Minggu, 15 Februari 2015

Tasawuf Nabi Muhammad SAW

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dalam melakukan hubungan dengan Tuhan agar dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Taswuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Allah SWT dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat Allah SWT. Kesadaran tersebut akan menuju konteks komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah SWT melalui cara mengasingkan diri.
Sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul telah mencerminkan ciri dan perilaku kehidupan sufi dengan melakukan tahannuts di Gua Hira’ dan kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana, disamping menghabiskan waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kehidupan, praktik (akhlak), dan kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW sebagai sumber tasawuf yang bertujuan agar semua mahasiswa dapat memahami sejarah tasawuf pada masa Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber tasawuf sekaligus sebagai benih pertama kehidupan tasawuf ataupun pola dasar para sufi dalam pengamalan ajaran tasawuf.

2.   Rumusan Masalah
a.       Bagaimana kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW ?
b.      Bagaimana praktik (akhlak) tasawuf Nabi Muhammad SAW ?
c.       Bagaimana kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW ?

3.   Tujuan Penulisan
a.       Menjelaskan kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW.
b.      Menjelaskan praktik (akhlak) tasawuf Nabi Muhammad SAW.
c.       Menjelaskan kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kehidupan Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW dapat menjadi tauladan bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera lahir dan batin serta selamat didunia dan diakhirat.[1]
Kehidupan tasawuf  Nabi Muhammad SAW dibagi menjadi dua fase, yaitu kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagai Rasul dan kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW setelah diangkat sebagai Rasul[2] :
a.         Kehidupan tasawuf sebelum diangkat sebagai Rasul
Kehidupan tasawuf Nabi Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul dibagi menjadi dua pendapat :
Pertama, Pertumbuhan tasawuf pada mulanya dapat dipandang ketika Nabi Muhammad SAW suka menyendiri, berkhalwat atau bertahanuts di Gua Hira’. Di Gua Hira’ beliau melatih diri untuk menjauhi keramaian hidup, menghindari kelezatan dan kemewahan dunia, bertekun, berjihad, tafakkur, berfikir, menghindari makan dan minum yang berlebihan, dan memperhatikan keadaan alam dan susunannya, memperhatikan segala-galanya dengan mata hatinya. [3]
Kehidupan tasawuf pada diri Nabi Muhammad SAW tersebut membuat kalbu beliau menjadi jernih dan menjadi pengantar terhadap kenabian beliau, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliau menjadi kuat. Keadaan ini berlangsung hingga Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama dan Nabi Muhammad SAW diangkat oleh Allah sebagai Rasul pada tanggal 17 Ramadhan tahun pertama kenabian.[4]
Dengan diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul, maka Nabi Muhammad mengemban amanat Allah untuk menyelamatkan umat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga dengan wahyu yang diturunkan, Rasulullah dapat mebenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.[5]
Tahannuts  Nabi Muhammad SAW di dalam Gua Hira’ menjadi cikal bakal kehidupan yang nantinya akan dihayati para sufisme, dimana mereka menetapkan dirinya sendiri di bawah berbagai latihan rohaniah, seperti sirna ataupun fana di dalam munajat dengan Allah, sebagai buah dari khalwat. Manfaat dari jalan yang ditempuh para sufi mengikuti tahannuts  Nabi Muhammad SAW di dalam gua Hira’ menurut Imam Ghazali[6] :
·         Pemusatan diri dalam beribadah dan berfikir
·         Mengakrabkan diri di dalam munajat dengan Allah dengan menghindari perhubungan diantara para makhluk
·         Menyibukkan diri dengan menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi.
Kedua, Tahannuts Nabi Muhammad SAW  tidak dapat dijadikan awal tasawuf Islam karena terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Hanya perikehidupan Rasul setelah turun Al-Qur’anlah yang dapat dipandang sebagai awal tasawuf Islam. Tahannuts Rasulullah di Gua Hira’ memang untuk memusatkan rohani, tetapi karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah datangnya syari’at Islam, maka tahannuts Rasul tersebut tidak dapat dijadikan sumber tasawuf Islam.[7]
b.         Kehidupan tasawuf setelah diangkat sebagai Rasul
Setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul Allah, mulailah beliau mengajak manusia membersihkan rohaninya dari kotoran-kotoran syirik dan nafsu amarah yang tidak sesuai dengan fitrah aslinya. Beliau berdakwah menyeru manusia memperteguh tauhid dan mempertinggi akhlaknya untuk mencapai keridhaan Allah. Pada fase ini ditandai dengan askestisme serta pembatasan diri dalam makan maupun minum, dan penuh makna-makna rohaniah yang merupakan sumber kekayaan bagi para sufi.
