Minggu, 15 Februari 2015

Tasawuf Sunan Kalijaga Karya Hamid Hodir



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Raden Mas Sa’id atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga merupakan seorang putra tumenggung. Akan tetapi, sejarah mencatat dia tidak mewarisi kekuasaan dari ayahandanya. Justru dia memilih menjadi seorang pegiat spiritual islam, seorang mistikus islam, serta seorang sufi dan pengamal tarekat di tanah jawa. Oleh karena itu, Dewan Wali Songo mengangkat dia menjadi salah satu dari anggotanya. Dan nyatanya, dialah satu-satunya Wali yang bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat jawa.
Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat. Kokohnya budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam  itulah barangkali karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia khususnya di jawa.
Keberhasilan sunan kalijaga dalam menyebarkan agama islam di jawa dikarenakan ajaran tarekat yang dia ajarkan merupakan ajaran tarekat ala jawa. Ajaran tarekat tersebut merupakan hasil ramuan ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik jawa. Tidak hanya itu, praktik-praktik agama islam di Indonesia, khususnya di jawa berasal dari sunan kalijaga.
Banyak sekali buku yang mengungkapkan tentang kisah sunan kalijaga sebatas kisah hidupnya belaka. Akan tetapi tidak banyak yang mengupas ajaran yang dibawanya. Maka dari itu penulis berusaha mengupas ajaran-ajaran tasawuf sunan kalijaga secara lebih mendalam. Mengingat ajaran-ajaran tasawuf sunan kalijaga sangat cocok bagi masyarakat islam di jawa. Untuk dapat memahami lebih mendalam, berikut penulis akan menjabarkannya dengan makalah ini yang berjudul “ Tasawuf Sunan Kalijaga” sebagai berikut.




B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Sunan Kalijaga itu ?
2.      Bagaimana perjalanan tasawuf Sunan Kalijaga ?
3.      Bagaimana ajaran tasawuf Sunan Kalijaga ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Sunan Kalijaga serta yang terkait dengannya.
2.      Untuk mengetahui tentang perjalanan tasawuf Sunan Kalijaga hingga akhirnya menjadi seorang Wali.
3.      Untuk mengetahui tentang ajaran tasawuf yang khas dari Sunan Kalijaga.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Sunan Kalijaga
1.      Silsilah Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra dari Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Tentu saja, kedudukan adipati pada zaman itu sama sekali berbeda dengan jabatan bupati atau residen sekarang. Kekuasaan adipati saat itu sama seperti raja, tetapi di bawah kekuasaan Maharaja.  Tumenggung Wilatikta  disebut juga sebagai Aria Teja (IV), merupakan keturunan Aria Teja III, Aria Teja II, dan berpangkal pada Aria Teja I, sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalewa (salah seorang pendiri kerajaan Majapahit) yang sudah beragama islam dan berganti nama menjadi Raden Sahur, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawangrum.[1]
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an. Semasa mudanya Sunan Kalijaga mempunyai nama Raden Sa’id atau lebih dikenal dengan Jaka Sa’id.  Sunan Kalijaga diceritakan hidup dalam empat era dekade pemerintahan, yaitu masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (tahun 1580-an).
Sunan Kalijaga beristri dua orang, yaitu yang  pertama bernama Dewi sarah binti maulana ishaq, dan yang kedua bernama Dewi sarakah atau Siti zaenab binti Sunan gunungjati. Istri pertama sunan kalijaga adalah saudara kandung Raden paku (Sunan Giri).DenganDewi Sarah mendapatkan tiga anak, yaitu Raden Umar Sahid (Sunan Muria), Dewi Ruqoyyah, dan Dewi Sofiah. Dengan istri kedua Dewi Sarakah, mendapatkan lima anak, yaitu Kanjeng Ratu Pembayun (istri sultan trenggono), Nyai Ageng Panenggak (istri kyai Pakar), Sunan Hadi (menggantikan kedudukan Sunan Kalijaga di kadilangu), Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.[2]
Tentang nama kalijaga ada beberapa versi yang menjelaskan alasannya. Versi pertama kalijaga dikaitkan dengan awal perjalanannya menjadi murid Sunan Bonang, yang kemudian mengantarkan Raden Mas sa’id menjadi wali, yaitu selama beberapa bulan, bahkan ada yang mengatakan beberapa tahun, menjaga tongkat sang guru yang ditancapkan di tepi sungai. Versi kedua, nama kalijaga dianggap sebagai pertanda wali yang pandai memperlakukan segala macam agama atau aliran yang ada di masyarakat, ketika ia menjalankan tugas mengembangkan islam. Versi ketiga, nama kalijaga dikaitkan dengan nama desa tempat ia tinggal di Cirebon.[3]
2.      Peranan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat. Hasilnya, pada waktu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945, jumlah pemeluk agama islam di jawa dinyatakan sebesar 95%. Selain Syekh siti jenar, hanya beliau yang aktif menyebarkan agama islam dengan menggunakan kultur jawa sebagai medianya.
Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang menciptakan “pakaian takwa”, tembang-tembang jawa, seni memperingati maulud Nabi yang lebih dikenal dengan sebutan Gerebeg Mulud. Upacara Sekaten (Syahadatain, pengucapan dua kalimat syahadat) yang dilakukan setiap tahun untuk mengajak orang jawa masuk islam merupakan ciptaannya juga.Dan salah satu karya besar Sunan Kalijaga adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit, dari bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip karikatur.
Kegiatan tradisi lain hasil kerja Sunan Kalijaga untuk mewarnai budaya masyarakat jawa dengan nilai islam adalah hari raya lebaran (‘idul fitri). Orang islam jawa tradisional ini tidak mengenal sholat ‘idul fitri. Sebelum lebaran, diawali dengan kegiatan nyadran, yaitu ziarah kubur dan membersihkan makam nenek moyang sebelum memasuki bulan romadhon.Awal romadhon ditandai dengan selamatan dan mengirim makanan kepada orang tua, yang di daerah Madiun disebut megengan.Di bulan romadhon diadakan kenduri pada hari-hari tertentu, yaitu malam ke-21 (malemselikur), malam ke-23 (malem telu), malam ke-25 (malem selawe), malam ke-27 (malem pitu), dan terakhir malam ke-29 (malem songo). Kenduri pada hari-hari tertentu itu dimaksudkan untuk mengingatkan umat islam akan datangnya lailatul qodar.[4]
Tradisi lain yang juga hasil kerja Sunan Kalijaga adalah setiap orang yang akan bekerja harus mengucapkan bismillah. Akan tetapi, kata bismillah yang sebenarnya tidak sulit diucapkan itu oleh lidah orang jawa kebanyakan diucapkan dengan semeilah. Selain itu, orang islam ketika menghadapi musibah besar maupun kecil dianjurkan mengucapkan laa ilaha illAllah, yang artinya tiada tuhan selain Allah. Namun, diucapkan dengan wo alaah-alah atau Alah laa ilah.
Kokohnya budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam  itulah barangkali karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia atau jawa. Tetapi sunan kalijaga tentu tidak sendirian, karena di antara para anggota walisongo, khususnya wali songo angkatan IV dan seterusnya, memang ada pembagian tugascara berdakwah agar aktifitas seluruh anggota wali songo dapat menyentuh setiap kelompok masyarakat yang berlatar belakang budaya atau agama lama yang berbeda-beda. Mengingat hal itu maka walaupun ada kekurangannya, peranan sunan kalijaga dalam mengembangkan agama islam di Indonesia jelas penting artinya.
3.      Karya-Karya Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat. Kokohnya budaya dan adat-istiadat orang jawa yang berakar kepada nilai-nilai islam  itulah barangkali karya sunan kalijaga yang paling penting dalam perkembangan islam di Indonesia atau jawa. Karya-karya beliau ada yang berbentuk karya tulis dan ada juga berupa karya seni. Diantara karya-karya beliau adalah :
a)      Wayang kulit
Salah satu karya besar sunan kalijaga adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit, dari bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip karikatur. Misalnya, orang yang menghadap ke depan diukir dengan letak bahu di depan dan di belakang. Tangan wayang kulit dibuat panjang hingga menyentuh kakinya. Bahkan, meski menghadap ke depan, matanya dibuat tampak utuh.
b)      Tembang-tembang
Tembang-tembang yang diciptakan sunan kalijaga sebenarnya merupakan ajaran makrifat, ajaran mistis dalam agama islam. Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, hanya tembang ilir-ilir yang dikenal masyarakat jawa.
c)      Serat dewaruci
Serat dewaruci menceritakan lakon wayang yang menggambarkan Bima mencari Air suci Perwita Sari Kayugung Susuhing Angin (Air Suci Perwita Sari, kayu besar sarang nafsu). Air Suci diperlukan untuk dipersembahkan kepada gurunya, yaitu Pandita Durna, sebagai syarat agar sang guru mau me-wejang­-nya tentang Ngelmu jatining jejering pangeran. Di kalangan masyarakat jawa lakon wayang Dewaruci sangat terkenal, sangat digemari, baik generasi muda maupun tua. Tetapi kepopuleran yang merosot tajam sejak awal dekade 1970-an karena berbagai sebab, membuat serat Dewaruci kini kurang dipahamioleh generasi yang tumbuh pada era 1970-an sampai sekarang.[5]
d)     Suluk Linglung
Berbeda dengan Serat Dewaruci yang sudah lama dikenal masyarakat luas, kitab suluk linglung hanya dikenal oleh kalangan terbatas. Hal itu disebabkan, di samping isinya hampir sama, kitab ini belum lama diterbitkan. Bukti otentik yang ada menunjukkan bahwa kitab suluk linglung ditulis tangan oleh sunan kalijaga sendiri di atas kertas dari kulit hewan dan tinta cina.Entah karena apa, kitab tersebut tidak disampaikan secara terbuka oleh penulisnya kepada masyarakat luas, melainkan dibungkus dengan kain putih. Menjelang usia sunan kalijaga akan sampai pada ajalnya, kitab yang terbungkus kain putih tersebut disampaikan kepada salah satu putranya, tetapi sunan kalijaga tidak mengatakan bahwa itu sebuah kitab. Sunan kalijaga hanya berpesan agar benda tersebut disimpan baik-baik, dan kalau yang menyimpan meninggal dunia hendaknya lalu disampaikan kepada salah satu ahli waris yang dapat dipercaya untuk menjaga benda pusaka itu.[6]
B.     Perjalanan Tasawuf Sunan Kalijaga
1.      Pencarian Guru Sejati
Ketika Sunan Kalijaga lahir di bumi Tuban, keadaan Majapahit mulai surut. Beban upeti kadipaten terhadap pemerintahan pusat semakin besar sehingga masa remaja Sunan Kalijaga dipenuhi dengan keprihatinan.Lebih-lebih ketika Tuban dilanda musim kemarau panjang, pejabat kadipaten menarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena dan para prajurit kadipaten menghardik rakyat kecil dengan sewenang-wenang.Sunan Kalijaga akhirnya memilih menjadi maling cluring (mencuri yang hasil curiannya dibagikan kepada orang miskin).[7]
Tindakan Sunan Kalijaga itu akhirnya diketahui oleh ayahnya, sehingga ia mendapat hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang pasti, hingga akhirnya menetap di hutan jatiwangi. Di hutan itu ia menjadi seorang yang berandal, seorang yang sangat sakti, sehingga ia dijuluki berandal lokajaya. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit dan hasil rampokannya diberikan kepada rakyat miskin.
Suatu hari di hutan jatiwangi, ketika Sunan Kalijaga sedang mengintai orang yang akan menjadi sasaran perampokan, melintaslah di hutan tersebut seseorang yang tampaknya kaya-raya. Orang tersebut memakai jubah serba putih dan bersorban, berjalan dengan memakai tongkat. Orang tersebut tidak lain adalah sunan boning. Dengan kepandaian pencak silatnya, sunan bonang berhasil dilumpuhkan. Sunan bonang diminta untuk menyerahkan  bekal yang dibawanya serta tongkat yang tampak berkilauan. Tentu saja beliau tidak mau menyerahkan hak miliknya. Akan tetapi sunan kalijaga mengancam serta mengutarakan tujuannya bahwa perbuatan merampok itu untuk menolong mereka yang miskin.
Pertemuannya dengan sunan bonang itulah yang membuat sunan kalijaga tercerahkan  hidupnya. Ia akhirnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang salah meski tampak mulia. Akhirnya ia menyatakan diri untuk berguru dengan sunan bonang. Dengan demikian sunan bonang merupakan guru spiritual pertama bagi sunan kalijaga.
Sunan bonang menerima sunan kalijaga sebagai muridnya. Sunan kalijaga diperintahkan untuk tetap berada di tepi sungai sampai sang sunan kembali menemuinya. Tiada terasa lelah bertahun-tahun sunan kalijaga menunggu dengan setia kedatangan  sunan bonang. Ia tetap setia bermeditasi di tepi sungai. Inilah yang disebut kepatuhan dalam ajaran makrifat.Sikap tunduk dalam berguru spiritual.Bukan teori yang dipelajari, melainkan mujahadah, berjuang untuk mengalami kebenaran.
Setelah tiga tahun, sunan bonang menemuinya. Dikisahkan bahwa sunan kalijaga bersemedi di tepi sungai dengan khusyuk hingga rerumputan dan semak menutupinya. Bahkan, ketika hendak menemuinya sunan bonang mengalami kesulitan. Dengan penuh waspada, akhirnya sunan bonang berhasil menemukannya. Barulah setelah mengumandangkan adzan, sunan kalijaga bisa membuka sepasang matanya. Pada tahap berikutnya, Sunan Bonang menggembleng sunan kalijaga untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual kepadanya. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam sebuah perahu berwarna putih. Perahu itu dikatakan sebagai pemberian Nabi Khidir. Setelah itu barulah akhirnya sunan kalijaga mampu mewarisi ilmu-ilmu yang sunan bonang ajarkan.[8]
2.      Menjadi Wali
Raden Mas Sa’id yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga menjadi anggota wali songo angkatan IV tahun 1463.suanan kali jaga diangkat bersama Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri), dan Raden Qosim (Sunan Drajat). Ke-empat orang tersebut berasal dari perguruan yang sama dan belajar dalam waktu yang hampir sama pula yaitu perguruan Ampel Denta pimpinan Sunan Ampel. Walaupun diangkat menjadi anggota wali songo dalam waktu bersamaan, pengangkatan sunan kalijaga merupakan usulan dari sunan bonang.[9]
Tidak seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, Sunan Kalijaga dalam mengembangkan agama Islam tidak dengan cara membangun sebuah perguruan ditempat tinggalnya. Sunan Kalijaga memilih cara dengan mengembara ke segala penjuru jawa tengah dan jawa timur bahkan sampai ke daerah cirebon seperti halnya di gunung Surowiti. Di antara murid Sunan Kalijaga yang terkenal dan masih dapat dilihat situs makamnya di Surowiti sampai sekarang adalah Empu Supo dan Raden Bagus Mataram.
Sehubungan dengan strategi siar tersebut, Sunan Kalijaga lebih menempuh cara kompromi untuk meniadakan sikap apriori orang jawa yang masih terikat kuat dengan agama Hindu, Budha, Animisme maupun Dinamisme. Sunan Kalijaga ingin membuat agar pemeluk agama lama itu mau mendekat dan bergaul dengan para wali dan setelah itu sedikit demi sedikit ajaran Islam disampaikan baik secara terbuka maupun tertutup.
Pengangkatan Sunan Kalijaga menjadi wali sejajar dengan guru-gurunya sulit dipisahkan dengan sejarah keberadaan Desa Surowiti itu sendiri, karena di atas gunung itulah Sunan Kali Jaga melakukan serangkaian proses spiritual awal dibawah bimbingan sang guru, Sunan Bonang. Tidak berlebihan kiranya jika keberadaan Desa Surowiti bisa dikatakan tonggak sejarah kewalian Sunan Kalijaga masa berikutnya.
Diantara tonggak sejarah itu adalah sebagai berikut:
a)      Tapa ditepi Telaga Gampeng, disebut Telaga Buntung, atau perintah Sunan Bonang untuk menjaga tongkat bambu (Pring Silir). Hal itu sebagai bukti ketundukkan dan keteguhan dalam menjaga amanah.
b)      Melakukan Tapa Ngluweng (dikubur hidup-hidup) di atas gunung Surowiti untuk menjalani olah spiritual atas bimbingan Sunan Bonang : “Belajarlah kamu tentang mati selagi kamu masih hidup untuk mengetahui hidup kamu yang sesunguhnya. Bersepi dirilah kamu di hutan dan goa dalam batas waktu yang ditentukan”.
c)      Melakukan siding-sidang dengan anggota Walisongo lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting berkaitan dengan perkembangan islam pada waktu itu. Tempat sidang yang sering digunakan adalah di salah satu ruangan Goa Langsih.
d)     Mengajarkan ilmu-ilmu agama islam kepada para muridnya dib alai-balai kecil, sekarang berdiri masjid Raden Syahid Surowiti.
e)      Menganjurkan puasa senin dan kamis kepada para muridnya di Surowiti, sampai sekarang dua hari yang dianjurkan itu menjadi lambang kebiasaan masyarakat Surowiti dan sekitarnya berziarah ke Makam Sunan Kali Jaga di Surowiti.
f)       Mengajarkan ilmu pertanian dengan membuat filosofi yang memanfaatkan alat-alat pertanian yang digunakan masyarakat. Tentang filsafat Pacul, misalnya, setelah petani membajak maka masih ada sisi-sisi tanah di sudut sawah yang belum terbajak. Artinya, bagaimanapun setelah cita-cita tercapai masih terdapat kekurangan-kekurangannya. Peralatan pacul sendiri terdiri dari tiga bagian, yang pertama yaitu paculnya sendiri, singkatan dari Ngipatake Kang Muncul, artinya dalam mengejar cita-cita tentu banyak godaan yang harus disingkirkan. Yang kedua adalah Bawak, singkatan dari Obahing Awak, menggerakkan badan, artinya, semua godaan yang ada harus dihadapi dengan kerja keras. Yang ketiga adalah Doran, singkatan dari Dedongo ing Pangeran, berdo’a kepada Tuhan. Dalam upaya mengejar cita-cita tentu tidak cukup mengandalkan kerja fisik saja tetapi perlu disertai doa kepada Allah SWT.

Keterangan di atas merupakan bagian dari apa yang disebut patilasan, Tapak Jejak dan Tapak Tilas dari laku spiritual Sunan Kalijaga dalam pengembaraannya di daerah pesisir utara jawa yang berpusat di gunung Surowiti.
C.    Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga
1.      Pengamalan Syariat
Syariat tidak harus dipahami secara literal dan tidak juga harus dimengerti secara harfiah.Kita harus bisa memahami makna yang ada di balik yang tampak, kemudian diamalkan untuk kehidupan nyata.Tidak seluruh bentuk syariat yang menjadi perhatian sunan kalijaga. Beberapa hal yang menjadi kunci amalan dalam agama islam, seperti sholat dan haji, yang menjadi perhatiannya. Kedua ibadah ini dilaksanakan secara demonstratif oleh umat islam.[10]
a)      Ibadah Sholat
Keunggulan seseorang itu terletak pada pemahaman dan penghayatan dari kesejatian sholat, penyembahan dan pujian, bukan pada sholat lima waktu. Oleh sunan bonang, mengerjakan sholat lima kali sehari disebut sembahyang, sifatnya hanyalah tata karma dalam pergaulan umat islam dan hakikat mengerjakannya hanyalah hiasan bagi sholat daim.
Sholat daim disebut sebagai kebaktian yang unggul, karena semua tingkah laku merupakan wujud dari sembahyang. Jadi, sholat daim adalah sholat sepanjang hayat, tidak pernah terputus dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Diam atau bicara, istirahat atau bekerja, tidur maupun bangun, senantiasa sholat.Semua gerak tubuh ini merupakan sembahyang.Bukan hanya wudhu, bahkan tatkala bertinja dan kencing pun dalam keadaan sholat.Dalil dari sholat daim itu sendiri terdapat di dalam Al-qur’an, mengingat hakikat sholat dalam Al-qur’an ditujukan untuk berzikir kepada Allah dan mencegah perbuatan keji dan mungkar.
b)      Ibadah Haji
Rukun islam dalam bentuk puasa dan zakat tidak mendapat porsi utama dalam ajaran islam yang diamalkan sunan kalijaga. Puasa dan zakat bukan hal yang istimewa bagi masyarakat nusantara termasuk jawa pada waktu itu.Puasa dan zakat merupakan sikap hidup sebagian besar masyarakat nusantara. Maka dari itu, ibadah haji dipandang sebagai masuknya tata cara yang baru dalam hidup beragama.
Sunan kalijaga menggambarkan bahwa ibadah haji itu buka pergi secara fisik ke kota mekah yang ada di jazirah arab. Tidak ada yang tahu letak mekah sejati, karena ada di dalam diri.Menempuhnya harus sabar dan rela hidup di dunia tanpa terjebak keduniaan.Inilah yang disebut dengan haji.Sabar dan ikhlas dalam meniti kebenaran.
Sabar berarti tahan uji dalam menempuh kehidupan ini.Terus bertekad menempuh jalan yang benar meski godaan dan rintangan menghadang.orang yang sabar tak akan berhenti di tengah jalan dalam mencapai tujuannya. Sedangkan ikhlas atau rela adalah kesanggupan untuk hidup tak terkontaminasi atau tercemari kotoran dunia.Tak ikut-ikutan berebut takhta, harta, dan dunia.Semua ini dikatakan sebagai haji karena tujuan haji adalah untuk menjadikan manusia sempurna, insan kamil.
Jika kesalehan dalam hidup ini sudah menjadi bagian pelaksanaan syariat agama, selanjutnya kita tinggal meningkatkan keimanan dan ketakwaan hidup ini.Meningkatkan keikhlasan dan semangat hidup yang benar.Tanpa wujud nyata dalam hidup ini maka syariat hanyalah formalitas belaka.
2.      Tarekat Sunan
Sunan kalijaga adalah seorang mistikus. Dia mistikus islam sekaligus mistikus jawa. Tentu saja dia seorang sufi dan pengamal tarekat. Berdasarkan saresahan wali, yang menjadi sumber pelajaran keimanan dan makrifat adalah kitab ihya’ ulum ad-din karya Imam al-Ghazali.Tentunya tarekat yang dianutnya adalah ghazaliyyah.Tetapi, jika dilacak dari berbagai tembang yang ditulisnya, atau serat suluk tentang dirinya, jelas amat sulit menggolongkan sunan ke dalam tarekat tertentu.Tampaknya sunan meramu ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.[11]
a)      Meditasi dan kontemplasi
Meditasi atau semedi merupakan salah satu cara dalam tarekatnya sunan kalijaga. Meditasi atau semedi dapat disamakan dengan zikir. Melakukan meditasi tidak sama dengan olahraga pernapasan. Kalau olahraga yang diperhatikan hanyalah badan jasmani saja, tetapi dalam meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan kesempurnaan spiritual.
Pertama, bagi yang hendak melakukan semedi harus melakukan sesaji ing sagara, yaitu mengutamakan peranan kalbu.Sagara atau lautan dalam pandangan jawa merupakan lambang bagi hati atau kalbu.Harus bisa mengendalikan hati sehingga pengembaraan perasaan, pikiran dan permana menjadi satu. Kedua, semedi merupakan cara untuk membersihkan diri dari program lama yang masih melekat pada pita kaset hidup ini. Ketiga, bila zikir yang dilakukan telah sempurna benar-benar, yakni angan-angan, pikiran dan ilusi telah lenyap, maka batin sang pezikir selamat sentosa. Dia terbebas dari segala gangguan batin.
b)      Kesalehan dalam hidup
Dalam bahasa agama, amar makruf  (menyeru kematian) merupakan wujud kesalehan dalam hidup. Baik itu kesalehan pribadi maupun social.Amar makruf merupakan perintah untuk berbuat dan bertindak kebajikan.Yaitu, perbuatan baik yang sudah dikenal oleh masyarakat.Sesuatu yang makruf itu merupakan wujud dari kearifan local. Artinya, apa yang ma’ruf di jazirah Arabia, belum tentu ma’ruf di jawa.
Dalam kemakrufan local dikenal apa yang namanya pancasetya, yaitu setya budaya, setya wacana, setya semaya, setya laksana, dan setya mitra. Pertama, setya budaya.Dengan budayanya, manusia mencoba mengatasi alam lingkungan hidupnya untuk kesejahteraan hidupnya.Kedua, setya wacana.Memegang teguh ucapannya.Apa yang diperbuat sesuai dengan yang dikatakan. Ketiga, setya semaya.Dalam kehidupan ini kita harus senantiasa menepati janji.Janji merupakan ucapan kesediaan atau kesanggupan untuk memberikan sesuatu.Keempat, setya laksana.Yaitu bertanggung jawab atas tugas yang dipikulnya.Kelima, setya mitra.Artinya, yang dibangun dalam kehidupan ini adalah persahabatan dan kesetiakawanan.Dalam bahasa kehidupan modern yang kita bangun dalam kehidupan social adalah partnership atau kemitraan.
Tarekat sunan kalijaga yang intinya mengamalkan zikir dan meditasi dalam kehidupan sehari-hari, merupakan cara untuk mencapai kesadaran hidup. Bentuk dari kesadaran itu adalah amar makruf nahi mungkar dengan basis budaya jawa.Islam yang dibawakan sunan kalijaga benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam dibawakan dengan gaya tarekatnya sendiri, yaitu tarekat ala jawa.
3.      Memahami Hakikat
Tahap terakhir dalam perjalanan penyempurnaan diri adalah makrifat. Sebelum mencapai tahap itu, maka kita harus memahami hakikat karena makrifat merupakan buah dari hakikat.Langkah pertama dalam tahap hakikat adalah mengenal diri. Karena dengan mengenal dirinya itulah dia akan mengenal Tuhannya. Ada empat ketakjuban yang harus dipahami dalam tahap hakikat. Yaitu, ketakjuban pada syahadat, takbir, menghadap kepada Tuhan, dan sakaratul maut.[12]

a)      Ketakjuban terhadap Syahadat
Syahadat sebenarnya kesaksian. Dengan demikian, orang yang bersyahadat berarti orang yang bersaksi. Jelas sekali bahwa syahadat bukan mengucapkan dua kalimat syahadat belaka, melainkan ada kesadaran yang hadir ketika kalimat itu diucapkan. Jadi, bersyahadat bukan formalitas ucapan tentang kesaksian saja.
b)      Ketakjuban terhadap Takbir
Selama ini takbir hanya dimaknai sebagai ucapan Allahu Akbar. Sebenarnya kekaguman pada takbir itu adalah pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji dzat-Nya, keagungan-Nya, kekaguman yang timbul di dalam hati yang menerima belas kasih-Nya.Jadi, takbir yang sebenarnya itu hasil dari penghayatan diri terhadap sifat Allah.
c)      Ketakjuban saat menghadap Allah
Ada perbedaan diantara manusia dan Allah.Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian dan sumber keselamatan. Meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan.
d)     Ketakjuban saat Sakaratul Maut
Sakaratul maut harus dijemput secara mapan. Mantap dan tidak goyah dalam menghadapinya. Dalam keadaan sakaratul maut, teroris dan penggembira mungkin datang silih berganti.Mungkin semua itu menjadi tak berarti bagi yang terlatih meditasi. Bagi yang biasa zikir, kesadaran itu bagian dari hidupnya. Meditasi atau zikir adalah cara untuk melatih diri untuk bias menolong dirinya dalam menghadap Tuhan.



4.      Ma’rifat Kepada Allah
Makrifat adalah hadirnya kebenaran Allah pada seorang Sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan “Nur Ilahi”.Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.Jika meningkat makrifatnya, maka meningkat pula ketenangan hatinya. Akan tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu seorang sufi yang sudah sampai pada tingkatan makrifat ini memiliki tanda-tanda tertentu, antara lain[13] :
a)      Selalu memancar cahaya makrifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara selalu ada pada dirinya.
b)      Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c)      Tidak meginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan makrifat yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Sampai pada tingkatan yang paling tinggi dalam pencapaiannya sebagai seorang sufi, Sunan Kalijaga telah melewati beberapa tahapan untuk dapat menuju tingkatan makrifat dan mengenal siapa dirinya. Dalam perjalanan spiritualnya yang digambarkan dalam sebuah simbol kehidupan.
Dalam Suluk seh Malaya disebutkan “Lamun siro arsa munggah kaji, marang mekah kaki ana apa,….lamon ora weruh ing kakbah sejati, tan wruh iman hidayat” artinya, jika kamu akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kamu harus tau tujuan. Bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, tentu apa yang dilakukan itu sia-sia belaka. Demikianlah sesungguhnya iman hidayat yang harus kau yakini dalam hati.Keyakinan iman hidayat tidak mungkin ditemukan di luar diri manusia, namun ia sesungguhnya terletak di dalam diri atau batin manusia itu sendiri. Dalam naskah Suluk Linglung disebutkan “cahaya gumawang tan wruh arane, pancamaya rampun, sejatine tyasira yekti, pangareping salira”. Artinya, cahaya yang mencorong tapi tidak diketahui namanya adalah pancamaya yang sebenarnya ada di dalam hatimu sendiri, bahkan mangatur dan memimpin dirimu.
Maksudnya manusia yang telah menyingkap dimensi batinnya, akan mengetahui hakikatnya, bahwa asal-usulnya dari Allah, berupa kesatuan hamba dengan Tuhan adalah Manunggaling Kawula-Gusti atau dalam Suluk Linglung diungkapkan dengan iman hidayat. Proses ini dalam Suluk Linglung tercermin dalam kutipan “Lah ta mara seh Malaya aglis, umanjinga guwa garbaningwang” , artinya, Seh Malaya segeralah kemari secepatnya, masuklah ke dalam tubuhku. Dalam tahap ini jiwa manusia bersatu dengan jiwa semesta. Melalui kebersatuan ini maka manusia mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, yaitu pengetahuan atau ilmu tentang asal-usul dan tujuan segala apa yang di ciptakan-Nya. Tahap-tahap menuju suluk di jalan Allah dengan menempuh jalan yang di ridhoi Allah, demi kebahagiaan abadi baik di dunia dan di akhirat, telah diajarkan dengan baik oleh Sunan Kalijaga dengan menekankan pentingnya ajaran syari’at guna menggapai ajaran tarekat dan makrifat.
                                                                                                                                   

















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dalam kehidupan tasawuf, seseorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya.Dimana tahap paling dasar adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa  seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.
Tahap selanjutnya adalah tahap tarekat.Di tahap ini terdapat banyak perbedaan dalam aliran-alirannya. Meski tata cara dan bentuk aliran-aliran tarekat itu berbeda-beda, bahkan ada yang amat tajam perbedaannya, mereka bisa hidup bersama. Sebagaimana juga tarekat sunan kalijaga yang meramu ajaran tarekat yang berasal dari luar dengan praktik mistik jawa.
Tahap yang lebih tinggi lagi adalah tahap hakikat.Tahap ini merupakan ujung dari semua perjalanan.Di tahap inilah seseorang diharapkan bisa menemukan kebenaran sejati.Tahap terakhir dalam perjalanan penyempurnaan diri adalah makrifat.Tahap ini sebenarnya merupakan buah dari tahap hakikat.Karena pada tahap ini manusia telah menyatukan dirinya dengan Tuhannya.Semua ajaran yang dilakukan dalam tarekat sebenarnya berujung pada hakikat dan buahnya adalah makrifat.Mengenal Allah senyata-nyatanya, bukan saja mengenal-Nya di hari akhirat nanti, melainkan ketika masih di dunia ini saja.

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah ini yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

 

Chodjim, Achmad. Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi, 2013.
Kompas. Jejak Para Wali dan Ziaroh Spiritual. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006.
Nahri F, Siami. 2013. Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung” dalam http://www.wartamadani.com/2013/03/ajaran-makrifat-sunan-kalijaga-dalam.html diakses pada tanggal 16 November 2014 pukul 09:14 WIB.
Rahimsyah. Kisah Perjuangan Walisongo. Surabaya: Dua Media, 2010.
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar : Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.







[1] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2013), hlm. 8.
[2] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar : Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 283.
[3] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 285.
[4] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 315.
[5] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 337.
[6] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 341.
[7] Rahimsyah, Kisah Perjuangan Walisongo (Surabaya: Dua Media, 2010), hlm. 51.
[8] Kompas, Jejak Para Wali dan Ziaroh Spiritual (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 148.
[9] Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, hlm. 307.
[10] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 145.
[11] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 204.
[12] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 240.
[13] Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, hlm. 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar