BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tasawuf adalah upaya
melatih jiwa dalam melakukan hubungan dengan Tuhan agar dapat membebaskan diri
dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan lebih
dekat dengan Sang Pencipta.
Taswuf bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Allah SWT dengan penuh kesadaran
bahwa manusia sedang berada di hadirat Allah SWT. Kesadaran tersebut akan
menuju konteks komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah SWT
melalui cara mengasingkan diri.
Sejarah perkembangan
tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu
semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, bahkan sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad SAW
sebelum diangkat menjadi Rasul telah mencerminkan ciri dan perilaku kehidupan
sufi dengan melakukan tahannuts di Gua Hira’ dan kehidupan sehari-harinya yang
sangat sederhana, disamping menghabiskan waktu untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Dalam makalah ini,
penulis akan membahas tentang kehidupan, praktik (akhlak), dan kondisi religius
tasawuf Nabi Muhammad SAW sebagai sumber tasawuf yang bertujuan agar semua
mahasiswa dapat memahami sejarah tasawuf pada masa Nabi Muhammad SAW sebagai
salah satu sumber tasawuf sekaligus sebagai benih pertama kehidupan tasawuf
ataupun pola dasar para sufi dalam pengamalan ajaran tasawuf.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana
kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW ?
b. Bagaimana
praktik (akhlak) tasawuf Nabi Muhammad SAW ?
c. Bagaimana
kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW ?
3. Tujuan Penulisan
a. Menjelaskan
kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW.
b. Menjelaskan
praktik (akhlak) tasawuf Nabi Muhammad SAW.
c. Menjelaskan
kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kehidupan
Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Kehidupan tasawuf
Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi yang murni dan
menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Kehidupan tasawuf
Nabi Muhammad SAW dapat menjadi tauladan bagi siapa saja yang menginginkan
kehidupan sejahtera lahir dan batin serta selamat didunia dan diakhirat.[1]
Kehidupan
tasawuf Nabi Muhammad SAW dibagi menjadi
dua fase, yaitu kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagai
Rasul dan kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW setelah diangkat sebagai Rasul[2] :
a.
Kehidupan
tasawuf sebelum diangkat sebagai Rasul
Kehidupan tasawuf Nabi
Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul dibagi menjadi dua pendapat :
Pertama,
Pertumbuhan tasawuf pada mulanya dapat dipandang ketika Nabi Muhammad SAW suka
menyendiri, berkhalwat atau bertahanuts di Gua Hira’. Di Gua Hira’ beliau melatih
diri untuk menjauhi keramaian hidup, menghindari kelezatan dan kemewahan dunia,
bertekun, berjihad, tafakkur, berfikir, menghindari makan dan minum yang
berlebihan, dan memperhatikan keadaan alam dan susunannya, memperhatikan
segala-galanya dengan mata hatinya. [3]
Kehidupan tasawuf pada
diri Nabi Muhammad SAW tersebut membuat kalbu beliau menjadi jernih dan menjadi
pengantar terhadap kenabian beliau, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliau
menjadi kuat. Keadaan ini berlangsung hingga Malaikat Jibril menyampaikan wahyu
pertama dan Nabi Muhammad SAW diangkat oleh Allah sebagai Rasul pada tanggal 17
Ramadhan tahun pertama kenabian.[4]
Dengan diangkatnya Nabi
Muhammad menjadi Rasul, maka Nabi Muhammad mengemban amanat Allah untuk
menyelamatkan umat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga dengan wahyu yang
diturunkan, Rasulullah dapat mebenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi
masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan
manusia.[5]
Tahannuts Nabi Muhammad SAW di dalam Gua Hira’ menjadi
cikal bakal kehidupan yang nantinya akan dihayati para sufisme, dimana mereka
menetapkan dirinya sendiri di bawah berbagai latihan rohaniah, seperti sirna
ataupun fana di dalam munajat dengan Allah, sebagai buah dari khalwat. Manfaat
dari jalan yang ditempuh para sufi mengikuti tahannuts Nabi Muhammad SAW di dalam gua Hira’ menurut
Imam Ghazali[6]
:
·
Pemusatan diri
dalam beribadah dan berfikir
·
Mengakrabkan
diri di dalam munajat dengan Allah dengan menghindari perhubungan diantara para
makhluk
·
Menyibukkan diri
dengan menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat
maupun kerajaan langit dan bumi.
Kedua,
Tahannuts Nabi Muhammad SAW tidak dapat
dijadikan awal tasawuf Islam karena terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Hanya
perikehidupan Rasul setelah turun Al-Qur’anlah yang dapat dipandang sebagai
awal tasawuf Islam. Tahannuts Rasulullah di Gua Hira’ memang untuk memusatkan
rohani, tetapi karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah
datangnya syari’at Islam, maka tahannuts Rasul tersebut tidak dapat dijadikan
sumber tasawuf Islam.[7]
b.
Kehidupan
tasawuf setelah diangkat sebagai Rasul
Setelah Nabi Muhammad
menjadi Rasul Allah, mulailah beliau mengajak manusia membersihkan rohaninya
dari kotoran-kotoran syirik dan nafsu amarah yang tidak sesuai dengan fitrah
aslinya. Beliau berdakwah menyeru manusia memperteguh tauhid dan mempertinggi
akhlaknya untuk mencapai keridhaan Allah. Pada fase ini ditandai dengan
askestisme serta pembatasan diri dalam makan maupun minum, dan penuh
makna-makna rohaniah yang merupakan sumber kekayaan bagi para sufi.
Nabi Muhammad SAW
selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, banyak beribadah dan
shalat tahajud. Keadaan ini berlangsung sampai turunnya cegahan di dalam
Al-Qur’an dalam firman-Nya : “Thaha! Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini
kepadamu agar kamu menjadi susah” (Qs. Thaha: 1-2).[8]
Berikut ini merupakan
perihidup tasawuf Nabi Muhammad SAW dengan iman dan ketabahan yang kuat yang
menjadi suri teladan kaum shufi[9]:
a) Ketika
perjuangan baru dimulai, tulang punggung perjuangan dakwahnya wafat, yaitu Abu
thalib dan Khadijah. Beliau terima segalanya dengan tabah dan tenang. Kemudian
pergi ke Thaif, sesampai disana dakwahnya ditolak dan pulang membawa luka dan
derita. Beliau meneruskan perjalanan di tengah-tengah kepungan umat yang jahil
itu. Maka beliau terima segalanya dengan tabah.
b) Pada
suatu waktu beliau datang ke rumah Aisyah, ternyata di rumah tidak ada apa-apa.
Beliau terima dengan sabar, ia kerjakan puasa sunat. Beliau kemudian pergi ke
masjid bertemu dengan Abu Bakar dan Umar, beliau bertanya :”apakah gerangan
dengan anda berdua datang ke masjid?” kedua sahabat tadi menjawab : “menghibur
lapar, beliaupun mengatakan :”aku pun keluar untuk menghibur lapar”.
c) Sahabat
Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Abdullah bin Mas’ud, Abu Zar, dll pernah
berhimpun di rumah Usman bin Mazh’un Al-Jumahy. Mereka bermusyawarah untuk
berpuasa siang hari, tidak tidur di kasur, tidak memakan daging dan lemak,
tidak mendekati isteri, tidak memakai minyak wangi, akan memakai wool kasar,
akan meninggalkan dunia, akan mengembara di muka bumi dan ada diantara mereka
yang bercita-cita akan memotong kemaluannya.
Musyawarah itu terdengar kepada Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW berkata: “Sesungguhnya aku tidak menyuruh yang demikian.
Sesungguhnya ada hak kewajibanmu terhadap dirimu, maka puasalah kamu dan
berbuka, bangunlah beribadat pada malam hari dan tidur, karena aku bangun
beribadat pada malam hari dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku makan daging
dan lemak, aku datangi perempuan-perempuan. Barangsiapa tidak suka kepada
sunnahku itu maka tidaklah dia termasuk sebagian dari umatku”.
Pokok-pokok
corak kehidupan kerohanian Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber tasawuf
disimpulkan sebagai berikut [10]:
a) Zuhud
Beliau mengajarkan
bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda melainkan kekayaan
rohaniah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal sebenarnya bisa
memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik karena memandang nilai
rohani lebih tinggi kedudukannya.
Kehidupan yang
demikianlah beliau anjur-anjurkan pula kepada ummatnya. Rasulullah bersabda:
“Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada yang ada
ditangan manusia supaya manusiapun cinta akan engkau”. (diriwayatkan Ibnu Maja,
Tabrani dan Baihaqi).[11]
b) Hidup
sederhana
Dalam kehidupan
sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam alas tidur, pakaian dan
makanan. Alas tidur beliau sendiri terdiri dari kulit berisi sabut. Bahkan
terkadang tidur di atas tikar yang berbekas pada pinggangnya. Pilihan
Rasulullah tersebut dilatarbelakangi oleh keimanan yang sempurna bahwa dunia
hanyalah tempat tinggal sementara, bukan untuk selama-lamanya.
Dari segi pakainnya
begitu sederhananya. Rasulullah tidak suka memakai kain dari bulu domba di
segala waktu. Aisyah pernah memperlihatkan sehelai pakaian nabi yang kasar yang
dipakai beliau pada detik-detik hayatnya yang terakhir.
Demikian juga dalam
makan, amat sederhana sekali, seperti sekerat roti ataupun sebiji tamar seteguk
air. Beliau banyak berpuasa dan tidak makan kecuali lapar, dan kalaupun makan
tidak sampai kenyang. [12]
c) Bekerja
keras
Hidup sederhana yang
dicontohkan Rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi yang menyuruh bekerja keras
untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang diperoleh dari susur
keringat itu untuk kepentingan infak di jalan Allah. Nabi pernah menandaskan :
إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا. وَاعْمَلْ لِأّخِرَتِكَ
كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Artinya
: “ bekerjalah untuk duniamu, seoalah-olah engkau akan hidup selamanya dan
bekerjalah untuk khiratu seakan-akan engau akan mati esok hari”.
d) Sosial
Dalam bidang
kemasyarakatan dan amal sosial beliau terkenal sebagai amat pemurah.
Berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong mereka dari segala
kesulitan. Rasulullah SAW selalu memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin,
anak yatim oiau dan orang-orang lemah.
B.
Praktik
(Akhlak) Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW
adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku (akhlak).
Beliau selalu tunjukkan dan beri dorongan berbuat baik kepada sesama manusia,
keluarga, memuliakan tamu dan tetangga. Nabi menjelaskan dalam salah satu
sabdanya, bahwa manusia yang paling baik ialah yang paling baik perangainya.
Dalam hubungan ini bukan hanya tingkah laku lahir saja, melainkan juga sikap
batin hendaknya selalu terkontrol dan cenderung kepada jalan kebaikan dan
kebajikan.[13]
Praktik tasawuf Nabi
Muhammad SAW adalah berakhlak mulia yang selalu beliau terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Cerita dari Sa’id bin Hisyam: “Aku datang menemui A’isyah ra , lalu kutanyakan tentang akhlak
Rasulullah SAW”. A’isyah ra menjawab :
“Bisakah engkau membaca Al-Qur’an ?”. Kataku : “Bisa!” Ujar beliau : “akhlak
Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Allah ridlo bersama keridlaan beliau, dan
Allah niscaya marah bersama kemarahan beliau”.
Beliau
begitu tertarik pada alam ke-Tuhanan. Dan sifatnya sangat tidak menyenangi
kelezatan yang batil maupun kebahagiaan yang pulasan belaka, yang begitu
mempesona banyak orang, bahkan membuat mereka tunduk kepadanya. Tidak sekalipun
pernah dikabarkan bahwa beliau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan akhlak
luhur (bahkan sebelum diangkat sebagai rasul).
Keluhuran
akhlak Rasulullah SAW itu tidaklah dibuat-buat sebagaimana firman Allah :
katakanlah (hai Muhammad), aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku
padau, dan bukanlah aku termasuk orang yang mengada-ada”. Atau “katakanlah, hai
Muhammad, aku tidaklah mengada-ada akhlakku yang tampak pada kalian”. Sebab
sesuatu yang diada-ada itu tidak akan tahan lama. Bahkan dengan cepat akan
kembali pada tabiatnya yang asli.
Sabda
Rasulullah SAW : “Tuhanku yang mengajariku tata karma, sehingga tata kramaku
benar-benar sempurna”. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Allah
memerintahkan beliau bergaul baik dengan oran yang memboikotnya, mengasihi
orang yang mencegahnya, dan mengampuni orang yang menganiayanya.[14]
Diantara praktik tasawuf Nabi Muhammad SAW
ialah[15]:
a) Kasih
sayang terhadap semua makhluk.
Allah berfirman :
“sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Terasa
berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, sangat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang Mukmin.
Setelah turunnya wahyu
kepada beliau, Khadijah ra berkata : “bergembiralah, Allah sama sekali tidak
membuatmu sedih. Engkau selalu mengikat kekeluargaan, menanggung orang lemah
dan anak yatim, membiayai orang miskin, menghormati tamu, dan membantu
orang-orang yang butuh.
Nabi pun dikenal begitu
baik dalam pergaulan dengan orang lain yang mengenai hal ini ali bin abu thalib
berkata : :beliau adalah orang yang paling lapang dada, kata-katanya paling
bisa dipercaya, tata kramanya paling halus, dan keluarganya adalah yang paling
mulia. Beliau selalu bergaul, bersenda gurau, dan berbincang-bincang dengan
para sahabatnya. Bahkan beliau sangat menyayangi anak-anak kecil, selalu memenuhi
orang yang mengundangnya, selalu mengunjungi orang sakit, dan selalu menerima
permintaan maaf”
Diriwayatkan bahwa pada
saat terjadi perang Uhud dan wajah beliau tampak begitu kelam melihat apa yang
dialmai para sahabatnya, maka kata para sahabat : “berdoalah, ya Rasulullah,
semoga mereka (para musuh) tertimpa kekalahan”. Jawab beliau : “ aku tidak
diutus sebagai pencaci maki, tapi aku diutus sebagai penyeru dan pemberi
rahmat. Ya Tuhanku, berilah kaumku petunjuk, sesungguhnya mereka tidak tahu”.
Ketika beliau berhasil
menundukkkan para musuhnya, kaum Quraisy dalam penaklukan kota Makkah, maka
para musuhnya pun tidak ragu lagi bahwa beliau akan mengampuni mereka. Sabda
beliau pada mereka : “bagaimana pendapat kalian, apa yang akan kulakukan
terhadap kalian?”. Jawab mereka :”kau adalah saudara kami yang mulia, dan
putera saudara kami yang muia”. Lalu sabda Nabi : “pergilah ! kalian merdeka”.
b) Rendah
hati
Diriwayatkan bahwa
suatu ketika seseorang datang mengunjungi beliau. Namun begitu orang tersebut
bertemu dengan beliau, dia lalu enggigil saking takutnya melihat beliau. Maka
Nabi pun bersabda kepada orang itu : “kenapa kamu ketakuttan ? aku bukan
seorang raja. Aku hanya anak seorang perempuan suku Quraisy, yang makanya pun
daging dikeringkan (makanan orang-orang miskin ketika itu).
c) Beribadah
Diriwayatkan
bahwa A’isyah melihat Rasulullah begitu
lama mengerjakan shalat malam, A’isyah ra berkata kepada beliau : “wahai
Rasulullah, mengapa ini kaulakukan, bukankan Allah telah mengampuni segala
dosamu, baik yang lalu ataupun yang akan datang?”. Rasulullah menjawab :
“tidaklah aku bersenang menjadi seorang hamba yang syukur?”. Ai’syah
meriwayatkan : “dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal
dunia, beliau i’tikaf di masjid. Setelah beliau meninggal dunia,
isteri-isterinya pun selalu i’tikaf. Abu Hurairah ra meriwayatkan : “pada tahun
menjelang Nabi meninggal dunia, pada bulan Ramadhan, beliau I’tikaf selama dua
puluh hari”.[16]
Pola
kehidupan Rasulullah menjadi dasar utama bagi para ulama tasawuf. Misalnya,
dalam sehari semalam Rasulullah selain ibadah shalat fardhu, Nabi juga sholat
tahajud tidak kurang dari sebelas rakaat dan setiap sujud lamanya sama dengan
lamanya sahabat membaca lima puluh ayat sampai membengkak kedua telapak kaki
beliau, beristighfar minimal 70 kali, puasa Daud, shalat rawatib serta dhuha
yang tidak kurang dari delapan rakaat dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah
secara rutin. Dalam munajat kepada Allah SWT, maka perasaan khauf dan raja’
Rasulullah selalu mengucurkan air mata sebagai tanda ucapan syukur terhadap
Allah SWT.[17]
Namun semua ibadah dilakukan dengan memperhitungkan
kemampuanannya dan jangan sampai memaksa-maksa diri. Hendaklah seorang tahajjud
dengan tidak mengabaikan tidur, puasa dan tidak mengabaikan berbuka pada waktunya.
Berlomba-lomba dalam kebaikan dengan memperhitungkan kondisi tenaga, agar dapat
beramal dan beribadah lebih kuat.[18]
d) Pemalu
Sikap pemalu Nabi
Muhammad SAW adalah suatu keutamaan moral yang esensial dalam Islam.
Diriwayatkan bahwa Abu
Sa’id al-Khudri berkata : “nabi lebih pemalu daripada para gadis pingitan.
Kapan beliau sedang tidak menyenangi sesuatu, kita bisa ketahui itu dari
wajahnya”. Dalam firman Allah : “sesungguhnya yang begitu akan mengganggu Nabi,
lalu Nabi malau kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). Menurut Nabi Muhammad
SAW “malu itu sebagian dari iman”. “setiap agama memiliki moral. Dan moral
Islam adalah malu”.
e) Gemar
memberi / menderma
Diriwayatkan dari Jabir
bahwa beliau berkata :”tidak pernah sama sekali Nabi Muhammad SAW ketika beliau
dimintai sesuatu, lalu berkata :”tidak”. Beliau selalu memenuhi apa yang
dimintai seseorang kalau beliau mempunyai. Kalau tidak begitu, beliau berjanji
akan memberikannya kapan beliau telah mempunyainya”. Karena itu Hasan ibn
Tsabit dalam mudahnya berkata : “kecuali dalam syahadat, kata ‘tidak’ anti
terucap olehnya. Andai tiada Syahadat, kata ‘tidak’ anti terdengar darinya”.
Seorang
sahabat mengikhtisarkannya sebagai berikut : “ Rasulullah SAW adalah seorang
manusia lemah lembut, tidak bersikap keras ataupun kasar, tidak pembual, tidak
suka berbuat keji, tidak suka mencari cacat-cacat orang lain, bahkan tidak
mabuk pujian. Beliau selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di
hatinya, dimana beliau tidak pernah putus asa mengusahanakannya”.
Selain
itu beliau telah menanggalkan tiga hal dari dirinya sendiri, yaitu riya’, sifat
angkuh, dan hal-hal yang tidak beliau ingini. Lebih jauh lagi, beliau
menanggalkan tiga hal untuk manusia, yaitu beliau tidak mencela atau menghina orang lain, beliau tidak
mencari-cari kejelekan orang lain, dan beliau tidak memperbincangkan sesuatu
selain yang bermanfaat.
Patokan
Nabi Muhammad SAW tentang pandangan hidup adalah “dunia boleh dimanfaatkan,
tetapi jangan terpengaruh oleh godaannya. Orang yang mengingkari patokan di
atas adalah orang yang sesat dan bukan termasuk ummat Muhammad”. Nabi Muhammad
SAW tidak membenci dunia, tetapi beliau tidak mau terpengaruh oleh urusan
dunia.[19]
C.
Kondisi
Religius Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Kondisi
religius tasawuf Nabi Muhammad SAW dapat dibuktikan melalui pendapat-pendapat
beliau yang serat makna, yang dari situ para sufi menyimpulkan dan
mengembangkannya dalam bentuk teori-teori intuitif dengan berlandaskan
penderitaan serta pengamalan langsung, diantaranya ialah sabda yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW :
وَاللَّهِ إِنِّيْ
لَأَسْتَغْفِرُاللَّهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ
مَرَّةً. (رواه البخارى)
Artinya
: Demi Allah, aku memohon ampunan kepada Allah dalam sehari semalam tak
kurang dari tujuh puluh kali. (H.R. al-Bukhari).[20]
Nabi
juga menyeru pada asketisisme , sebagaimana sabdanya : “jauhilah kelezatan
hidup di dunia, Allah akan mencintaimu. Dan jauhilah apa yang ada ditangan
orang banyak, orang-orang akan mencintaimu”. Dan sabdanya : “jika Allah
menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya, niscaya Allah membuatnya paham
terhadap agama, menghindarkannya dari hal-hal yang keduniawian, dan menunjukkan
cela-celanya”. Lebih jauh lagi beliau pun bersabda : “apabila engkau melihat
seseorang menjauhi hal-hal yang duniawi, dekatilah dia, sebab dia memberikan
hikmah”.
Mengenai
pengertian kewalian (wilayah), Nabi pun menguraikannya dalam sebuah hadit qudsi
:”Allah berfirman : Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku menyatakan
perang terhadapnya. Tiidak ada yang lebih Kucintai pada seseorang yang
mendekatkan dirinya pada-Ku, kecuali apa yang Kuwajibkan padanya. Selama seorang
hamba-Ku tetap mendekatkan dirinya pada-Ku, dengan melaksanakan hal-hal yang
disunnahkan, amak Aku tetap mencintaiinya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah
pendengarnya, yang dipakainya utntuk mendengar; penglihatannya, yang
dipergunakannya untuk melihat; tangannya, yang dipergunakannya untuk menampar;
dan kakinya, yang dipergunakannya untuk berjalan. Apabila dia memohon pada-Ku,
Aku akan memberi apa yang dimohonkannya; dan apabila dia memohon perlindungan
pada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.
Adapun
makna syukur maupun sabar, dan makna-malna rohaniah yang terkandung dalam
keduanya, Nabi bersabda :”kesucian adalah separuh dari keimanan. Syukur kepada
Allah akan memenuhi neraca. Tasbih dan tahmid akan memenuhi apa yang di antara
langit dan bumi. Shalat adalah cahaya. Shadaqah adalah bukti. Dan sabar adalah
sinar.”[21]
Lebih
jauh lagi Nabi pun menganjurkan kita untuk bertawakkal serta menerima ketentuan
Allah, sebagaimana sabdanya : “jagalah Allah, maka engkau akan mendapatkan-Nya
di hadapanmu. Kenalilah Allah tatkala engkau dalam kecukupan, niscaya Dia akan
mengenalimu tatkala engkau dalam kesulitan. Ketahuilah apa yang membuatmu
keliru, dan yang menimpamu itu tidaklah untuk membuatmu keliru. Pun ketahuilah,
kemenangan menyertai kesabaran, kecukupan menyertai kesusahan, dan kesulitan
menyertai kemudahan”.
Sebagian
doa Nabi juga mengandung makna-makna mistis, misalnya doa beliau :”Ya Tuhan,
kepada-Mu aku berserah diri. Dengan-Mu aku beriman. Kepada-Mu aku bertawakkal
serta bersesal diri. Dan karena-Mu aku berperang”. “Ya Tuhan, jadikanlah aku
orang yang selalu bersyukur. Jadikanlah aku orang yang sabar. Dan jadikanlah
aku kecil dimataku tapi besar dimata orang lain”. “Ya Tuhan, tolonglah aku
dengan ilmu pengetahuan. Hiasilah aku dengan kesabaran. Muliakanlah aku dengan
taqwa. Dan indahkanlah diriku dengan kesehatan”. “Ya Tuhan, aku meohon
kepada-Mu kesehatan, keterlepasan dari dsa, kepasrahan, akhlak yang baik, dan
ridha dengan ketentuan”.
Semua ini menjadi
gambaran bahwa Nabi Muhammad SAW mementingkan kerohanian dan kehidupan
spiritual yang menjadi teladan dan menarik perhatian ahli-ahli tasawuf. Tidak
syak lagi bahwa Nabi adalah tipe ideal bagi seluruh kaum Muslimin, termasuk
pula bagi para sufi. Ini sesuai dengan firman Allah : “Sesungguhnya, telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah serta (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak
menyebut Allah.[22]
Oleh
karena itu, tasawuf para sufi menunjukkan secara jelas adanya
kecenderungan-kecenderungan askestisnya serta makna-makna moralnya, seperti
tingkatan serta keadaan dan buah-buah rohaniahnya, muncul dan mendapat sumber
materinya yang pertama dari kehidupan tasawuf, praktik, dan kondisi religius
Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kehidupan,
praktik (akhlak), dan kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW telah mendapat
petunjuk yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad
telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu dan
beliau menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang-orang Arab terbenam
didalamnya. Selama di Gua Hira’ yang beliau kerjakan adalah tafakur, beribadah
dan hidup sebagai seorang mujahid dan beliau hidup sederhana.
Kehidupan
Nabi Muhammad SAW yang bercorak sufi merupakan suatu pola hidup yang paling
ideal yang patut ditiru dalam segenap aspek kehidupan. Kehidupan beliau dapat
mempengaruhi kehidupan sehai-sehari para sahabat dan pengikut Nabi Muhammad SAW
hingga saat ini. Pola hidup Rasulullah merupakan khazanah dan ‘ibrah bagi
kehidupan para Sufi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rsulullah telah
memberi contoh sekaligus meletakkan dasar-dasar hidup kerohanian dan tarekatnya
bagi para pengikutnya sepanjang zaman.
2.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
menerima bimbingan, saran, serta kritik dari pembaca yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Pengantar
Ilmu Tashawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
al-Taftazani, Abu al-Wfa
al-Ghanimi. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka, 1985.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf
Islam & Akhlak. Jakarta: Amzah, 2011.
Said, Usman. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Sumatera: Proyek Pembinaan IAIN Sumatera, 1981.
Zahri, Mustafa. Ilmu Tasawwuf.
Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1995.
[1]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hlm.54
[2]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka), hlm. 39
[3]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, (Surabaya : PT.Bina Ilmu), hlm.31
[4]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.32
[5]
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf,
hlm.38
[6]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 40
[7]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
hlm.53
[8]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[9]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf, hlm.54
[10]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam
& Akhlak, (Jakarta:Amzah), hlm.53
[11]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.30
[12]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.30
[13]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[14]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[15]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 43
[16]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[17]
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf
(Sumatera : Proyek Pembinaan IAIN Sumatera), hlm.47
[18]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam
& Akhlak, hlm.59
[19]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
hlm.57
[20]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 45
[21]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 46
[22]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 47
[1]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hlm.54
[2]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka), hlm. 39
[3]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, (Surabaya : PT.Bina Ilmu), hlm.31
[4]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.32
[5]
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf,
hlm.38
[6]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 40
[7]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
hlm.53
[8]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[9]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf, hlm.54
[10]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam
& Akhlak, (Jakarta:Amzah), hlm.53
[11]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.30
[12]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, hlm.30
[13]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[14]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[15]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 43
[16]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[17]
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf
(Sumatera : Proyek Pembinaan IAIN Sumatera), hlm.47
[18]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam
& Akhlak, hlm.59
[19]
Yunasril Ali,
Pengantar Ilmu Tashawuf,
hlm.57
[20]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 45
[21]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 46
[22]
bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, hlm. 47
izin mengkopi latar belakangnya......
BalasHapus