Nabi Muhammad SAW selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, banyak beribadah dan shalat tahajud. Keadaan ini berlangsung sampai turunnya cegahan di dalam Al-Qur’an dalam firman-Nya : “Thaha! Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (Qs. Thaha: 1-2).[8]
Berikut ini merupakan perihidup tasawuf Nabi Muhammad SAW dengan iman dan ketabahan yang kuat yang menjadi suri teladan kaum shufi[9]:
a)    Ketika perjuangan baru dimulai, tulang punggung perjuangan dakwahnya wafat, yaitu Abu thalib dan Khadijah. Beliau terima segalanya dengan tabah dan tenang. Kemudian pergi ke Thaif, sesampai disana dakwahnya ditolak dan pulang membawa luka dan derita. Beliau meneruskan perjalanan di tengah-tengah kepungan umat yang jahil itu. Maka beliau terima segalanya dengan tabah.
b)    Pada suatu waktu beliau datang ke rumah Aisyah, ternyata di rumah tidak ada apa-apa. Beliau terima dengan sabar, ia kerjakan puasa sunat. Beliau kemudian pergi ke masjid bertemu dengan Abu Bakar dan Umar, beliau bertanya :”apakah gerangan dengan anda berdua datang ke masjid?” kedua sahabat tadi menjawab : “menghibur lapar, beliaupun mengatakan :”aku pun keluar untuk menghibur lapar”.
c)    Sahabat Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Abdullah bin Mas’ud, Abu Zar, dll pernah berhimpun di rumah Usman bin Mazh’un Al-Jumahy. Mereka bermusyawarah untuk berpuasa siang hari, tidak tidur di kasur, tidak memakan daging dan lemak, tidak mendekati isteri, tidak memakai minyak wangi, akan memakai wool kasar, akan meninggalkan dunia, akan mengembara di muka bumi dan ada diantara mereka yang bercita-cita akan memotong kemaluannya.
Musyawarah itu terdengar kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW berkata: “Sesungguhnya aku tidak menyuruh yang demikian. Sesungguhnya ada hak kewajibanmu terhadap dirimu, maka puasalah kamu dan berbuka, bangunlah beribadat pada malam hari dan tidur, karena aku bangun beribadat pada malam hari dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku makan daging dan lemak, aku datangi perempuan-perempuan. Barangsiapa tidak suka kepada sunnahku itu maka tidaklah dia termasuk sebagian dari umatku”.
Pokok-pokok corak kehidupan kerohanian Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber tasawuf disimpulkan sebagai berikut [10]: 
a)      Zuhud
Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda melainkan kekayaan rohaniah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal sebenarnya bisa memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik karena memandang nilai rohani lebih tinggi kedudukannya.
Kehidupan yang demikianlah beliau anjur-anjurkan pula kepada ummatnya. Rasulullah bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada yang ada ditangan manusia supaya manusiapun cinta akan engkau”. (diriwayatkan Ibnu Maja, Tabrani dan Baihaqi).[11]
b)      Hidup sederhana
Dalam kehidupan sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam alas tidur, pakaian dan makanan. Alas tidur beliau sendiri terdiri dari kulit berisi sabut. Bahkan terkadang tidur di atas tikar yang berbekas pada pinggangnya. Pilihan Rasulullah tersebut dilatarbelakangi oleh keimanan yang sempurna bahwa dunia hanyalah tempat tinggal sementara, bukan untuk selama-lamanya.
Dari segi pakainnya begitu sederhananya. Rasulullah tidak suka memakai kain dari bulu domba di segala waktu. Aisyah pernah memperlihatkan sehelai pakaian nabi yang kasar yang dipakai beliau pada detik-detik hayatnya yang terakhir.
Demikian juga dalam makan, amat sederhana sekali, seperti sekerat roti ataupun sebiji tamar seteguk air. Beliau banyak berpuasa dan tidak makan kecuali lapar, dan kalaupun makan tidak sampai kenyang. [12]
c)      Bekerja keras
Hidup sederhana yang dicontohkan Rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi yang menyuruh bekerja keras untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang diperoleh dari susur keringat itu untuk kepentingan infak di jalan Allah. Nabi pernah menandaskan :
           إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا. وَاعْمَلْ لِأّخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Artinya : “ bekerjalah untuk duniamu, seoalah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk khiratu seakan-akan engau akan mati esok hari”.
d)     Sosial
Dalam bidang kemasyarakatan dan amal sosial beliau terkenal sebagai amat pemurah. Berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong mereka dari segala kesulitan. Rasulullah SAW selalu memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim oiau dan orang-orang lemah.

B.   Praktik (Akhlak) Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku (akhlak). Beliau selalu tunjukkan dan beri dorongan berbuat baik kepada sesama manusia, keluarga, memuliakan tamu dan tetangga. Nabi menjelaskan dalam salah satu sabdanya, bahwa manusia yang paling baik ialah yang paling baik perangainya. Dalam hubungan ini bukan hanya tingkah laku lahir saja, melainkan juga sikap batin hendaknya selalu terkontrol dan cenderung kepada jalan kebaikan dan kebajikan.[13]
Praktik tasawuf Nabi Muhammad SAW adalah berakhlak mulia yang selalu beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dari Sa’id bin Hisyam: “Aku datang menemui  A’isyah ra , lalu kutanyakan tentang akhlak Rasulullah SAW”. A’isyah ra  menjawab : “Bisakah engkau membaca Al-Qur’an ?”. Kataku : “Bisa!” Ujar beliau : “akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Allah ridlo bersama keridlaan beliau, dan Allah niscaya marah bersama kemarahan beliau”.
Beliau begitu tertarik pada alam ke-Tuhanan. Dan sifatnya sangat tidak menyenangi kelezatan yang batil maupun kebahagiaan yang pulasan belaka, yang begitu mempesona banyak orang, bahkan membuat mereka tunduk kepadanya. Tidak sekalipun pernah dikabarkan bahwa beliau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan akhlak luhur (bahkan sebelum diangkat sebagai rasul).
Keluhuran akhlak Rasulullah SAW itu tidaklah dibuat-buat sebagaimana firman Allah : katakanlah  (hai Muhammad), aku  tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku padau, dan bukanlah aku termasuk orang yang mengada-ada”. Atau “katakanlah, hai Muhammad, aku tidaklah mengada-ada akhlakku yang tampak pada kalian”. Sebab sesuatu yang diada-ada itu tidak akan tahan lama. Bahkan dengan cepat akan kembali pada tabiatnya yang asli.
Sabda Rasulullah SAW : “Tuhanku yang mengajariku tata karma, sehingga tata kramaku benar-benar sempurna”. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Allah memerintahkan beliau bergaul baik dengan oran yang memboikotnya, mengasihi orang yang mencegahnya, dan mengampuni orang yang menganiayanya.[14]
  Diantara praktik tasawuf Nabi Muhammad SAW ialah[15]:
a)      Kasih sayang terhadap semua makhluk.
Allah berfirman : “sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang Mukmin.
Setelah turunnya wahyu kepada beliau, Khadijah ra berkata : “bergembiralah, Allah sama sekali tidak membuatmu sedih. Engkau selalu mengikat kekeluargaan, menanggung orang lemah dan anak yatim, membiayai orang miskin, menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang butuh.
Nabi pun dikenal begitu baik dalam pergaulan dengan orang lain yang mengenai hal ini ali bin abu thalib berkata : :beliau adalah orang yang paling lapang dada, kata-katanya paling bisa dipercaya, tata kramanya paling halus, dan keluarganya adalah yang paling mulia. Beliau selalu bergaul, bersenda gurau, dan berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Bahkan beliau sangat menyayangi anak-anak kecil, selalu memenuhi orang yang mengundangnya, selalu mengunjungi orang sakit, dan selalu menerima permintaan maaf”
Diriwayatkan bahwa pada saat terjadi perang Uhud dan wajah beliau tampak begitu kelam melihat apa yang dialmai para sahabatnya, maka kata para sahabat : “berdoalah, ya Rasulullah, semoga mereka (para musuh) tertimpa kekalahan”. Jawab beliau : “ aku tidak diutus sebagai pencaci maki, tapi aku diutus sebagai penyeru dan pemberi rahmat. Ya Tuhanku, berilah kaumku petunjuk, sesungguhnya mereka tidak tahu”.
Ketika beliau berhasil menundukkkan para musuhnya, kaum Quraisy dalam penaklukan kota Makkah, maka para musuhnya pun tidak ragu lagi bahwa beliau akan mengampuni mereka. Sabda beliau pada mereka : “bagaimana pendapat kalian, apa yang akan kulakukan terhadap kalian?”. Jawab mereka :”kau adalah saudara kami yang mulia, dan putera saudara kami yang muia”. Lalu sabda Nabi : “pergilah ! kalian merdeka”.
b)      Rendah hati
Diriwayatkan bahwa suatu ketika seseorang datang mengunjungi beliau. Namun begitu orang tersebut bertemu dengan beliau, dia lalu enggigil saking takutnya melihat beliau. Maka Nabi pun bersabda kepada orang itu : “kenapa kamu ketakuttan ? aku bukan seorang raja. Aku hanya anak seorang perempuan suku Quraisy, yang makanya pun daging dikeringkan (makanan orang-orang miskin ketika itu).
c)      Beribadah
Diriwayatkan bahwa A’isyah  melihat Rasulullah begitu lama mengerjakan shalat malam, A’isyah ra berkata kepada beliau : “wahai Rasulullah, mengapa ini kaulakukan, bukankan Allah telah mengampuni segala dosamu, baik yang lalu ataupun yang akan datang?”. Rasulullah menjawab : “tidaklah aku bersenang menjadi seorang hamba yang syukur?”. Ai’syah meriwayatkan : “dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal dunia, beliau i’tikaf di masjid. Setelah beliau meninggal dunia, isteri-isterinya pun selalu i’tikaf. Abu Hurairah ra meriwayatkan : “pada tahun menjelang Nabi meninggal dunia, pada bulan Ramadhan, beliau I’tikaf selama dua puluh hari”.[16]
Pola kehidupan Rasulullah menjadi dasar utama bagi para ulama tasawuf. Misalnya, dalam sehari semalam Rasulullah selain ibadah shalat fardhu, Nabi juga sholat tahajud tidak kurang dari sebelas rakaat dan setiap sujud lamanya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat sampai membengkak kedua telapak kaki beliau, beristighfar minimal 70 kali, puasa Daud, shalat rawatib serta dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah secara rutin. Dalam munajat kepada Allah SWT, maka perasaan khauf dan raja’ Rasulullah selalu mengucurkan air mata sebagai tanda ucapan syukur terhadap Allah SWT.[17]
     Namun semua ibadah dilakukan dengan memperhitungkan kemampuanannya dan jangan sampai memaksa-maksa diri. Hendaklah seorang tahajjud dengan tidak mengabaikan tidur, puasa dan tidak mengabaikan berbuka pada waktunya. Berlomba-lomba dalam kebaikan dengan memperhitungkan kondisi tenaga, agar dapat beramal dan beribadah lebih kuat.[18]
d)     Pemalu
Sikap pemalu Nabi Muhammad SAW adalah suatu keutamaan moral yang esensial dalam Islam.
Diriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata : “nabi lebih pemalu daripada para gadis pingitan. Kapan beliau sedang tidak menyenangi sesuatu, kita bisa ketahui itu dari wajahnya”. Dalam firman Allah : “sesungguhnya yang begitu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malau kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). Menurut Nabi Muhammad SAW “malu itu sebagian dari iman”. “setiap agama memiliki moral. Dan moral Islam adalah malu”.
e)      Gemar memberi / menderma
Diriwayatkan dari Jabir bahwa beliau berkata :”tidak pernah sama sekali Nabi Muhammad SAW ketika beliau dimintai sesuatu, lalu berkata :”tidak”. Beliau selalu memenuhi apa yang dimintai seseorang kalau beliau mempunyai. Kalau tidak begitu, beliau berjanji akan memberikannya kapan beliau telah mempunyainya”. Karena itu Hasan ibn Tsabit dalam mudahnya berkata : “kecuali dalam syahadat, kata ‘tidak’ anti terucap olehnya. Andai tiada Syahadat, kata ‘tidak’ anti terdengar darinya”.
Seorang sahabat mengikhtisarkannya sebagai berikut : “ Rasulullah SAW adalah seorang manusia lemah lembut, tidak bersikap keras ataupun kasar, tidak pembual, tidak suka berbuat keji, tidak suka mencari cacat-cacat orang lain, bahkan tidak mabuk pujian. Beliau selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya, dimana beliau tidak pernah putus asa mengusahanakannya”.
Selain itu beliau telah menanggalkan tiga hal dari dirinya sendiri, yaitu riya’, sifat angkuh, dan hal-hal yang tidak beliau ingini. Lebih jauh lagi, beliau menanggalkan tiga hal untuk manusia, yaitu beliau tidak mencela atau  menghina orang lain, beliau tidak mencari-cari kejelekan orang lain, dan beliau tidak memperbincangkan sesuatu selain yang bermanfaat.
Patokan Nabi Muhammad SAW tentang pandangan hidup adalah “dunia boleh dimanfaatkan, tetapi jangan terpengaruh oleh godaannya. Orang yang mengingkari patokan di atas adalah orang yang sesat dan bukan termasuk ummat Muhammad”. Nabi Muhammad SAW tidak membenci dunia, tetapi beliau tidak mau terpengaruh oleh urusan dunia.[19]
C.   Kondisi Religius Tasawuf Nabi Muhammad SAW
Kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW dapat dibuktikan melalui pendapat-pendapat beliau yang serat makna, yang dari situ para sufi menyimpulkan dan mengembangkannya dalam bentuk teori-teori intuitif dengan berlandaskan penderitaan serta pengamalan langsung, diantaranya ialah sabda yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW :
وَاللَّهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُاللَّهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً. (رواه البخارى)
Artinya : Demi Allah, aku memohon ampunan kepada Allah dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali. (H.R. al-Bukhari).[20]
Nabi juga menyeru pada asketisisme , sebagaimana sabdanya : “jauhilah kelezatan hidup di dunia, Allah akan mencintaimu. Dan jauhilah apa yang ada ditangan orang banyak, orang-orang akan mencintaimu”. Dan sabdanya : “jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya, niscaya Allah membuatnya paham terhadap agama, menghindarkannya dari hal-hal yang keduniawian, dan menunjukkan cela-celanya”. Lebih jauh lagi beliau pun bersabda : “apabila engkau melihat seseorang menjauhi hal-hal yang duniawi, dekatilah dia, sebab dia memberikan hikmah”.
Mengenai pengertian kewalian (wilayah), Nabi pun menguraikannya dalam sebuah hadit qudsi :”Allah berfirman : Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya. Tiidak ada yang lebih Kucintai pada seseorang yang mendekatkan dirinya pada-Ku, kecuali apa yang Kuwajibkan padanya. Selama seorang hamba-Ku tetap mendekatkan dirinya pada-Ku, dengan melaksanakan hal-hal yang disunnahkan, amak Aku tetap mencintaiinya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarnya, yang dipakainya utntuk mendengar; penglihatannya, yang dipergunakannya untuk melihat; tangannya, yang dipergunakannya untuk menampar; dan kakinya, yang dipergunakannya untuk berjalan. Apabila dia memohon pada-Ku, Aku akan memberi apa yang dimohonkannya; dan apabila dia memohon perlindungan pada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.
Adapun makna syukur maupun sabar, dan makna-malna rohaniah yang terkandung dalam keduanya, Nabi bersabda :”kesucian adalah separuh dari keimanan. Syukur kepada Allah akan memenuhi neraca. Tasbih dan tahmid akan memenuhi apa yang di antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya. Shadaqah adalah bukti. Dan sabar adalah sinar.”[21]
Lebih jauh lagi Nabi pun menganjurkan kita untuk bertawakkal serta menerima ketentuan Allah, sebagaimana sabdanya : “jagalah Allah, maka engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah tatkala engkau dalam kecukupan, niscaya Dia akan mengenalimu tatkala engkau dalam kesulitan. Ketahuilah apa yang membuatmu keliru, dan yang menimpamu itu tidaklah untuk membuatmu keliru. Pun ketahuilah, kemenangan menyertai kesabaran, kecukupan menyertai kesusahan, dan kesulitan menyertai kemudahan”.
Sebagian doa Nabi juga mengandung makna-makna mistis, misalnya doa beliau :”Ya Tuhan, kepada-Mu aku berserah diri. Dengan-Mu aku beriman. Kepada-Mu aku bertawakkal serta bersesal diri. Dan karena-Mu aku berperang”. “Ya Tuhan, jadikanlah aku orang yang selalu bersyukur. Jadikanlah aku orang yang sabar. Dan jadikanlah aku kecil dimataku tapi besar dimata orang lain”. “Ya Tuhan, tolonglah aku dengan ilmu pengetahuan. Hiasilah aku dengan kesabaran. Muliakanlah aku dengan taqwa. Dan indahkanlah diriku dengan kesehatan”. “Ya Tuhan, aku meohon kepada-Mu kesehatan, keterlepasan dari dsa, kepasrahan, akhlak yang baik, dan ridha dengan ketentuan”.
Semua ini menjadi gambaran bahwa Nabi Muhammad SAW mementingkan kerohanian dan kehidupan spiritual yang menjadi teladan dan menarik perhatian ahli-ahli tasawuf. Tidak syak lagi bahwa Nabi adalah tipe ideal bagi seluruh kaum Muslimin, termasuk pula bagi para sufi. Ini sesuai dengan firman Allah : “Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah serta (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.[22]
Oleh karena itu, tasawuf para sufi menunjukkan secara jelas adanya kecenderungan-kecenderungan askestisnya serta makna-makna moralnya, seperti tingkatan serta keadaan dan buah-buah rohaniahnya, muncul dan mendapat sumber materinya yang pertama dari kehidupan tasawuf, praktik, dan kondisi religius Rasulullah SAW.










BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Kehidupan, praktik (akhlak), dan kondisi religius tasawuf Nabi Muhammad SAW telah mendapat petunjuk yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu dan beliau menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang-orang Arab terbenam didalamnya. Selama di Gua Hira’ yang beliau kerjakan adalah tafakur, beribadah dan hidup sebagai seorang mujahid dan beliau hidup sederhana.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang bercorak sufi merupakan suatu pola hidup yang paling ideal yang patut ditiru dalam segenap aspek kehidupan. Kehidupan beliau dapat mempengaruhi kehidupan sehai-sehari para sahabat dan pengikut Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Pola hidup Rasulullah merupakan khazanah dan ‘ibrah bagi kehidupan para Sufi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rsulullah telah memberi contoh sekaligus meletakkan dasar-dasar hidup kerohanian dan tarekatnya bagi para pengikutnya sepanjang zaman.
2.    Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis menerima bimbingan, saran, serta kritik dari pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.








                    DAFTAR PUSTAKA   
                
Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tashawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
al-Taftazani, Abu al-Wfa al-Ghanimi. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka, 1985.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam & Akhlak. Jakarta: Amzah, 2011.
Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera: Proyek Pembinaan IAIN Sumatera, 1981.
Zahri, Mustafa. Ilmu Tasawwuf. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1995.







[1] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tashawuf, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hlm.54
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka), hlm. 39
[3] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya : PT.Bina Ilmu), hlm.31
[4] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, hlm.32
[5] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm.38
[6] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,  hlm. 40
[7] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tashawuf, hlm.53
[8] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[9] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tashawuf, hlm.54
[10] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta:Amzah), hlm.53
[11] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, hlm.30
[12] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, hlm.30
[13] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[14] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 42
[15] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 43
[16] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 41
[17] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Sumatera : Proyek Pembinaan IAIN Sumatera), hlm.47
[18] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, hlm.59
[19] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tashawuf, hlm.57
[20] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 45
[21] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 46
[22] bu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, hlm. 47

1 komentar: