BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bergulirnya
masa ke masa tidak pernah memakan sosok Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof
dan teolog muslim besar yang berpengaruh terhadap dunia pemikiran Islam.
Pemikiran-pemikiran Beliau sangat perlu diketahui pada zaman sekarang ini yang
semakin kompleks sebagai solusi untuk mengapai “ketenaganan diri”.
Beradasarkan latar
belakang tersebut, maka kami berusaha sebisa mungkin untuk membuat makalah ini,
sebagai wujud keperdulian kami untuk masyarakat dan sebagai bukti pengamalan
ilmu yang kami dapat. Selain itu, ini juga sebagai tanggung jawab kami dalam memenuhi
tugas pada mata kuliah Akhlak dan Tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil?
2.
Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali?
3.
Apa saja karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali?
4.
Apa pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali terhadap dunia
Islam?
C.
Maksud dan Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali
2.
Mengetahui pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
3.
Mengetahui karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali
4.
Mengetahui pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali terhadap
dunia Isam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Imam AGhazali
Nama lengkap Imam
Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi
al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang terletak dekat kota Thus,
Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada singgasana Seljuk dan
wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah
desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara kota-kota yang terkenal di
Khurasan pada zaman dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi
termasyhur karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal
di sana pada tahun 1020 M.
Beliau adalah
seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai algazel di
dunia Barat pada abad pertengahan. Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang
anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan
ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya
yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar
asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau hidup
miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali gemar
mempelajari ilmu tasawuf, karena ayah Ghazali hanya mau makan dari hasil usaha
tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu
berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajal tidak
memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai
do’a yang ia panjatkan. Namun, cita-cita ayah Ghazali terbukti dengan
keberhasilan Imam Al-Ghazali menjadi filosof dan teolog muslim terkemuka pada
zamannya.
Awal
mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun
dalam hal ini ada dua versi:
1.
Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada
saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk
dididik dan dibimbing dengan baik.
2.
Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya
Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Di antara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam
Al-Haramaîn Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An-Nizhâmiyah
Nisyapur. Al-Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[1]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al-Juwaini
kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali
kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada
tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al-Mâlik di kota
Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah, Ismâiliyyah, golongan filsafat dan
lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan
Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘Inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?, Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya
serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi.
Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang
dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 52-53 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54/55 tahun.[2]
B.
Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
1.
Filsafat Al-Ghazali
Sebagaimana
kecenderungan umum pemikir filsafat yang selalu bergerak di antara manusia,
alam, dan Tuhan, maka hampir seluruh pemikiran Islam terpusat pada masalah
usaha manusia memahami dirinya sendiri, alam sekitarnya dan kemudian Tuhan.
Manusialah di antara makhluk yang paling mampu menganalisis dirinya sendiri.
Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia termasuk
malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.
Usaha manusia
untuk mengerti tidak hanya berhenti pada
objek dirinya sendiri, akan tetapi bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia segala
sesuatu yang ‘ada’, termasuk mencoba mengerti Tuhan.
Dalam tradisi
pemikiran Islam, dunia dan alam semesta ini justru diciptakan karena Allah
mencipta manusia. Manusia yang menjadikan alam dunia ini mempunyai makna dan
berfungsi. Untuk maksud tersebut Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin dan
khalifah di muka bumi.
Namun segera
sebuah pertanyaan dapat diajukan mengenai siapa manusia itu sesungguhnya.
Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang cukup pelik untuk dijawab. Akan
tetapi tingkat kesadaran manusia terhadap eksistensinya sendiri yang bertaraf
lebih tinggi daripada makhluk Tuhan lainnya telah menuntun manusia menjawab
pertanyaan di atas dengan jawaban-jawaban yang hampir mendekati kebenaran.
Kehampiran
terhadap penemuan kebenaran di atas menyebabkan manusia sangat bersemangat
untuk mencapainya. Akan tetapi, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ternyata
sepanjang sejarah itu sendiri manusia belum selesai dan mencapai apa yang
dicarinya. Di sinilah manusia selalu terdorong untuk bersikap kreatif dan
kritis namun juga menyebabkan sebagian orang bersikap skeptis dan pesimistis.
Di samping
sikap tersebut di atas, sebagian lain kemudian menyebutkan bahwa kebenaran
pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan akhir-akhir ini sebagian mereka
menyebutkan bahwa apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah haruslah
berupa suatu proposisi yang menimbulkan keraguan. Akankan demikian pemikiran
Islam dan Imam Al-Ghazali? Yang pasti berbeda adalah keyakinan mereka terhadap
adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap pemikir muslim
mengarahkan kegiatan pemikiran mereka.[3]
Berdasarkan
pandangan tentang alam dan manusia, Imam Al-Ghazali menempatkan roh dalam
kerangka metodologi untuk memperoleh dan memahami kebenaran Islam. Oleh karena
itu Imam Al-Ghazali memandangan bahwa penempatan roh dalam struktur
kepribadian dan tindakan adalah merupakan problem utama konsistensi manusia
terhadap hakikat keberadaannya.
Bagi Imam
Al-Ghazali, hanya menempatkan roh sebagai substansi eksistensi secara
fungsional, manusia akan memiliki kekuatan dan keberanian untuk bersedia
menyerah secara mutlak kepada kebenaran. Hal itu disebabkan hanya roh yang
memilki kebebasan sebagai landasan mengatasi dunia objektif yang dimensional.
Hanya roh yang memiliki kemampuan membebaskan diri dari keterbatasan penguasaan
terhadap objek duniawi dalam arti yang kesekarangan yang kedekatan serta
pendek. Dengan demikian maka hanya roh yang memiliki peluang untuk memahami dan
mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan dan kebahagian. Inilah salah
satu pemikiran Imam Al-Ghazali dalam berfilsafat.
2.
Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf sunni
yaitu berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta ditambah dengan doktrin
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat dilihat
dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan
Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-Ghazali
menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad
(kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya:
a.
Pandangan
Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada,
alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir,
qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi
(kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang
dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b.
Pandangan Al-Ghazali
tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan
yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah), di dalam kitab Kimiya
As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan
watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya
mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya
telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada
kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.[4] Dia
pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa
yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang
dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa
satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-Ghazali
adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.[5]
Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat
serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad
tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Masjid Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat
itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan
karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak
berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tasawuf
mulai digandrungi masyarakat lagi.
3.
Filsafat Etika/Akhlak Imam Al-Ghazali
Akhlak sebagai
bidang studi pada saat ini, sangat diperlukan di dalam proses sosialisasi. Hubungan
manusia kepada ‘Alam pada kenyataannya kurang dapat dikatakan bagus.
Kerusakan-kerusakan yang ada pada dunia ini, semuanya itu bermula dari ulahnya
manusia yang kurang bertanggung jawab. Maka mengkaji secara mendalam “Akhlak”
sangat diperlukan sebagai pedoman dalam bersosialisasi dengan ‘alam secara
baik.
Menurut
Al-Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al-Ghazali,
Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang
jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan,
kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara
masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al-Ghazali membagi jiwa
menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an-nafs al-bahîmiyyah) yang berasal
dari materi, jiwa berani (an-nafs as-sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an-nafs an-nâthiqah)
yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al-Ghazali juga membuat
tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan,
keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah
dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan
akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan
syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan
berani.
Al-Ghazali
mengenalkan konsep jalan lurus (ash-shirât al-mustaqîm) yang dinyatakan lebih
halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan
jalan ini akan dapat dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ`
‘Ulûm Ad Dîn merupakan salah satu karya Al-Ghazali yang mengupas tentang
pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat etika Al-Ghazali
adalah Tashawuf Al-Ghazal, yang bertujuan pokok: Maksudnya bahwa manusia
semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang,
pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur,
takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq
merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan
untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan
ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan
diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai
Allah SWT.
Al-Ghazali
berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan
dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al-Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah
muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al-Ghazali ada dua, yaitu
kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan
(sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu
sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al-qalb).[6]
C.
Karya-karya Imam Al-Ghazali
Rampung
dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat
filosof Islam, Al-Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan
banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al-Ghazali
menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di
antaranya, Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian
alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen
para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil
adanya penyelewengan.[7]
Al-Ghazali
mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan
terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama,
pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan
dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[8]
-
Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof),
karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
-
Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof)
yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali
mengecam filsafat para filosof dengan keras.
-
Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
-
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi
panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
-
Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan),
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan
sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
-
Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
-
Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak),
pembahasan akhlâq tashawuf.
-
Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada
Tuhan).
-
Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
-
Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
-
Al Mustasyfa (yang terpilih).
-
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
-
Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
D.
Pengaruh Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pencaplokan
Al-Quds dan daerah-daerah lainnya oleh Tentara Salib bukannya membuat para
sultan sadar akan penderitaan dan bahaya yang ada, malah memperburuknya dengan
hanya memikirkan masalah kesenangan dan nafsu pribadi. Mereka memperkaya diri
dengan tingginya pungutan pajak yang menyengsarakan rakyat. Mereka bangga serta
lalai oleh gelimang kemewahan harta yang sebagiannya diperoleh dengan cara yang
dzalim.
Rakyat
mengalami kesengsaraan, ketakutan serta kelaparan yang dahsyat. Hingga ada yang
harus memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang mati. Akibatnya, muncul
para kanibal dari Sudan yang biasa mencari korban orang-orang yang masih hidup.
Mereka membantai dan memakannya ramai-ramai.
Inilah
sekelumit gambaran kemerosotan kondisi umat Islam saat itu. Tapi kita tak bisa
serta merta menyalahkan para sultan saja. Ada ketidakberesan dalam mayoritas
umat, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat
setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas terdahulu (as-salafus-shalih).
Penyimpangan yang merambah semua kalangan, baik pemerintah, ulama, tentara,
kaum kaya dan rakyat jelata.
Ajaibnya,
77 tahun kemudian, tampillah Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya
merebut Hitthin sebagai
pembuka jalan untuk merebut Palestina. Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi ini adalah
sosok utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah
dia adalah seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan
kesaktiannya?
Tentu
tidak. Ada jarak lebih hampir satu abad antara jatuhnya Al-Quds ke tangan
Tentara Salib hingga kembali ke tangan umat Islam. Tentu ada upaya sangat keras
yang digerilyakan para ulama di masa jeda itu untuk memulihkan kondisi umat
yang pesakitan.
Sepanjang
masa keterpurukan itu, sekitar 50-an tahun, ada karya serta peran signifikan
sejumlah ulama dan tokoh umat Islam dalam merekonstruksi umat. Seperti Imam Abu
Hamid Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan
sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma
pemikiran dan pendidikan umat.
Mereka
berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat.
Rusaknya kondisi umat saat itu adalah akibat dari sakitnya pemikiran, salah
satu sebabnya adalah pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang.
Perselisihan mazhab yang anarkis terjadi di mana-mana, sering terjadi tawuran
antar pengikut mazhab yang mengakibatkan kerusakan, perpecahan dan anarkisme
sosial-politik menjadi-jadi, kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat
merentang sangat tajam.
Fenomena
kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena
perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul.
Demikian pula aspek politik umat, tidak banyak tokoh yang memiliki kelayakan
untuk menjadi pemimpin. Perpecahan, perseteruan, dan kudeta politik merupakan
hal yang lumrah.
Intelejen
musuh jelas mengetahui keadaan ini dan memanfaatkannya, mereka menyerang dan
membantai kaum Muslimin yang sebelumnya sudah koyak dengan adanya perpecahan
sektarian. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer)
umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk
umat di sekitar Al-Quds ketika itu.
Usaha
untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan tentara Salib dilakukan
oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham
Al-Muluk, menteri dari Bani Saljuq yang menjabat selama 30 tahun. Tetapi tidak
efektif, selain karena ia dibunuh, juga karena tidak memulai dari akar penyakit,
yakni sekarat pemikiran.
Sebuah
masyarakat terdiri dari tiga elemen utama; pemikiran (afkar), individu manusia
(asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat mengalami kesehatan jika
individu dan materi berporos pada pemikiran yang benar. Mata rantai lakon
manusia bermula dari niat, lalu pemikiran dan kemauan, kemudian menjelma
menjadi tindakan.
Maka,
setelah niat dan keyakinan, kesehatan pemikiran adalah modal dasar menuju
perubahan dan kesehatan sosial. Iniah yang kemudian ditelateni para ulama
ketika itu dalam memulihkan kondisi umat.
Salah
satu simpul utama ulama yang mencoba memulihkan kondisi ini adalah Imam
Al-Ghazali (hidup tahun 450-505 H) yang dengan akhlak, ilmu dan
kecerdasannya, mampu menyatukan perpecahan madzhab yang terjadi. Ia menyadarkan
para tokoh dan penganut madzhab, serta mengembalikan kondisi menjadi lebih
baik. Selain usaha dan ilmu yang beliau ajarkan, curahan kecerdasannya
menghasilkan karya-karya yang dengan izin Allah menyadarkan para penguasa,
filosof, sufi sesat, serta kelompok ulama su’ atau ulama duniawi yang
dengan ilmunya hanya bertujuan mencari simpati penguasa, harta, serta jabatan.
Fase
pertama, gerakan ishlah (reformasi) yang dipelopori oleh Imam Al-Ghazali
ini menggunakan metode baru untuk melakukan rekonstruksi umat. Beliau mundur
dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya
pembenahan diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, kemudian kembali
ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah.
Gerakan
Imam Al-Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan
Al-Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kepecundangan
mental dari tubuh umat, yakni dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai
langkah awalnya. Selanjutnya Imam Al-Ghazali melakukan kritik sosial atas umat;
mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga
masyarakat pada umumnya. Imam Al-Ghazali juga mendirikan madrasah untuk
mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.
Pada
fase kedua, pengaruh Imam Al-Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir
Al-Jaylani (hidup tahun 470-561 H) dengan madrasah dan gerakan reformasinya.
Pada saat Imam Al-Ghazali meninggal, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani sudah
berusia 35 tahun. Pengaruh Imam Al-Ghazali sangat nampak dalam berbagai tulisan
Al-Jaylani. Aspek ishlah yang beliau tekankan pun sama seperti yang ditekankan
oleh Imam Al-Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu.
Pada
fase ini, persebaran madrasah ishlah menjadi kian masif dan distributif.
Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al-Jilani) menjadi pusat
pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota
besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak
di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat. Maka dari sinilah rantai Islah mulai
solid dengan munculnya tokoh-tokoh ‘penguasa’ yang sadar akan pentingnya Islah, seperti
Sultan Nuruddin Zanki yang beretnik Turki, lalu diteruskan oleh putra angkatnya
yang beretnik Kurdi, Shalahuddin Al-Ayyubi.
Ketika
Nuruddin Zanki dan Shalahudin AlAyyubi melakukan reformasi sosial politik,
banyak alumni-alumni madrasah ishlah yang sudah tercerahkan mengisi posisi
penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan
militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menyongsong reformasi.
Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan.
Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al-Quds, pada tahun 569
H, di bawah komando Al-Ayyubi, umat Islam berhasil meraih kemenangan besar dengan
menebas tuntas kaum Salib yang menguasai Palestina dan merebut kembali Masjidil
Aqsha.
Dalam
buku Hakadza
Dzaharu Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Aadat al Quds susunan Dr. Majid
Irsan Al-Kilani, kemenangan itu digambarkan sebagai
berikut;
“…Pertempuran
pun berkecamuk dengan begitu sengitnya. Pasukan Muslim menyerbu dengan gigih
demi meraih balasan surga dan mati syahid. Akhirnya mereka berhasil memasuki
kota suci Baitul Maqdis dengan penuh gema takbir ‘Allahu Akbar!’ dan tahlil
‘Laa Ilaaha Illa Allaah!’ Gelombang pasukan Muslim bergerak dengan pasti menuju
Masjid Al-Aqsha yang telah bebas lalu membersihkannya dari segala noda dan
kotoran yang ditinggalkan oleh kaum Salib.
Saat
kaum muslimin melaksanakan Shalat Jum’at pertama, masjid begitu sesak dan
mereka tidak kuasa menahan cucuran air mata karena haru. Shalahuddin Al-Ayyubi
meminta Ibn Az-Zaki As-Syafi’i (pengikut madzhab Imam Syafi’i) untuk
menyampaikan khutbah Jum’at, beliau membuka khutbahnya dengan mengutip firman
Allah swt.:
“Maka
orang-orang yang dzolim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Surah Al-An’am: 45)
Setelah
melaksanakan shalat Jum’at, Shalahuddin memohon kepada Ibn Naja’ Al-Qadiri
Al-Hambali (murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani serta pengikut madzhab Imam
Ahmad bin Hanbal) untuk menyampaikan mau’idzah (wejangan) penyemangat umat, dan
saat itu, banyaklah orang yang tidak sanggup menahan cucuran air mata mereka…”
Kemenangan
umat Islam dalam pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi ini tentu mengejutkan, karena
sebelumnya masyarakat terjangkiti berbagai penyakit akut. Mulai dari
disorientasi pendidikan, fanatisme golongan, filsafat materialisme, kesenjangan
ekonomi, kerapuhan politik, kebusukan moral, dan banyak lagi penyakit sosial
yang bisa disebutkan. Semua bentuk penyakit tersebut berakar dari pola pikir
keliru yang terlanjur menggurita di tengah masyarakat, parahnya,
terinstitusikan dalam lembaga-lembaga resmi.
Para
ulama, mulai dari Al-Ghazali hingga Al-Jaylani, berikhtiar memperbaiki itu.
Perubahan sosial tidak bisa terjadi dalam hitungan hari, butuh bertahun-tahun
untuk mengupayakannya. Butuh lebih dari 50 tahun jaringan ulama mengobati
penyakit umat di masa kelam umat Islam.
Ada
lima pola yang dipraktekkan Imam Al-Ghazali dalam rentang sejarah masa kelam
tersebut untuk melahirkan reformasi pemikiran umat, yakni;
Pertama, identifikasi akar penyakit. Ada suatu upaya pencerahan terhadap
pola pikir, karena sehat atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan atas
kondisi pemikiran yang dianutnya. Kerancuan filsafat, keterpisahan tasawuf dan
fiqh, fanatisme mazhab, adalah contoh dampak negatif pemikiran yang dipulihkan Imam
Al-Ghazali
Kedua, adanya evaluasi terhadap aspek pendidikan. Apa yang diupayakan
Al-Ghazali, lalu kemudian dilanjutkan Al-Jaylani, bermula dari ranah pendidikan
umat secara kultural dan komplit. Pembinaan moral umat tanpa tendensi politik
kekuasaan. Melalui bentuk ‘sekolah formal’ semisal Nidzamiyah ala Ghazali atau
Madrasah Abdul Qadir Jaylani
Ketiga, mengoptimalkan potensi spiritual. Pemapanan mental spiritual
sangat nampak pada perjuangan Al-Ghazali maupun Al-Jaylani, sebagaimana terbaca
dalam karya mereka. Bukan kebatinan, melainkan olah rasa yang tetap terkoneksi
dengan jangkar syariat dan kemudi akal.
Keempat, gerakan kolektif. Sadar bahwa perubahan masyarakat tak bisa
dilakukan sendirian, Imam Al-Ghazali mengkader murid-muridnya untuk
melestarikan ide-ide reformasinya. Berlanjut ke Al-Jaylani, madrasah-madrasah
yang ia dirikan di berbagai titik kota besar dan pelosok desa menjadi corong
ide reformasi yang ampuh. Gerakan yang kemudian lahir adalah kombinasi berbagai
unsur masyarakat yang tercerahkan berkat upaya puluhan tahun madrasah-madrasah
tersebut.
Kelima, kesadaran teritorial. Persatuan umat yang diupayakan Zanki dan
Al-Ayyubi tidak sekedar berdasar keyakinan sebagai umat Islam, tetapi juga kehormatan
sebagai sebuah bangsa.
Jika
kita mampu membaca ‘tingkah polah’ sejarah ini, maka kita bisa menakar posisi
tokoh di tengah kancah sejarah kapanpun dimanapun. Kita bisa pula menentukan
bagaimana bersikap terhadap zaman dan keadaan. Kita juga tidak akan
terburu-buru memanen hasil. Kita tidak pula gampang pesimis dengan kondisi yang
tak kunjung berubah. Karena yang terpenting adalah perubahan radikal terhadap
paradigma dan pola pikir. Lalu selanjutnya, melakukan perubahan struktural di
tengah masyarakat.
Panen ada masanya. Imam Al-Ghazali tidak mengalami
masa kemenangan umat atas Al-Quds, namun kegemilangan yang terjadi saat itu
adalah andil benih yang pernah ditanamnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama lengkap Imam
Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi
al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang terletak dekat kota Thus,
Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada singgasana Seljuk dan
wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah
desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara kota-kota yang terkenal di
Khurasan pada zaman dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi
termasyhur karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal
di sana pada tahun 1020 M.
Awal
mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal,
namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada
saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak
yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq
(laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu
pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya.
Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah
dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al
Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum
filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm,
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat
Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al
Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
B.
Saran
Semakin
bergumulnya dunia sekarang ini, maka perlu adanya sebuah suplement untuk
mengapai ketenangan diri. Hal tersebut dapat kita capai salah satunya dengan
memamahi pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali. Pemikiran-pemikiran Beliau
niscaya dapat menajadi solusi dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang semakin
kompleks ini.
DAFTAR PUSTAKA
Qayyum, Abdul.
1983. Surat-surat Al-Ghazali. Bandung: Mizan.
Iroelizzta.
2012. “Makalah tentang Imam Al-Ghazali” dalam
http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/14/makalah-tentang-imam-al-ghazali/ diakses tanggal 22 November 2014 pukul 10:14 WIB.
Mulkhan, Abdul
Munir. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Congt, Tong Sam.
“Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Ghazali dalam http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/ajaran-ajaran-tasawuf-ghazali/ diakses tanggal 23 November 2014 pukul 14:17 WIB.
Haq, Zia Ul. 2014.
“Reformasi ala Imam Al-Ghazali” dalam www.santrijagad.org/2014/09/reformasi-ala-imam-ghazali.html?m=1 diakses tanggal 23 November 2014 pukul 14:29 WIB.
Syadani,
Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ali,
Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Mustofa,
A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution,
Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika
Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat.
Bandung: CV Insan Mandiri.
[1] Ahmad Syadani, Filsafat Umum (Bandung:
Pustaka Setia. 1997), hlm. 178.
[2] Yunasril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm. 67.
[3] Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuan Jalan Kebebasan
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 71-73.
[4] Ahmad Mustofa., Filsafat Islam
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 224.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 31.
[6] Magniz Franz Suseno, Dua Belas
Tokoh Etika Abad Ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 33.
[7] Yunasril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 68.
[8] A. Heris Hermawan dan Yaya Sunarya, Filsafat
(Bandung: CV Insan Mandiri, 2011) hlm. 91-92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar