lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan
dua perkara, yaitu sifat hewan dan sifat setan yang melambangkan kerusakan),
Sakhotain (menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi luhur dan menyembah
Tuhan), Sekati (setimbang dalam menilai hal-hal yang baik dengan yang buruk),
dan Sekat ( batas untuk tidak berbuat kejahatan, yaitu tahu dimana batas
kebaikan dengan kejahatan).[4]
Sekaten merupakan suatu upacara
keagamaan, dimana gamelan dibunyikan di halaman masjid dengan tujuan agar orang
masuk masjid dengan membaca dua kalimat syahadat. Gamelan merupakan suatu alat
yang dipakai oleh Sunan Kalijaga untuk melambangkan agama Islam, karena pada
zaman dahulu masyarakat Yogyakarta gemar memainkan gamelan yang kemudian dimanfaatkan
sebagai alat untuk da’wah dan penghormatan terhadap Hari Raya Islam, salah
satunya yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. [5]
Maka dapat penulis simpulkan bahwa,
Sekaten adalah sebuah upacara keagamaan tradisi keraton Yogyakarta yang
dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut dari tanggal 6 hingga 12 sebagai wujud
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada tanggal 12
Mulud atau bulan ketiga tahun Jawa di alun-alun utara Yogyakarta.
C.
Sejarah Munculnya Tradisi “Sekaten”
Ada dua pendapat dalam memahami
sejarah munculnya tradisi sekaten di Yogyakarta :
Pertama, dahulu pada abad ke-4 didalam
kitab Palindriya karangan Empu Sunda, setiap memasuki awal tahun baru (mangsa
Kartika), Prabu Sitawaka mengadakan upacara selamatan Rajawedha untuk
bersedekah pada para kawula serta selamatan agar sarira dalem, kawula dalem,
keraton dalem, putra sentana dalem dan semuanya mendapatkan keselamatan dan
dijauhkan dari segala halangan dan bencana. Setelah selesai memuja para wadu
wandawa kemudian dibacakan wedha, yang merupakan ajaran luhur, setelah selesai
pembacaan wedha, sedekah dalem kemudian diperintahkan untuk dikepung, hari itu
juga para kawula yang berada dipedasan diperintahkan untuk mengadakan
keselamatan dengan maksud yang sama, hanya namanya saja yang berbeda. Adapun
namanya grama Wedha, adapun yang ditugaskan untuk membaca wedha adalah para
pandhita.
Makna dari selamatan serta sedekah
dalem tersebut ada kaitannya dengan hajat dalem di dalam perayaan Sekaten.
Letak perbedaannya terletak pada pelaksanaannya, pada masa dahulu dilaksanakan
pada bulan kartika, sedangkan pada masa sekarang dilaksanakan pada hari Garebeg
tanggal 10 besar, 12 Maulud serta 1 Syawal.[6]
Perayaan “Sekaten” atau “Grebeg
Maulud” pada tahun Dal pelaksanaannya dilakukan secara besar-besaran, hal
tersebut dikarenakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin Pon
tanggal 14 Rabiul Akhir tahun Dal. Maka pada tahun Dal upacara peringatan
Maulud Nabi dilaksanakan dengan cara besar-besaran, serta dijatuhkan pada hari
Senin Pon, hal tersebut berdasarkan perhitungan tahun almanac Pawukon di tahun
Dal terdapat perubahan umur bulan, agar pada tanggal 12 Maulud jatuh pada hari
Senin Pon. [7]
Dalam sejarahnya, sekaten dahulu digunakan untuk perayaan selametan Raja Wedha (kitab suci
raja), lalu Raja Meda (hewan kurban dari Raja), yang kemudian pada zaman Prabu Hajipasama,
diganti dengan sesaji mahesa lawung (kerbau) sebagai tolak bala berbagai
penyakit. Oleh Prabu Sitawaka dilengkapi dengan sesaji Gramawedha yang berarti
disucikan dengan api. Hingga pada zaman Sultan Agung semua itu kemudian
diselaraskan seperti sekaten sekarang dengan Pancaprasada (yang berpuncak
lima), Gunungan Mandaragiri.[8]
Kedua, dalam serat babat menyebutkan sekaten
dimulai sejak zaman kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa
yang berdiri setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478
Masehi. Berakhirnya kerajaan Majapahit maka berakhir pula kerajaan Hindu di
Jawa. Namun, pada saat itu orang Jawa masih menganut paham Hindu, kepercayaan
Animisme, dan Dinamisme yang masih kuat. Maka Raden Patah (Raja Demak pertama) bersama
Wali Songo (Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati) bekerjasama mengajak
masyarakat untuk masuk Islam.
Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa
menyukai seni musik gamelan. Gamelan dipakai sebagai pelengkap didalam
pertunjukan wayang, pengiring gendhing Jawa (tembang), yang kemudian oleh Sunan
Kalijaga gamelan tersebut dimanfaatkan sebagai alat untuk da’wah dan
penghormatan terhadap Hari Raya Islam, salah satunya yaitu pada hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Sunan Kalijaga menggunakan gamelan yang dibunyikan di
halaman masjid agar masyarakat tertarik dan berkumpul. Ternyata banyak
masyarakat yang tertarik untuk datang ke masjid sebelum tanggal 12 Mulud,
kemudian bupati beserta para rakyartnya menggiring raja ke masjid yang kemudian
timbul kata “Garebeg” yang berasal dari kata “Anggrubyung” yang berarti
menggiring atau berkerumun. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran
tentang dasar-dasar ajaran agama Islam, seperti makna dan tujuan dua kalimat
Syahadat. Adapun orang yang ingin masuk Islam maka diwajibkan membaca dua
syahadat (syahadatain) yang kemudian orang jawa menyebutnya dengan “Sekaten”.[9]
D.
Tujuan Tradisi “Sekaten”
Tujuan
utama Sekaten adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Oleh
karena itu tradisi ini bernama Garebeg Maulud. Kata “Maulud” berasal dari
bahasa Arab yang artinya “kelahiran” (kelahiran Nabi Muhammad SAW) tanggal 12
Rabi’ul Awal (kalender Arab), 12 Maulud (kalnder Jawa).
Dari
segi sosial, sebuah tradisi atau kesenian tradisional mampu membangun dan
memelihara solidaritas masyarakat Yogyakarta. Sekaten merupakan momentum
ungkapan rasa syukur Sultan atas segala karunia Tuhan yang telah diberikan
kepadanya dan rakyatnya yang disimbolkan dalam bentuk penyajian gunungan yang
dibagikan kepada seluruh masyarakat.
Sedangkan
bagi masyarakat Yogyakarta, sekaten merupakan sebuah momentum mendapatkan
berkah dari seorang Raja yang selalu mereka agungkan dengan memperebutkan
gunungan-gunungan yang disajikan sebagai penolak bala atau penarik rezeki. [10]
E.
Prosesi Perayaan Tradisi
“Sekaten”
Sebelum prosesi perayaan tradisi sekaten dilaksanakan,
diadakan terlebih dahulu upacara persiapan fisik berupa peralatan dan
perlengkapan upacara sekaten, yaitu :[11]
1. Gamelan Sekaten
Gamelan sekaten adalah benda pusaka
keraton yang dibuat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian dibidang karawitan
dengan laras pelog dan dipukul dengan alat pemukul yang terbuat dari tandung
lembu atau kerbau.
2. Gendhing Sekaten
Gendhing
sekaten merupakan serangkaian lagu gendhing.
Selain itu juga
terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya, seperti uang logam, bunga kanthil,
busana seragam sekaten serta naskah riwayat Nabi Muhammad.
Prosesi perayaan tradisi “Sekaten” diuraiakan
sebagai berikut :
1.
Perayaan Pasar Malam
Mulai tanggal 5 bulan Maulud (Rabiul
Awal) di alun-alun utara ada perayaan pasar malam dengan berbagai stand jualan
seperti pasar maupun pameran dan hiburan. Dahulu alun-alun utara bagian barat
dekat regol Masjid lebih banyak digunakan untuk stand berjualan makanan,
minuman ataupun sandang, sedang stand hiburan lebih banyak menempati akun-alun
bagian timur. Bahan sajian untuk stand makanan adalah nasi uduk dengan lauk
seperti Rasulan (nasi uduk, opor ayam, pencok, sambel pecel, lalapan tokolan
mentah, timun, seledri, dll). Dan sepuluh hari menjelang Garebeg di Kraton
Yogyakarta tepatnya di pagelaran dan siti hinggul diadakan pameran benda-benda
kraton.[12]
2.
Setan Gending
Pada tanggal 9 Maulud sore hari kurang lebih jam 05:00 sore
dimualai acara tumplak Wajik dan sarat upacara sugengan lainnya untuk pangrukti
pembuaan gunungan sekaten. Dilaksanakan di kagungan dalem Magangan di pojok
barat daya yang dikerjakan abdi dalem “Wadanansing Gusti Kilenan” yang di pojok
tenggara para abdi “Wadananing para Gusti Wetanan”.
Upacara tumplak wajik ini diiringi dengan gejong lesung yang
dilakukan oleh abdi Dalem Panewu Manteri peneket nganjeng (abdi dalem gladhag)
dengan pakaian. Cara kalau sedang saos (piket), iringan gejong lesung ini
dengan gendhing “Setan Gendring”. Yang artinya setan lari terbirit-birit.[13]
3.
Gladi Resik
Pada tanggal 10 Maulud diadakan upacara
Gladhi Resik dengan mengirabkan para prajurit mengelilingi beteng di alun-alun
kidul. Tujuannya melatih kekompakan baris berbaris, keterampilan senjata,
kekompakan music, dll. Abdi dalem prajurit siaga disebelah selatan pohon
beringin membujur ketimur dalam dua saf. Rangkap dua di depan yang membawa
tombak satu saf dan ada yang dibelakang membawa senapan dengan jarak 4 meter
dari prajurit yang bersenjata senapan. Dengan urutan yang berpangkat tinggi
disebelah barat menurun ke timur pangkat rendah.
Parade baris-berbaris pasukan prajurit
berparade mengelilingi alun-alun selatan menuju Sultan dengan jalan yang
disebut Lampah Macak. Diawali dari korp prajurit Wirabraja, diikuti prajurit
Dhaeng, Kawandasa, Jagakarya, Prawiratamaketanggung, Mantrijero, dan
Langenghastra. Kemudian jika telah sampai, prajurit hormat kepada Sultan dengan
merebahkan benderanya. Lalu diperintahkan untuk latihan “Karbinan”, yaitu
menembak dengan peluru kosong tiga kali kemudian pasukan dibubarkan.[14]
4.
Malam Maulid Nabi di Serambi Masjid
Pada tanggal 11 Maulud malam 12 (malam gerebeg), Sri Sultan
berkenan menghadiri perayaan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, diserambi
Masjid besar. Setelah semua tertata, Sultan memerintahkan kepada Kyai Pangulu
membaca surat Maulud Nabi. Saat pembacaan serat maulud nabi sampai dua
angkatan, sultan masuk Masjid disertai Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati anom,
serta para pangeran yang lain duduk ditempat pesalatan bagian selatan dijamu
minum oleh Kyai Pengelu. Setelah menyantap hidangan, Sultan duduk kembali
diserambi sampai syurokal, Sultan berdiri dan hadirin yang lain juga hormat
berdiri. Lalu Sultan kembali ke keraton, sedang di masjid, Kyai pengulu terus
meneruskan pembacaan serat Maulud Nabi.[15]
5.
Upacara Sekaten atau Garebeg Maulud
Garebeg Maulud merupakan upacara
tradisional sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan
arak-arakan gunungan yang rutin digelar setiap tahunnya. Pada tanggal 12 Mulud
mulai jam 05:00 pagi, hajat dalem berupa gunungan dan kelengkapannya dari
Magangan dibawa ke Kamandhungan melewati pelataran Kedhaton, Srimanganti sampai
Kamandhungan berhenti menunggu prosesi upacara grebeg.
Jam 08:00 Sultan memeriksa barisan prajurit yang berjalan dari magangan menuju Sri
Manganti untuk menghormati kehadiran Residen dan sekaligus menghormati miyos
dalem ke siti hinggil. Jam 09:00 Sultan memerintahkan kepada Pangeran Lurah
Sundhaka dalem untuk memerintahkan kepada Abdi Dalem Nayakan Lurah lebet
menjemput Residen. Lalu Sultan duduk di bangsal kencana.
Di
Karesidhenan jam 09:00 menemui para tamu undangan upacara grebeg antara lain
komandan prajurit, komandan beteng Vredebrug, kanjeng Gusti Pangeran Hadati
Paku Alam.
Residen
kemudian berangkat ke Keraton bersama-sama tamu undangannya. Setiba di keraton,
kedatangan Residen disambut hormat prajurit “Presentir” dengan membunyikan korps
musiknya masing-masing dan disambut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati anom. Sesampai
di emper bangsal kencana perpisahan dengan KGPA Anom disambut Sultan. Sesaat
kemudian Sultan berangkat ke Siti Hinggil bersama Abdi Dalem Magang, Jajar,
Lurah Wadana, Bupati, Bupati Wadana Ageng Punakawan, KGPA Alam serta tamu
undangan lain. [16]
F. Hubungan
Tradisi “Sekaten” dengan Islam
Bagi
keraton, sekaten memiliki makna religius yang berkaitan dengan kewajiban Sultan
menyiarkan agama Islam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayyidin Panatagama yang
berarti pemimpin tertinggi agama, khususnya agama Islam.
Perayaan Sekaten bertepatan dengan Hari
Raya Maulud Nabi, yang merupakan tradisi kelanjutan para wali. Fungsi sekaten
merupakan media penyampaian dakwah agama Islam melalui kebudayaan. Di dalam
salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW sebagai
salah satu utusan Allah yang diperintahkan sebagai Rahmatan lil Alamin yang
memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini
sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur.
Sekaten berfungsi sebagai upacara religius
keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah. Gamelan
ditabuh dengan maksud untuk menarik masyarakat Yogyakarta. Karena pengunjungnya
sangat banyak, maka dimanfaatkan dengan diadakan
khotbah yang bernuansa Islam untuk menggugah keimanan mereka dan menghayati
perintah Nabi Muhammad SAW. [17]
[1] Eddy Strada,
“Pengertian Akulturasi, Sinkretisme, Milanarisme, dan Adaptasi” dalam http://rangkumanmateriips.blogspot.com, diakses
tanggal 19 November 2014
[2] Sidi Gazalba, Pengantar
Kebudayaan Sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1968), hlm.44
[3] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 3
[4] Mohammad
Esnaeni, “Asal Mula Sekaten” dalam http://rizki-nisa.blogspot.com, diakses
tanggal 19 November 2014.
[5] Alif Lukman
Hakim, “Sekaten Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam” dalam
http: //aliflukmanulhakim.blogspot, diakses tanggal 19 November 2014
[6] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 2.
[7] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 3.
[8] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 5.
[9] Mudhatama,
“Mitologi dalam Tradisi Sekaten” dalam http://traditionaljava.wordpress.com, diakses
tanggal 19 November 2014.
[10] Mohammad
Esnaeni, “Asal Mula Sekaten” dalam http://rizki-nisa.blogspot .com, diakses
tanggal 19 November 2014.
[11] Ervin Yulistya
(dkk.), “Upacara Sekaten di Keraton Yogyakarta” dalam http://trikusumaayu.blogspot.com , diakses tanggal 20 November 2014.
[12] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 7
[13] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 10
[14] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 12
[15] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 22
[16] Wibatsu
Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 33
[17] Sujarno.dkk.
Seni Pertunjukan Tradisional : Nilai, Fungsi, dan Tantangannya (Yogyakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar