BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Raden Mas Sa’id atau yang lebih dikenal sebagai
Sunan Kalijaga merupakan seorang putra tumenggung. Akan tetapi, sejarah mencatat dia tidak
mewarisi kekuasaan dari ayahandanya. Justru dia memilih menjadi seorang pegiat
spiritual islam, seorang mistikus islam, serta seorang sufi dan pengamal
tarekat di tanah jawa. Oleh
karena itu, Dewan Wali Songo mengangkat dia menjadi salah satu dari anggotanya.
Dan nyatanya, dialah satu-satunya Wali yang bisa diterima oleh berbagai lapisan
masyarakat jawa.
Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang amat penting
dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah
melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan
masyarakat. Kokohnya budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada
nilai-nilai islam itulah barangkali
karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia
khususnya di jawa.
Keberhasilan sunan kalijaga dalam menyebarkan agama
islam di jawa dikarenakan ajaran tarekat yang dia ajarkan merupakan ajaran
tarekat ala jawa. Ajaran tarekat tersebut merupakan hasil ramuan ajaran tarekat
yang berasal dari luar dengan praktik jawa. Tidak
hanya itu, praktik-praktik agama islam di Indonesia, khususnya di jawa berasal
dari sunan kalijaga.
Banyak sekali buku yang mengungkapkan tentang kisah
sunan kalijaga sebatas kisah hidupnya belaka. Akan tetapi tidak banyak yang mengupas ajaran yang
dibawanya. Maka dari itu penulis berusaha mengupas ajaran-ajaran tasawuf sunan
kalijaga secara lebih mendalam. Mengingat ajaran-ajaran
tasawuf sunan kalijaga sangat cocok bagi masyarakat islam di jawa. Untuk dapat
memahami lebih mendalam, berikut penulis akan menjabarkannya dengan makalah ini yang berjudul “ Tasawuf Sunan
Kalijaga” sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah
Sunan Kalijaga itu ?
2. Bagaimana
perjalanan tasawuf Sunan Kalijaga ?
3. Bagaimana
ajaran tasawuf Sunan Kalijaga ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui biografi Sunan Kalijaga serta yang terkait dengannya.
2. Untuk
mengetahui tentang perjalanan tasawuf Sunan Kalijaga hingga akhirnya menjadi
seorang Wali.
3. Untuk
mengetahui tentang ajaran tasawuf yang khas dari Sunan Kalijaga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Sunan Kalijaga
1.
Silsilah
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra dari
Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Tentu saja, kedudukan adipati pada zaman
itu sama sekali berbeda dengan jabatan bupati atau residen sekarang. Kekuasaan
adipati saat itu sama seperti raja, tetapi di bawah kekuasaan Maharaja. Tumenggung Wilatikta disebut juga sebagai Aria Teja (IV),
merupakan keturunan Aria Teja III, Aria Teja II, dan berpangkal pada Aria Teja
I, sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalewa (salah
seorang pendiri kerajaan Majapahit) yang sudah beragama islam dan berganti nama
menjadi Raden Sahur, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawangrum.[1]
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada
tahun 1430-an. Semasa mudanya Sunan Kalijaga mempunyai nama Raden Sa’id atau
lebih dikenal dengan Jaka Sa’id. Sunan
Kalijaga diceritakan hidup dalam empat era dekade pemerintahan, yaitu masa
Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang
(1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (tahun 1580-an).
Sunan Kalijaga beristri dua orang, yaitu
yang pertama bernama Dewi sarah binti
maulana ishaq, dan yang kedua bernama Dewi sarakah atau Siti zaenab binti Sunan
gunungjati. Istri pertama sunan kalijaga adalah saudara kandung Raden paku
(Sunan Giri).DenganDewi Sarah mendapatkan tiga anak, yaitu Raden Umar Sahid
(Sunan Muria), Dewi Ruqoyyah, dan Dewi Sofiah. Dengan istri kedua Dewi Sarakah,
mendapatkan lima anak, yaitu Kanjeng Ratu Pembayun (istri sultan trenggono),
Nyai Ageng Panenggak (istri kyai Pakar), Sunan Hadi (menggantikan kedudukan
Sunan Kalijaga di kadilangu), Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.[2]
Tentang nama kalijaga ada beberapa versi
yang menjelaskan alasannya. Versi pertama kalijaga dikaitkan dengan awal
perjalanannya menjadi murid Sunan Bonang, yang kemudian mengantarkan Raden Mas
sa’id menjadi wali, yaitu selama beberapa bulan, bahkan ada yang mengatakan
beberapa tahun, menjaga tongkat sang guru yang ditancapkan di tepi sungai.
Versi kedua, nama kalijaga dianggap sebagai pertanda wali yang pandai
memperlakukan segala macam agama atau aliran yang ada di masyarakat, ketika ia
menjalankan tugas mengembangkan islam. Versi ketiga, nama kalijaga dikaitkan
dengan nama desa tempat ia tinggal di Cirebon.[3]
2.
Peranan
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang
amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata
adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di
kalangan masyarakat. Hasilnya, pada waktu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
pada tahun 1945, jumlah pemeluk agama islam di jawa dinyatakan sebesar 95%. Selain
Syekh siti jenar, hanya beliau yang aktif menyebarkan agama islam dengan
menggunakan kultur jawa sebagai medianya.
Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga
dikenal sebagai orang yang menciptakan “pakaian takwa”, tembang-tembang jawa,
seni memperingati maulud Nabi yang lebih dikenal dengan sebutan Gerebeg Mulud. Upacara Sekaten (Syahadatain, pengucapan dua
kalimat syahadat) yang dilakukan setiap tahun untuk mengajak orang jawa masuk
islam merupakan ciptaannya juga.Dan salah satu karya besar Sunan Kalijaga
adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit, dari bentuk manusia menjadi
bentuk kreasi baru yang mirip karikatur.
Kegiatan
tradisi lain hasil kerja Sunan Kalijaga untuk mewarnai budaya masyarakat jawa
dengan nilai islam adalah hari raya lebaran (‘idul fitri). Orang islam jawa
tradisional ini tidak mengenal sholat ‘idul fitri. Sebelum lebaran, diawali
dengan kegiatan nyadran, yaitu ziarah
kubur dan membersihkan makam nenek moyang sebelum memasuki bulan romadhon.Awal
romadhon ditandai dengan selamatan dan mengirim makanan kepada orang tua, yang
di daerah Madiun disebut megengan.Di
bulan romadhon diadakan kenduri pada hari-hari tertentu, yaitu malam ke-21 (malemselikur), malam ke-23 (malem telu), malam ke-25 (malem selawe), malam ke-27 (malem pitu), dan terakhir malam ke-29 (malem songo). Kenduri pada hari-hari
tertentu itu dimaksudkan untuk mengingatkan umat islam akan datangnya lailatul qodar.[4]
Tradisi
lain yang juga hasil kerja Sunan Kalijaga adalah setiap orang yang akan bekerja
harus mengucapkan bismillah. Akan
tetapi, kata bismillah yang
sebenarnya tidak sulit diucapkan itu oleh lidah orang jawa kebanyakan diucapkan
dengan semeilah. Selain itu, orang
islam ketika menghadapi musibah besar maupun kecil dianjurkan mengucapkan laa ilaha illAllah, yang artinya tiada
tuhan selain Allah. Namun, diucapkan dengan wo
alaah-alah atau Alah laa ilah.
Kokohnya
budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam itulah barangkali karya sunan kalijaga yang
paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia atau jawa. Tetapi sunan
kalijaga tentu tidak sendirian, karena di antara para anggota walisongo,
khususnya wali songo angkatan IV dan seterusnya, memang ada pembagian tugascara
berdakwah agar aktifitas seluruh anggota wali songo dapat menyentuh setiap
kelompok masyarakat yang berlatar belakang budaya atau agama lama yang
berbeda-beda. Mengingat hal itu maka walaupun ada kekurangannya, peranan sunan
kalijaga dalam mengembangkan agama islam di Indonesia jelas penting artinya.
3.
Karya-Karya
Sunan Kalijaga
Sunan
Kalijaga mempunyai peranan yang amat penting dalam penyebaran agama islam di
jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan
memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat. Kokohnya budaya dan
adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam itulah barangkali karya sunan kalijaga yang
paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia atau jawa. Karya-karya
beliau ada yang berbentuk karya tulis dan ada juga berupa karya seni. Diantara
karya-karya beliau adalah :
a) Wayang
kulit
Salah
satu karya besar sunan kalijaga adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit,
dari bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip karikatur. Misalnya,
orang yang menghadap ke depan diukir dengan letak bahu di depan dan di
belakang. Tangan wayang kulit dibuat panjang hingga menyentuh kakinya. Bahkan,
meski menghadap ke depan, matanya dibuat tampak utuh.
b) Tembang-tembang
Tembang-tembang
yang diciptakan sunan kalijaga sebenarnya merupakan ajaran makrifat, ajaran
mistis dalam agama islam. Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, hanya
tembang ilir-ilir yang dikenal
masyarakat jawa.
c) Serat
dewaruci
Serat
dewaruci menceritakan lakon wayang yang menggambarkan Bima mencari Air suci
Perwita Sari Kayugung Susuhing Angin (Air Suci Perwita Sari, kayu besar sarang
nafsu). Air Suci diperlukan untuk dipersembahkan kepada gurunya, yaitu Pandita
Durna, sebagai syarat agar sang guru mau me-wejang-nya
tentang Ngelmu jatining jejering
pangeran. Di kalangan masyarakat jawa lakon wayang Dewaruci sangat
terkenal, sangat digemari, baik generasi muda maupun tua. Tetapi kepopuleran
yang merosot tajam sejak awal dekade 1970-an karena berbagai sebab, membuat
serat Dewaruci kini kurang dipahamioleh generasi yang tumbuh pada era 1970-an
sampai sekarang.[5]
d) Suluk
Linglung
Berbeda
dengan Serat Dewaruci yang sudah lama dikenal masyarakat luas, kitab suluk
linglung hanya dikenal oleh kalangan terbatas. Hal itu disebabkan, di samping
isinya hampir sama, kitab ini belum lama diterbitkan. Bukti otentik yang ada
menunjukkan bahwa kitab suluk linglung ditulis tangan oleh sunan kalijaga
sendiri di atas kertas dari kulit hewan dan tinta cina.Entah karena apa, kitab
tersebut tidak disampaikan secara terbuka oleh penulisnya kepada masyarakat
luas, melainkan dibungkus dengan kain putih. Menjelang usia sunan kalijaga akan
sampai pada ajalnya, kitab yang terbungkus kain putih tersebut disampaikan
kepada salah satu putranya, tetapi sunan kalijaga tidak mengatakan bahwa itu
sebuah kitab. Sunan kalijaga hanya berpesan agar benda tersebut disimpan
baik-baik, dan kalau yang menyimpan meninggal dunia hendaknya lalu disampaikan
kepada salah satu ahli waris yang dapat dipercaya untuk menjaga benda pusaka
itu.[6]
B.
Perjalanan
Tasawuf Sunan Kalijaga
1.
Pencarian
Guru Sejati
Ketika Sunan Kalijaga lahir di bumi
Tuban, keadaan Majapahit mulai surut. Beban upeti kadipaten terhadap
pemerintahan pusat semakin besar sehingga masa remaja Sunan Kalijaga dipenuhi
dengan keprihatinan.Lebih-lebih ketika Tuban dilanda musim kemarau panjang,
pejabat kadipaten menarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena dan
para prajurit kadipaten menghardik rakyat kecil dengan sewenang-wenang.Sunan
Kalijaga akhirnya memilih menjadi maling
cluring (mencuri yang hasil curiannya dibagikan kepada orang miskin).[7]
Tindakan Sunan Kalijaga itu akhirnya
diketahui oleh ayahnya, sehingga ia mendapat hukuman yang keras, yakni diusir
dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang pasti, hingga akhirnya
menetap di hutan jatiwangi. Di hutan itu ia menjadi seorang yang berandal,
seorang yang sangat sakti, sehingga ia dijuluki berandal lokajaya. Ia merampok
orang-orang kaya yang pelit dan hasil rampokannya diberikan kepada rakyat
miskin.
Suatu hari di hutan jatiwangi, ketika
Sunan Kalijaga sedang mengintai orang yang akan menjadi sasaran perampokan,
melintaslah di hutan tersebut seseorang yang tampaknya kaya-raya. Orang
tersebut memakai jubah serba putih dan bersorban, berjalan dengan memakai
tongkat. Orang tersebut tidak lain adalah sunan boning. Dengan kepandaian
pencak silatnya, sunan bonang berhasil dilumpuhkan. Sunan bonang diminta untuk
menyerahkan bekal yang dibawanya serta
tongkat yang tampak berkilauan. Tentu saja beliau tidak mau menyerahkan hak
miliknya. Akan tetapi sunan kalijaga mengancam serta mengutarakan tujuannya
bahwa perbuatan merampok itu untuk menolong mereka yang miskin.
Pertemuannya dengan sunan bonang itulah
yang membuat sunan kalijaga tercerahkan
hidupnya. Ia akhirnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
merupakan perbuatan yang salah meski tampak mulia. Akhirnya ia menyatakan diri
untuk berguru dengan sunan bonang. Dengan demikian sunan bonang merupakan guru
spiritual pertama bagi sunan kalijaga.
Sunan bonang menerima sunan kalijaga
sebagai muridnya. Sunan kalijaga diperintahkan untuk tetap berada di tepi
sungai sampai sang sunan kembali menemuinya. Tiada terasa lelah bertahun-tahun
sunan kalijaga menunggu dengan setia kedatangan
sunan bonang. Ia tetap setia bermeditasi di tepi sungai. Inilah yang
disebut kepatuhan dalam ajaran makrifat.Sikap tunduk dalam berguru
spiritual.Bukan teori yang dipelajari, melainkan mujahadah, berjuang untuk mengalami kebenaran.
Setelah tiga tahun, sunan bonang
menemuinya. Dikisahkan bahwa sunan kalijaga bersemedi di tepi sungai dengan
khusyuk hingga rerumputan dan semak menutupinya. Bahkan, ketika hendak
menemuinya sunan bonang mengalami kesulitan. Dengan penuh waspada, akhirnya
sunan bonang berhasil menemukannya. Barulah setelah mengumandangkan adzan,
sunan kalijaga bisa membuka sepasang matanya. Pada tahap berikutnya, Sunan Bonang
menggembleng sunan kalijaga untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual
kepadanya. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam sebuah perahu
berwarna putih. Perahu itu dikatakan sebagai pemberian Nabi Khidir. Setelah itu
barulah akhirnya sunan kalijaga mampu mewarisi ilmu-ilmu yang sunan bonang
ajarkan.[8]
2.
Menjadi
Wali
Raden Mas Sa’id yang
kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga menjadi anggota wali songo
angkatan IV tahun 1463.suanan kali jaga diangkat bersama Raden Mahdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Raden Paku
(Sunan Giri), dan Raden Qosim (Sunan
Drajat). Ke-empat orang tersebut berasal dari perguruan yang sama dan belajar
dalam waktu yang hampir sama pula yaitu perguruan Ampel Denta pimpinan Sunan
Ampel. Walaupun diangkat menjadi anggota wali songo dalam waktu bersamaan,
pengangkatan sunan kalijaga merupakan usulan dari sunan bonang.[9]
Tidak seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, Sunan Kalijaga dalam
mengembangkan agama Islam tidak dengan cara membangun sebuah perguruan ditempat
tinggalnya. Sunan Kalijaga memilih cara dengan mengembara ke segala penjuru
jawa tengah dan jawa timur bahkan sampai ke daerah cirebon seperti halnya di
gunung Surowiti. Di antara murid Sunan Kalijaga yang terkenal dan masih dapat
dilihat situs makamnya di Surowiti sampai sekarang adalah Empu Supo dan Raden
Bagus Mataram.
Sehubungan dengan strategi siar tersebut, Sunan Kalijaga lebih menempuh
cara kompromi untuk meniadakan sikap apriori orang jawa yang masih terikat kuat
dengan agama Hindu, Budha, Animisme maupun Dinamisme. Sunan Kalijaga ingin
membuat agar pemeluk agama lama itu mau mendekat dan bergaul dengan para wali
dan setelah itu sedikit demi sedikit ajaran Islam disampaikan baik secara
terbuka maupun tertutup.
Pengangkatan Sunan Kalijaga menjadi wali sejajar dengan guru-gurunya sulit
dipisahkan dengan sejarah keberadaan Desa Surowiti itu sendiri, karena di atas
gunung itulah Sunan Kali Jaga melakukan serangkaian proses spiritual awal
dibawah bimbingan sang guru, Sunan Bonang. Tidak berlebihan kiranya jika
keberadaan Desa Surowiti bisa dikatakan tonggak sejarah kewalian Sunan Kalijaga
masa berikutnya.
Diantara tonggak sejarah itu adalah sebagai berikut:
a)
Tapa ditepi Telaga Gampeng, disebut Telaga
Buntung, atau perintah Sunan Bonang untuk menjaga tongkat bambu (Pring Silir). Hal itu sebagai
bukti ketundukkan dan keteguhan dalam menjaga amanah.
b)
Melakukan Tapa Ngluweng (dikubur
hidup-hidup) di atas gunung Surowiti untuk menjalani olah spiritual atas
bimbingan Sunan Bonang : “Belajarlah kamu
tentang mati selagi kamu masih hidup untuk mengetahui hidup kamu yang
sesunguhnya. Bersepi dirilah kamu di hutan dan goa dalam batas waktu yang
ditentukan”.
c)
Melakukan siding-sidang dengan
anggota Walisongo lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting
berkaitan dengan perkembangan islam pada waktu itu. Tempat sidang yang sering
digunakan adalah di salah satu ruangan Goa
Langsih.
d)
Mengajarkan ilmu-ilmu agama islam
kepada para muridnya dib alai-balai kecil, sekarang berdiri masjid Raden Syahid
Surowiti.
e)
Menganjurkan puasa senin dan kamis
kepada para muridnya di Surowiti, sampai sekarang dua hari yang dianjurkan itu
menjadi lambang kebiasaan masyarakat Surowiti dan sekitarnya berziarah ke Makam
Sunan Kali Jaga di Surowiti.
f)
Mengajarkan ilmu pertanian dengan
membuat filosofi yang memanfaatkan alat-alat pertanian yang digunakan
masyarakat. Tentang filsafat Pacul, misalnya, setelah petani membajak maka
masih ada sisi-sisi tanah di sudut sawah yang belum terbajak. Artinya,
bagaimanapun setelah cita-cita tercapai masih terdapat kekurangan-kekurangannya.
Peralatan pacul sendiri terdiri dari tiga bagian, yang pertama yaitu paculnya
sendiri, singkatan dari Ngipatake Kang Muncul, artinya dalam mengejar cita-cita
tentu banyak godaan yang harus disingkirkan. Yang kedua adalah Bawak, singkatan dari Obahing
Awak, menggerakkan badan, artinya, semua godaan yang ada harus
dihadapi dengan kerja keras. Yang ketiga adalah Doran, singkatan dari Dedongo ing Pangeran, berdo’a kepada Tuhan. Dalam upaya
mengejar cita-cita tentu tidak cukup mengandalkan kerja fisik saja tetapi perlu
disertai doa kepada Allah SWT.
Keterangan di atas merupakan bagian dari apa yang disebut patilasan, Tapak
Jejak dan Tapak Tilas dari laku spiritual Sunan Kalijaga dalam pengembaraannya
di daerah pesisir utara jawa yang berpusat di gunung Surowiti.
C.
Ajaran
Tasawuf Sunan Kalijaga
1.
Pengamalan
Syariat
Syariat tidak harus dipahami secara
literal dan tidak juga harus dimengerti secara harfiah.Kita harus bisa memahami
makna yang ada di balik yang tampak, kemudian diamalkan untuk kehidupan
nyata.Tidak seluruh bentuk syariat yang menjadi perhatian sunan kalijaga.
Beberapa hal yang menjadi kunci amalan dalam agama islam, seperti sholat dan
haji, yang menjadi perhatiannya. Kedua ibadah ini dilaksanakan secara demonstratif
oleh umat islam.[10]
a) Ibadah
Sholat
Keunggulan seseorang itu terletak pada
pemahaman dan penghayatan dari kesejatian sholat, penyembahan dan pujian, bukan
pada sholat lima waktu. Oleh sunan bonang, mengerjakan sholat lima kali sehari
disebut sembahyang, sifatnya hanyalah tata karma dalam pergaulan umat islam dan
hakikat mengerjakannya hanyalah hiasan bagi sholat daim.
Sholat daim disebut sebagai kebaktian
yang unggul, karena semua tingkah laku merupakan wujud dari sembahyang. Jadi,
sholat daim adalah sholat sepanjang hayat, tidak pernah terputus dalam keadaan
apa pun dan di mana pun. Diam atau bicara, istirahat atau bekerja, tidur maupun
bangun, senantiasa sholat.Semua gerak tubuh ini merupakan sembahyang.Bukan
hanya wudhu, bahkan tatkala bertinja dan kencing pun dalam keadaan sholat.Dalil
dari sholat daim itu sendiri terdapat di dalam Al-qur’an, mengingat hakikat
sholat dalam Al-qur’an ditujukan untuk berzikir kepada Allah dan mencegah
perbuatan keji dan mungkar.
b) Ibadah
Haji
Rukun islam dalam bentuk puasa dan zakat
tidak mendapat porsi utama dalam ajaran islam yang diamalkan sunan kalijaga.
Puasa dan zakat bukan hal yang istimewa bagi masyarakat nusantara termasuk jawa
pada waktu itu.Puasa dan zakat merupakan sikap hidup sebagian besar masyarakat
nusantara. Maka dari itu, ibadah haji dipandang sebagai masuknya tata cara yang
baru dalam hidup beragama.
Sunan kalijaga menggambarkan bahwa
ibadah haji itu buka pergi secara fisik ke kota mekah yang ada di jazirah arab.
Tidak ada yang tahu letak mekah sejati, karena ada di dalam diri.Menempuhnya
harus sabar dan rela hidup di dunia tanpa terjebak keduniaan.Inilah yang
disebut dengan haji.Sabar dan ikhlas dalam meniti kebenaran.
Sabar berarti tahan uji dalam menempuh
kehidupan ini.Terus bertekad menempuh jalan yang benar meski godaan dan
rintangan menghadang.orang yang sabar tak akan berhenti di tengah jalan dalam
mencapai tujuannya. Sedangkan ikhlas atau rela adalah kesanggupan untuk hidup
tak terkontaminasi atau tercemari kotoran dunia.Tak ikut-ikutan berebut takhta,
harta, dan dunia.Semua ini dikatakan sebagai haji karena tujuan haji adalah
untuk menjadikan manusia sempurna, insan
kamil.
Jika kesalehan dalam hidup ini sudah
menjadi bagian pelaksanaan syariat agama, selanjutnya kita tinggal meningkatkan
keimanan dan ketakwaan hidup ini.Meningkatkan keikhlasan dan semangat hidup
yang benar.Tanpa wujud nyata dalam hidup ini maka syariat hanyalah formalitas
belaka.
2.
Tarekat
Sunan
Sunan
kalijaga adalah seorang mistikus. Dia mistikus islam sekaligus mistikus jawa.
Tentu saja dia seorang sufi dan pengamal tarekat. Berdasarkan saresahan wali,
yang menjadi sumber pelajaran keimanan dan makrifat adalah kitab ihya’ ulum ad-din karya Imam
al-Ghazali.Tentunya tarekat yang dianutnya adalah ghazaliyyah.Tetapi, jika dilacak dari berbagai tembang yang
ditulisnya, atau serat suluk tentang dirinya, jelas amat sulit menggolongkan
sunan ke dalam tarekat tertentu.Tampaknya sunan meramu ajaran tarekat yang
berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.[11]
a) Meditasi
dan kontemplasi
Meditasi
atau semedi merupakan salah satu cara dalam tarekatnya sunan kalijaga. Meditasi
atau semedi dapat disamakan dengan zikir. Melakukan meditasi tidak sama dengan
olahraga pernapasan. Kalau olahraga yang diperhatikan hanyalah badan jasmani
saja, tetapi dalam meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan
kesempurnaan spiritual.
Pertama, bagi yang hendak melakukan
semedi harus melakukan sesaji ing sagara,
yaitu mengutamakan peranan kalbu.Sagara atau lautan dalam pandangan jawa
merupakan lambang bagi hati atau kalbu.Harus bisa mengendalikan hati sehingga
pengembaraan perasaan, pikiran dan permana menjadi satu. Kedua, semedi
merupakan cara untuk membersihkan diri dari program lama yang masih melekat
pada pita kaset hidup ini. Ketiga, bila zikir yang dilakukan telah sempurna
benar-benar, yakni angan-angan, pikiran dan ilusi telah lenyap, maka batin sang
pezikir selamat sentosa. Dia terbebas dari segala gangguan batin.
b) Kesalehan
dalam hidup
Dalam bahasa agama, amar makruf (menyeru kematian) merupakan wujud kesalehan
dalam hidup. Baik itu kesalehan pribadi maupun social.Amar makruf merupakan perintah untuk berbuat dan bertindak
kebajikan.Yaitu, perbuatan baik yang sudah dikenal oleh masyarakat.Sesuatu yang
makruf itu merupakan wujud dari kearifan local. Artinya, apa yang ma’ruf di
jazirah Arabia, belum tentu ma’ruf di jawa.
Dalam
kemakrufan local dikenal apa yang namanya pancasetya,
yaitu setya budaya, setya wacana,
setya semaya, setya laksana, dan setya mitra. Pertama, setya budaya.Dengan
budayanya, manusia mencoba mengatasi alam lingkungan hidupnya untuk
kesejahteraan hidupnya.Kedua, setya wacana.Memegang teguh ucapannya.Apa yang
diperbuat sesuai dengan yang dikatakan. Ketiga, setya semaya.Dalam kehidupan
ini kita harus senantiasa menepati janji.Janji merupakan ucapan kesediaan atau
kesanggupan untuk memberikan sesuatu.Keempat, setya laksana.Yaitu bertanggung
jawab atas tugas yang dipikulnya.Kelima, setya mitra.Artinya, yang dibangun
dalam kehidupan ini adalah persahabatan dan kesetiakawanan.Dalam bahasa
kehidupan modern yang kita bangun dalam kehidupan social adalah partnership atau kemitraan.
Tarekat
sunan kalijaga yang intinya mengamalkan zikir dan meditasi dalam kehidupan
sehari-hari, merupakan cara untuk mencapai kesadaran hidup. Bentuk dari
kesadaran itu adalah amar makruf nahi
mungkar dengan basis budaya jawa.Islam yang dibawakan sunan kalijaga
benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam dibawakan dengan gaya
tarekatnya sendiri, yaitu tarekat ala jawa.
3.
Memahami
Hakikat
Tahap
terakhir dalam perjalanan penyempurnaan diri adalah makrifat. Sebelum mencapai tahap itu, maka kita
harus memahami hakikat karena makrifat merupakan buah dari hakikat.Langkah
pertama dalam tahap hakikat adalah mengenal diri. Karena
dengan mengenal dirinya itulah dia akan mengenal Tuhannya. Ada empat ketakjuban
yang harus dipahami dalam tahap hakikat. Yaitu,
ketakjuban pada syahadat, takbir, menghadap kepada Tuhan, dan sakaratul maut.[12]
a) Ketakjuban
terhadap Syahadat
Syahadat
sebenarnya kesaksian. Dengan
demikian, orang yang bersyahadat berarti orang yang bersaksi. Jelas sekali bahwa syahadat bukan
mengucapkan dua kalimat syahadat belaka, melainkan ada kesadaran yang hadir
ketika kalimat itu diucapkan. Jadi, bersyahadat bukan formalitas ucapan tentang
kesaksian saja.
b) Ketakjuban
terhadap Takbir
Selama
ini takbir hanya dimaknai sebagai ucapan Allahu
Akbar. Sebenarnya
kekaguman pada takbir itu adalah pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk
memuji dzat-Nya, keagungan-Nya, kekaguman yang timbul di dalam hati yang
menerima belas kasih-Nya.Jadi, takbir yang sebenarnya itu hasil dari
penghayatan diri terhadap sifat Allah.
c) Ketakjuban
saat menghadap Allah
Ada
perbedaan diantara manusia dan Allah.Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber
kedamaian dan sumber keselamatan. Meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap
kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan
kehadiran Tuhan.
d) Ketakjuban
saat Sakaratul Maut
Sakaratul
maut harus dijemput secara mapan. Mantap dan tidak goyah dalam
menghadapinya. Dalam keadaan sakaratul maut, teroris dan penggembira mungkin
datang silih berganti.Mungkin semua itu menjadi tak berarti bagi yang terlatih
meditasi. Bagi yang biasa zikir, kesadaran itu bagian dari hidupnya. Meditasi
atau zikir adalah cara untuk melatih diri untuk bias menolong dirinya dalam
menghadap Tuhan.
4.
Ma’rifat
Kepada Allah
Makrifat adalah hadirnya kebenaran Allah pada seorang
Sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan “Nur Ilahi”.Makrifat
membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan
dalam akal pikiran.Jika meningkat makrifatnya, maka meningkat pula ketenangan
hatinya. Akan tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena
itu seorang sufi yang sudah sampai pada tingkatan makrifat ini memiliki tanda-tanda
tertentu, antara lain[13] :
a) Selalu memancar cahaya makrifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu sikap wara selalu ada pada dirinya.
b) Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c) Tidak meginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya pada hal yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa
seorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan
duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan makrifat yang dimiliki
cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
Sampai pada tingkatan yang paling tinggi
dalam pencapaiannya sebagai seorang sufi, Sunan Kalijaga telah melewati
beberapa tahapan untuk dapat menuju tingkatan makrifat dan mengenal siapa
dirinya. Dalam perjalanan spiritualnya yang digambarkan dalam sebuah simbol
kehidupan.
Dalam Suluk seh Malaya disebutkan “Lamun
siro arsa munggah kaji, marang mekah kaki ana apa,….lamon ora weruh ing kakbah
sejati, tan wruh iman hidayat” artinya, jika kamu akan melaksanakan ibadah
haji ke Mekkah, kamu harus tau tujuan. Bila belum tahu tujuan yang sebenarnya
dari ibadah haji, tentu apa yang dilakukan itu sia-sia belaka. Demikianlah
sesungguhnya iman hidayat yang harus kau yakini dalam hati.Keyakinan iman
hidayat tidak mungkin ditemukan di luar diri manusia, namun ia sesungguhnya
terletak di dalam diri atau batin manusia itu sendiri. Dalam naskah Suluk
Linglung disebutkan “cahaya gumawang tan wruh arane, pancamaya rampun,
sejatine tyasira yekti, pangareping salira”. Artinya, cahaya yang mencorong
tapi tidak diketahui namanya adalah pancamaya yang sebenarnya ada di dalam
hatimu sendiri, bahkan mangatur dan memimpin dirimu.
Maksudnya manusia yang telah menyingkap dimensi batinnya, akan mengetahui
hakikatnya, bahwa asal-usulnya dari Allah, berupa kesatuan hamba dengan Tuhan
adalah Manunggaling Kawula-Gusti atau dalam Suluk Linglung diungkapkan dengan
iman hidayat. Proses ini dalam Suluk Linglung tercermin dalam kutipan “Lah
ta mara seh Malaya aglis, umanjinga guwa garbaningwang” , artinya, Seh
Malaya segeralah kemari secepatnya, masuklah ke dalam tubuhku. Dalam tahap ini
jiwa manusia bersatu dengan jiwa semesta. Melalui kebersatuan ini maka manusia
mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, yaitu pengetahuan atau ilmu tentang
asal-usul dan tujuan segala apa yang di ciptakan-Nya. Tahap-tahap menuju suluk
di jalan Allah dengan menempuh jalan yang di ridhoi Allah, demi kebahagiaan
abadi baik di dunia dan di akhirat, telah diajarkan dengan baik oleh Sunan
Kalijaga dengan menekankan pentingnya ajaran syari’at guna menggapai ajaran
tarekat dan makrifat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam kehidupan
tasawuf, seseorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa
tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya.Dimana tahap paling dasar adalah
syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran
jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat
dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah
bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan
kepercayaan atau agama yang sama.
Tahap selanjutnya
adalah tahap tarekat.Di tahap ini terdapat banyak perbedaan dalam
aliran-alirannya. Meski tata cara dan bentuk aliran-aliran tarekat itu
berbeda-beda, bahkan ada yang amat tajam perbedaannya, mereka bisa hidup
bersama. Sebagaimana juga tarekat sunan kalijaga yang
meramu ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.
Tahap yang lebih tinggi
lagi adalah tahap hakikat.Tahap ini merupakan ujung dari semua perjalanan.Di
tahap inilah seseorang diharapkan bisa menemukan kebenaran sejati.Tahap
terakhir dalam perjalanan penyempurnaan diri adalah makrifat.Tahap ini
sebenarnya merupakan buah dari tahap hakikat.Karena pada tahap ini manusia
telah menyatukan dirinya dengan Tuhannya.Semua ajaran yang dilakukan dalam
tarekat sebenarnya berujung pada hakikat dan buahnya adalah makrifat.Mengenal
Allah senyata-nyatanya, bukan saja mengenal-Nya di hari akhirat nanti,
melainkan ketika masih di dunia ini saja.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah makalah ini yang kami buat,
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan
krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Chodjim, Achmad. Sunan
Kalijaga : Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi, 2013.
Kompas. Jejak
Para Wali dan Ziaroh Spiritual. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006.
Nahri F, Siami. 2013. “Ajaran
Makrifat Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung” dalam http://www.wartamadani.com/2013/03/ajaran-makrifat-sunan-kalijaga-dalam.html diakses pada tanggal 16 November 2014 pukul 09:14 WIB.
Rahimsyah. Kisah Perjuangan Walisongo. Surabaya:
Dua Media, 2010.
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar : Peran
Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
[1] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta:
Serambi, 2013), hlm. 8.
[2] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar : Peran Walisongo
dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.
283.
[3] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 285.
[4] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 315.
[5] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 337.
[6] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 341.
[7] Rahimsyah, Kisah Perjuangan Walisongo (Surabaya: Dua Media, 2010), hlm. 51.
[8] Kompas, Jejak Para Wali dan Ziaroh Spiritual (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2006), hlm. 148.
[9] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 307.
[10] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 145.
[11] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat,
hlm. 204.
[12] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 240.
[13] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar