BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan tasawuf tidak pernah
lepas dari sejarah para nabi terutama Nabi Muhammad, para Sahabat, para Tabiin dan seterusnya. Nabi
Muhammad telah memberikan benih-benih tasawuf yang dapat di jadikan
sebagai rujukan dalam segala perbuatanya. Baik sesuatu yang berhubungan dengan
perilaku beliau, ucapan-ucapan beliau, dan sifat-sifat beliau. Pada zaman Nabi
Muhammad belum muncul istilah tasawuf, namun kegiatan praktek sudah ada
sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul. Istilah pada zaman itu sering
dikenal dengan “Zuhud”. Kehidupan yang
sama sekali tidak tertarik dengan kemewahan dunia.
Di masa Rasulullah, gerakan tasawuf belum muncul, hal
ini di karenakan pada masa itu belum dibutuhkan. Dengan
ketaatan para sahabat atas perintah nabi dan mereka selalu menjadikan nabi sebagai
contoh. Perilaku mereka tentang hidup kerohanian sangat mengental. Dengan kezuhudanya
yang mereka lakukan itu menjadi hal yang paling baik daripada terpengaruh
dengan kemewahan dunia. Kehidupan kerohanian mereka juga belum tercampur dengan
masalah sosial politik, pemikiran-pemikiran dari bangsa barat, dan sesuatu yang
berbau kefilsafatan.
Di masa pertengahanlah tasawuf dari
pola pikir manusia dan ulama mulai mengkristal. Tasawuf masa itu sudah
menjadi sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus. Tawasuf
mereka langsung menjelma menjadi sebauah thariqah. Perkembangan tasawuf
inilah sangat berbeda dengan tasawuf yang dahulu.
2.2
Rumusan masalah
1)
Bagaimana Perkembangan
Tasawuf pada Masa Klasik ?
2)
Bagaimana
Tahapan Perkembangan Tasawuf pada
Masa Pertengahan?
3)
Bagaimana
Praktek dari Perkembangan Tasawuf di Masa Klasik dan Masa Pertengahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimana Perkembangan Tasawuf pada Masa
Klasik
Tasawuf paada zaman
dahulu dikatakan sebagai kehidupan rohani di karenakan ajaran ini mengandung
perjuangan manusia dalam mendapatkan kehidupan yang sempurna di mata Sang Pencipta. Kerohanian ini berupa ikhtiar
manusia dalam mengalahkan gangguan hawa nafsu dan kehidupan kebendaan. Sejarah perkembangan
kerohanian itu sendiri secara garis besar dibagi menjadi 2 yakni zuhud
dan tasawuf. Istilah ini pada dasarnya belum ada pada zaman Rasulullah
SAW dan tidak disebutkan dalam alqur’an, kecuali istilah zuhud.
Secara etimologis,
zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Zuhud juga
tidak dapat dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu pertama zuhud dijadikan
sebagai bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud dijadikan sebagai akhlak
moral dari sebuah perbuatan dan gerakan protes. Apabila zuhud ini tidak
dapat dipisahkan dengan tasawuf , maka fungsi zuhud dalam tasawuf
dijadikan sebagai maqam. Namun apabila zuhud dikatakan sebagai
moral akhlak, maka fungsi zuhud disini berarti bagainmana upaya
kehidupan agar mereka dapat menatap dunia yang fana’
ini. Pandangan dunia menurut mereka hanyalah sekedar tempat beribadah untuk menghantarkan
keridhoan kepada Allah semata. Mereka sama sekali tidak terpengaruh
dengan kemewahan dunia ini. Perbedaan pandangan zuhud disini memiliki
perbedaan yang sangat kuat yaitu bahwa zuhud yang dikatakan sebagai
maqam itu bersifat individual, sedangkan zuhud yanag kedua yang
dikatakan sebagai akhlak dan moral itu bersifat individual dan sosial, dan
sering dipergunakan sebagai protes dari
penyimpangan sosial. Dalam penamaan zuhud terdapat istilah lain yaitu zahid.
Pada dasarnya
seseorang sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid.
Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan
demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi. Kaum zahid lebih mengutamakan
hidup kebatinan dan kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan kehidupanya
kearah Allah.
Dalam permulaan
Tarikh Islam, kehidupan zuhud atau asketisme belum lagi merupakan
suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan kegiatan dan kecendrungan pribadi,
mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi. Kegiatan yang sama sekali
tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya ingin mendekatkan diri
kepada Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah dan berdakwah untuk
mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap zuhud inilah yang sering dikatakan
sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap awal
perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih
abad ke 2-H. Pada masa nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek
ilmu-ilmu cabang sudah ada di masa nabi sebelum diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Perkembangan tasawuf pada masa klasik
itu berkisar pada masa Nabi Muhammad
SAW, para Sahabat (Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan
masa Bani Abbasiyah.
Ø Tasawuf masa Nabi Muhammad
SAW
Nabi
Muhanmmad SAW mempunyai banyak julukan yaitu Pembuka Negeri, Pemimpin Perang,
dan Pesuruh Tuhan. Pada masa ini praktek tasawuf sudah dilakukan namun,
belum menjadi istilah resmi hanya ada istilah zuhud. Istilah ini sudah
dijelasan di atas. Kaum zuhad ini menjadikan Nabi Muhammad sebagai mursyid
tertinggi dalam Islam dan mereka beranggapan beliau adalah manusia yang
sempurna. Berasal dari tahanuut dan khalwat kehidupan kerohanian
beliau yang dilakukan semasa beliau berada didalam Gua Hira. Gambaran perilaku
beliau dijadikan sumber bagi para ahli sufi dalam pengalaman ajaran tasawuf.
Beliau ber’uzlah
dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam merenungi alam dan beliau telah
tenggelam dalam kebesaran Allah SWT. Aktifitas uzlah inilah yang
banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong , ujub, hasud, riya,dan
cinta terhadap dunia, merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati nurani, meskipun
secara lahiriyah manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh. Didalam Gua Hira
beliau terus mengingat Allah dan memuja-Nya, sehingga putuslah hubungan beliau
dengan makhluk yang lainya. Beliau membersihkan diri dari noda-noda hati yang
yang mengotori jiwa. Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandariyah bahwa “tiada lebih
berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah hati memasuki
lapangan tafakkur.” Dengan tafakkur seseorang bisa mendalami
sebuah hakikat arti dari kehidupan,
merenungkan allah dengan lebih mengutamakan keridhaan-Nya.
Tahannuts dan khalwat
yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh
liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk
dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang
dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang
sedemikianlah Nabi Muhammad menerima
wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan
sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat.
Beliau telah dijadikan sebuah pedoman hukum karena beliau telah menggabungkan kehidupan lahir dengan hidup kerohanian di
dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang diajarkan guna memperkuat
iman, kebersihan hati, keyakinan dan kekuatan bathin. Kehidupan kerohanian yang
lain dari Nabi Muhammad ialah beliau merasa hina di karenakan beliau tidak
bangun saat wahyu turun, salah satunya sabda-Nya “ Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pergantian
siang dan malam, adalah menjadi ayat yang besar bagi orang yang yakin” dan beliau telah menyalahkan diri .
Semua kehidupan Nabi Muhammad selalu
dijadikan referensi oleh para sufi, berawal dari pengalaman khalawat di
Gua Hira, kebenaran mimpi Nabi Muhammad, masalah wahyu yang turun untuk beliau,
pengalaman Isra mi’raj, masalah
misi perdamaian beliau dengan istri-istrinya dan kesederhanaan beliau dalam
menyingkapi arti kehidupan. Beliau menjadi kehidupan kerohanian lebih tinggi
dibandingkan dengan kemewahan belaka. Beliau mengajak kepada manusia bahwa
hidup kemewahan di dunia hanyalah bersifat sementara, oleh karena itu beliau
menganjurkan agar manusia itu lebih mendekatkan diri kepada Allah . pendekatan
itulah yang dikatakan sebagai kehidupan yang abadi.
Ø
Tasawuf
masa sahabat
Tasawuf pada masa sahabat ini tetap tidak menghilangkan semua perilaku
Nabi Muhammad sebagai contoh, meskipun Nabi Muhammad sudah wafat. Para sahabat
yang menjadi pemimpin negara juga tetap melakukan sesuatu yang bersifat
mendekatkan diri kepada Allah dengan
hidup kesederhanaannya seperti wara’, tawadhu, zuhudnya Nabi Muhammad
SAW di tunjukan semata-mata hanya untuk Allah. Kehidupan tasawuf para
sahabat ini salah satunya Khulafaur Rasyidin.
Seperti kezuhudan yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Shidiq. Beliau
menganggap bahwa lidah adalah organ tubuh yang mengancam seseorang untuk
melakukan sesuatu untuk mendekakan diri kepada Allah, karena dari lidahlah
manusia akan memasuki kawasan ujub. Ujub adalah penyakit hati
yang bersifat menyombongkan diri namun terletak dalam hati atau bersifat
dhamir, tidak kasap mata. Pandangan hidup beliau
tentang kedermawaan adalah buah dari taqwa,
sedangkan dalam kedermawaan ada kekayaan, kekayaan adalah buah dari keyakinan
seseorang. Setelah seseorang dianggap kaya, maka orang itu akan memiliki
martabat, martabat itulah sebenarnya diperoleh dari ketawadhuan orang itu
sendiri.
Abu
Bakar pernah mendapati berita yang gembira dari Rasulullah. Bahwasanya beliau
akan menempati kedudukan menjadi pemimpin dari kelompok orang-orang yang ahli
surga. Bahkan semua pintu surga pun akan berebut untuk memanggil nama beliau.
Beliau sangat terkenal kezuhudanya yaitu beliau pernah hidup memakai
sehelai kain saja. Apalagi dengan kedermawaanya membagikan semua hartanya untuk
orang lain sampai beliau melupakan kebutuhan untuk dirinya sendiri. Dalam
kepemimpinan beliau sebagai Khalifah beliau juga mempunyai keimanan yang begitu
agung dan teguh. Beliau tidak penah goyah dengan pendiriannya, tidak pernah ragu. Sikapnya yang sangat lunak dengan orang lain, pemaaf, dan kasih sayang.
Umar bin Khatab adalah Khalifah
kedua yang dijadikan pengganti setelah abu bakar wafat. Beliau mempunyai jiwa
yang bersih dan kesucian kerohanianya yang sangat tinggi. Umar bin Khatab
paling banyak berlindung terhadap
kemampuannya sendiri. Apalagi perkara-perkara yang berhubungan dengan hatinya
dan tabi’at nya. Beliau sangat khawatir dengan terpengaruhnya beliau dengan
kemewahan dunia, keinginan nafsu, keinginan anak dan keluarganya. Suatu saat
beliau pernah didapati menggunakan baju yang memiliki
12 tambalan dan pada kain sampingnya
terdapat 14 tambalan saat berpidato di atas mimbar. Semua perilaku
beliau tidak sekedar untuk kepentingan pribadi , tetapi beliau juga
ajarkan hidup kerohanian beliau terhadap orang lain seperti pembagian harta
beliau untuk orang yang berhak mendapatkanya. Yang menjadikan pandangan
kehidupan dari beliau adalah kesabaran dan
keridhoan.
Utsman bin Affan adalah Khalifah
yang ketiga. Beliau termasuk Khalifah yang
telah diberikan kelapangan riski oleh allah. meskipun begitu, riski yang
berlimpah itu tidak melalaikan beliau untuk mendekatkan diri kepada allah. Tangan
beliau tidak pernah lepas dari al-qur’an, beliau selalu khawatir apabila malam
tiba beliau akan ketinggalan menerima surat dari tuhannya. Bahkan dalam
pemerintahan beliaupun terbunuh dalam posisi sedang membaca al-Qur’an. Tentang
sikap beliau terhadap masalah duniawi bahwa harta
mempunyai nilai sosial yang harus ditasarufkan kepada kepentingan umum.
Dia pernah mengatakan bahwa “ seandainya aku tidak khawatir bahwa dalam Islam
terdapat lobang yang dapat kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya”[1].
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah
yang ke empat. Jabatan beliau dalam memimpin umat islam pun tidak mengurangi
hidup kerohanianya dengan Allah. kehidupan zuhudnya
yaitu berupa pekerjaan beliau dan cita-citanya yang besar yang menyebabkan
beliau tidak peduli dengan apa yang beliau pakai. Beliau juga pernah
memakai pakaian yang robek karena mumuk. Apabila baju yang beliau pakai itu
robek, maka beliau langsung menjahitnya dengan tangannya sendiri. Dengan ini
justru beliau dapat mengkhusyukan hati, sehingga dengan kekhusyuanya beliau
dapat dijadikan suri tauladan bagi orang yang beriman. Kezuhudan beliau
ada yang berhubungan pola makam yang sederhana, yaitu beliau pernah makan tiga buah korma setiap hari dalam satu bulan.
Beliau juga termasuk sahabat yang adil dan bijaksana.
Dalam hal ini
gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi'in tidak pada
masa nabi di karenakan kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku
umat masih sangat stabil,mereka patuh dengan apa yang diajarkan oleh nabi dan
mereka juga selalu menjadikan sikap nabi yang terpuji itu sebagai suri
tauladan. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih
dijalankan secara seimbang. Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada
hakikatnya juga sudah sufi. Dengan
keteladanan mereka yang keimanannya teguh, sikapnya lunak, pemaaf dan kasih
sayang, dermawan dan mensyukuri nikmat-nikmat allah, jernih hatinya sehingga
mereka dapat melihat nur Allah, karena nurnya Allah meliputi dan ADA pada
segala sesuatu, baik di langit maupun bumi. Mereka juga tidak pernah
mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada
Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika
kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan,
mulailah orang-orang lalai pada sisi kerohanian. Saat itulah timbul gerakan tasawuf
(sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk
mengingatkan tentang hakikat hidup.
Ø
Tasawuf Masa
Bani Umayyah
Tasawuf pada masa Bani
Umayah sudahlah berbeda dengan hidup kerohanian sebelumnya. Hal ini
dikarenakan hidup kerohanian disini
sudah terkontaminasi dengan masalah sosial politik. Apalagi masalah terbunuhnya
Utsman bin Affan yang berkepanjangan dengan masa-masa selanjutnya. Oleh karena
itu munculah kelompok Bani Umayah, Syiah, Khawarij, dan Murji’ah. Tasawuf pada masa Bani Umayah dilatar belakangi
adanya kemewahan kekuasaan umayah dengan kehidupannya. Pemerintahan ini sangat
kejam dengan sekelompok politik yang menentangnya. Puncak kekejaman ini sangat
terlihat pada saat adanya perang karbala yang di dalamnya terbunuh Husen bin Ali bin Abi Thalib. Akhirnya
peristiwa ini memberikan pengaruh yang besar tentang sebuah penyesalan.
Kelompok disini disebut kelompok tawwabun ( kelompok yang merasa dirinya
banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah).
Dalam situasi ini kaum Muslimin yang merasa
shaleh, mereka berkewajiban untuk menyerukan kehidupan zuhud, sederhana,
tidak di pengaruhi oleh hawa nafsu,dll. Salah satu tokoh tasawuf pada
masa ini ialah Abu Dzar al-Ghifari. Beliau yang
menerapkan keadilan dalam kehidupan sosial. Kezuhudan beliau
adalah beliau hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, beliau hidup
di latar Masjid Nabawi. Beliau sangat sabar, wara’, dan qana’ah.
Disini pula muncul beberapa istilah baru, seperti buka’in (kelompok yang
selalu mengucurkan air mata kepedihan), qashshash (pendongeng), nussak(ahli
ibadah),’ubbaad(orang-orang yang mengabdikan dirinya semata-mata hanya
untuk Tuhannya), rabbaniyyin(ahli keTuhanan). Istilah-istilah ini akan
dijelaskan pada tahapan perkembangan tasawuf di masa klasik dan
pertengahan.
Ø
Tasawuf Masa Bani
Abbasiyyah
Tasawuf
pada masa Bani Abbasiyah muncul di karenakan hadirnya Dzu
Nun al-Misri. Beliau adalah orang
pertama yang memperkenalkan maqamat dalam dunia sufi. Pemikiranya
yang sistematis yang dapat dijadikan penelitian para sufi. Kemudian muncul lagi
seorang sufi bernama Surri al-Saqathi. Beliau
memperkenalkan uzlah-uzlah yang tadinya bersifat individu atau perorang
menjadi uzlah yang bersifat kolektif. Hal ini bertujuan untuk
menghindari kehidupan dunia yang penuh
dengan pertentangan, intrik, dan pertumpahan darah. Di era inilah
istilah sufi mulai muncul dari beberapa kalangan, sebutan khusus untuk mereka
yang secara ketat dan tegas menghindari kehidupan yang fana dan lebih
mengutamakan pendekatan diri terhadap Allah SWT.
Oleh karena itu, hidup kerohanian atau tasawuf pada masa klasik sering menggunakan istilah zuhud,
belum ada peresmian nama asli dari tasawuf itu sendiri. Semua itu hanyalah sekedar
praktek semata.
v Sumber
ajaran tasawuf
Dalam
ajaran Islam, tasawuf juga tidak lepas bahwa sumbernya berasal dari
al-Qur’an dan hadits. Tasawuf dianggap sebagai ajaran yang mistik,
ajaran yang terletak pada batin dan perenungan. Perenungan inilah karena adanya
penghayatan dari sumber tasawuf itu sendiri yaitu al-Qur’an dan hadits.
Namun sumber tasawuf ini juga masih diperebutkan. Ada yang menyatakan
bahwa sumber tasawuf Islam adalah
dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu ada pula yang menyatakan bahawa
sumber dari tasawuf itu berasal dari Persia, Hindu, Nasrani, dan
sebagainya. Salah satu prakteknya yaitu
·
Berasal dari pengaruh Hindu
seperti ucapan-ucapan doa dan
nyanyian-nyanyian agama.sperti yoganya orang hindu banyak persamaan kehidupan
dari riyadhah kaum shufi.
·
Berasal dari pengaruh Persia seperti
zuhud dalam islam menyerupai zuhudnya para pendeta Imam Manu, begitu
juga qanaahnya islam di serupai dengan qonaahnya mereka yaitu dengan
hidup sederhana dan dilarang makan daging binatang, hal ini disamakan dengan
Madzab Mazdak.
·
Berasal dari agama Nasrani seperti
ajarannya, latihan kerohanian, khalawatnya, bahkan hingga pakaiannya.
Adanya kehidupan yang kaya dan yang miskin, bertafakur dan berdiam diri.
·
Berasal dari pengaruh Filsafat Yunani
seperti alam pikiran islam telah terpengaruh dengan Filsafat Aristoteles untuk
kepercayaan tentang Zat Pencipta yang akhirnya tumbuhlah “Ilmuul Qalam”.
Pada dasarnya adanya pernyataan
bahwa pengaruh tasawuf dari luar Islam sendiri itu tidaklah sampai
pada ajaran tasawuf bagian inti atau isinya namun sekedar ada
pada kulit ajaran tasawuf itu sendiri. Kaum shufi itu sendiri, atau
golongan Islam yang tidak masuk kedalam salah satu Madzhab. Kerohanian yang
membantu kehidupan mereka, berkata bahwasanya pokok ambilan kerohanian itu
ialah agama sendiri. Pertama al-Qur’an, ke-dua
Hadits dan ketiga tidak kurang penting nya contoh tauladan dari Nabi Muhammad
SAW, para Sahabat ,dan para Tabi’in yang sudah dijelaskan di atas.[2]
2.2 Tahapan Perkembangan Tasawuf Masa
Klasik sampai Masa Pertengahan
§ Tasawuf Abad Pertama
dan Kedua Hijriyah
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud
atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf
pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai
pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan
dunia, tetapi asketisme ini adalah tidak ada keterikatan nafsu dengan
dunia. Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak,
zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik,
yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan
ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid,
yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat.
Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni
orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada dasarnya zuhud adalah
permulaan dari munculnya tasawuf. Di masa ini belum muncul
istilah tasawuf namun prakteknya
sudah ada sejak itu, seperti lahirnya hasan bashri yang memperkenalkan ajaran
Khauf dan Raja’. Rasa takut dan berharap kepada Allah lah yang
sering di ajarkan bagi para mursyid terhadap muridnya.
Sedangkan
pengamalannya dari kehidupan rohani yaitu dengan mengurangi makan, menjauhkan
diri dari keramaian duniawi dan mencela dunia seperti harta, keluarga, dan
kedudukan. Abu al- Wafa menyimpulkan zuhud salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia
untuk menuju kee kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat
sederhana, praktis, dan bertujuan untuk meningkatkan moral.
§ Tasawuf Abad Ketiga dan
Keempat Hijriyah
Pada abad yang
ketiga dan keempat ini, tawasuf mulai mengalami pengembangan . istilah zuhud
sudah diganti dengan istilah tasawuf . Bahkan penamaan tasawuf di sinipun sudah
hampir punah. Mereka lebih menggunakan tasawuf dengan istilah sufi.
Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan yang dulu. Abad ini menggunakan tasawuf
yang bersifat kefana’an yang fokus dengan persatuan hamba dan hubunganya
dengan sang Khaliq(ittishal). Metode yang dikenal dengan istilah
tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat, tauhid,
penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi
tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam
kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul
karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi
(w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan
Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah
merupakan tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi, karena
tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di jadikan panutan para sufi yang hidup
setelahnya.
Pemikiran
mereka yang sangat cakap dalam bidang
apapun. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu Hakikat,
ilmu Wiratsah dan ilmu Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan
kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah
.
Pada abad III
dan IV hijriyah, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu aliran Tasawuf Sunni.
Tasawuf sunni adalah tasawuf yang pokok ajaranya sangat terikat
dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan antara ahwal dengan maqamat
mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan yang kedua adalah aliran tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf
ini cenderung dengana ungkapan-ungkapan yang ganjil(syathahiyat ) serta
bertolak dengan keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan ( ittihad atau hulul).[3]).[4]
§ Tasawuf Abad Kelima
Hijriyah
Aliran tasawuf
moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima
Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak
semi-filosofis , mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk
lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan
setelahnya.
Tenggelamnya
aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh
berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada masa ini
cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan
Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi,
Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap
penyimpangan tasawuf.
Abu Al-Qasim
Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama
karena karya beliau yang sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah,
yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi
melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi
menulis kitab yang ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat
wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan
biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain
yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah
ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang
sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi
yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan
Al-Hallaj .
Karya Al-Harawi
yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin.
Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang
mempunyai awal dan akhir. Ketingkatan
ini menurut al-Qusyairi dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya
harus ada pondasinya agar bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga
dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan fana’
para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi
dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain,
ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Setelah mendalami
berbagai ilmu, seperti ilmu Fikih, Kalam, Filsafat dan Tasawuf, maka ia
berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik
ekstremnya.
§ Tasawuf Abad Keenam Hijriyah
Tasawuf filosofis merupakan tasawuf
yang ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian
pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi
filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah
mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul
dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal
setelah seabad kemudian.
Para pengkaji tasawuf
filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut tasawuf
filosofis terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan
berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik tolak tasawuf mereka.
Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis yaitu
Pertama, latihan
ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
Kedua, iluminasi
atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani,
arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala
wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang
Penciptanya dan penciptaannya.
Ketiga,
peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat,
penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syahahiyyat),
yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujui, atau menginterpretasikannya.
Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal
yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi. Di sini akan dielaborasi sekilas pandangan
ketiga tokoh tersebut agar dapat memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu Al-Suhrawardi
Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh al-Ishraq, guru filsafat cahaya. Walaupun ia
meninggalkan banyak karya, namun karyanya yang paling terkenal dan
mengantarkannya dirinya sebagai tokoh tasawuf filosofis adalah Hikmah
al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan
pandangan-pandangannya tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi
(iluminatif),
yang didasarkan
pada penalaran yang tersebar dan pemikiran sesuatu
tanpa dipahami oleh orang lain, dengan latihan formal terhadap pikiran
sekaligus pembersihan jiwa. Garis besar teori Suhrawardi dapat disingkat
dalam nukilan berikut:
“Hakikat dari
Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus, yang merupakan
pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada
segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya
dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan
mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan”.
Melalui paparan
singkat di atas, sebenarnya dalam doktrin Wahdat al-Wujud, Tuhan
betul-betul Esa karena tidak ada wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik
Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak
lebih dari penampakan-Nya. Dengan demikian, doktrin ini hanya mengakui satu
wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama
sekali independen berarti memberi tempat kepada syirik atau menyembah tuhan
lebih dari satu.
§ Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan
Sesudahnya
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak
kalah penting dengan periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf
telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf
menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana sebelumnya
ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa
adanya ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi
mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang
bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan
terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiah,
rabath, dan khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul secara
periodik dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah
maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat secara etimologis berasal dari bahasa
Arab, thariqah yang berarti al-khat fi al-syai (garis sesuatu), al-shirat
dan al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna al-hal (keadaan). Dalam
literatur Barat, menurut Gibb, kata thariqah menjadi tarika yang berarti
road (jalan raya), way (cara), dan path (jalan setapak).
Hanya saja ada perbedaan antara road dan path. Jika yang pertama
merupakan jalan besar yakni syariat, maka yang kedua jalan kecil yakni yang secara khusus ditujukan
sebagai tarekat atau perjalanan spiritual. Sedangkan secara praktis,
tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat
esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan
amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai
secara sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid.
lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah.
Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat dengan nama silsilah (transmisi).
Dalam tataran ini, tarekat menjadi sebuah organisasi ketasawufan.
Secara lebih luasnya, dalam dunia sufistik
menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan digambarkan
sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’
sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa
menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama
yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tidak
mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal; pengalaman
mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak
ditaati terlebih dahulu secara seksama, akan tetapi tariq atau jalan itu lebih
sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa santri (salik) dalam suluk
atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqam), sampai
mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid
sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode
spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur,
meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi
tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub
ila Allah).
Walaupun sejak jauh sebelumnya
organisasi tarekat telah hadir, seperti tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada
ajaran Abu Al-Qasim al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau tarekat Nuriyyah yang
didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), namun baru pada abad
ketujuh Hijriyah dan sesudahnya inilah tarekat berkembang pesat.
2.3 Praktek
dari perkembangan tasawuf di masa klasik dan masa pertengahan
Semua perkembangan tasawuf dari abad ke abad memiliki ciri khas
tersendiri yang membawa pengaruhnya di zaman sekarang. Pengajaran yang
dilakukan oleh mereka di jadikan referensi para shufi untuk sebagai teladan.
Praktek tasawuf mereka dapat diamalkan dan dapat di bandingkan antara tasawuf
masa klasik dan masa pertengahan.
ü
Praktek tasawuf pada masa
klasik
Praktek
kehidupan nabi muhammad SAW yang dapat dicerminkan sebagai contoh salah
satunya:
·
Hidup zuhud (tidak mementingkan kehidupan dunia ).
·
Hidup qanaah ( menerima apa adanya).
·
Hidup taat kepada allah.
·
Hidup istiqomah (tetap beribadah).
·
Hidup mahabbah ( sangat mencintai Allah dan rasul-Nya
melebihi kecintaanya terhadap diri sendiri).
·
Minimal nabi membaca istighfar sebanyak 70 kali.
·
Melaksanakan sholat dua pertiga malam.
·
Rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat
setiap hari.
·
Shalat Tahajjud beliau juga tidak kurang dari sebelas raka’at.
·
Shalat dengan khusyu dan thuma’ninah yang sempurna.
Praktek kehidupan para sahabat salah
satunya Khulafaur Rasyidun yang dapat dicerminkan
salah satunya :
·
Cara hidup yang selalu
memilih kesederhanaan dengan sifat yang mulia,seperti zuhud ,wara’,
sabar, qana’ah, kedermawanan, tawakal.
·
Selalu mencari ridho Allah.
·
Selalu menggunakan aspek perasaan dan berfikir dalam berperilaku.
·
Menyelidiki diri sendiri dam menyesali dosa.
·
Cinta dan mengharap keberadaannya di sisi-Nya.
Praktek kehidupan Bani Umayah dan Bani
Abbasiyah yang dapat dicerminkan salah satunya:
·
Kezuhudanya
terhadap dunia.
·
Bersikap adil dalam keadaan apapun.
·
Sabar, qana’ah, wara’.
·
Menghindari kehidupan yang fana’.
·
Mendekatkan diri kepada Allah sepenuhnya.
ü
Praktek tasawuf pada
masa pertengahan
·
Menjauhi kehidupan
dunia yang berarti menghilangkan sifat-sifat yang merusak ibadah agar dekat
dengan Allah SWT.[5]
·
Menjadikan
adanya harta/kejayaan sebagai sebab yang bisa menjadikan sarana dan prasarana
untuk kebaikan.
·
Selalu bersyukur
apapun keadaanya dan bersikap qana’ah.
·
Menjadikan
kehidupan yang fakir sebagai alat untuk konsentrasi ibadah dan berdzikir kepada
Allah SWT
BAB III
PENUTUP
2.1
Kesimpulan
Kehidupan
kerohanian pada masa klasik dengan masa pertengahan sangat berbeda. Bersamaan
dengan muncul beberapa pendapat tentang penamaan kata “Tasawuf ”. Sumber-sumber ajaran
tasawuf mereka juga masih di
perdebatkan. Dari masa ke masa tasawuf mengalami perkembangan dalam
ajaranya, begitu juga para tokoh dalam mengajarkan pemahaman kepada para pengikutnya.
Tahapan tasawuf itulah yang dapat
membedakan antara tasawuf yang murni dengan tasawuf yang sudah tercampur dengan ajaran yang lain.
Hidup kerohanian yang sangat terkenal apalagi
di setiap tokoh mempunyai sikap kezuhudanya masing-masing. Kezuhudan mereka yang membuat
kehidupan mereka lebih berarti dengan hadirnya allah dalam benaknya. Ajaran
yang tidak pernah hilang dari tasawuf
adalah kewara’anya, sabar, dan qanaah. Harta, pakaian, kebutuhan
sehari-hari, keluarga, dan kekuasaan bukanlah hal yang dijadikan sebagai
penghalang mereka untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi,
Sahabat dan para Tabi’in di jadikan sebagai penelitian para shufi dalam masalah
tasawuf di masa klasik. Sedangkan para tokoh yang lain, seperti imam
ghazali, ibn ata’illah dan para tokoh yang muncul pada abad pertengahan (1250 H-1700 H), ajaran tasawufnya yang sudah tercampur dengan ilmu filsafat dan
kehidupan zuhud yang ekstrim.
Oleh
karena itu, sejarah perkembangan tasawuf
itu meliputi masa pembentukan(abad 1-2 H), masa pengembangan(abad 3-4
H), masa konsolidasi(abad 5 H), masa falsafi(abad 6 H) , dan masa pemurnian(abad 7 H dan seterusnya).
2.2
Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak
demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak
dan Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Rohim,abdur. Bahan Ajar Akhlak. Mojokerto: CV.Sinar
Mulia. 2008
Syukur,Amin. Menggugat
Tasawuf Sufisme dan Tanggung jawab
Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Syukur,Amin. Zuhud di Abad Modern.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1997
Zahri,Mustafa. Kunci
Memahami Ilmu Tasawwuf. Surabaya: PT.Bina Ilmu. 1995
[1] Abu Nashr al-Sarraj
al-Thusi,Al-Luma,disunting oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd
al-Baqi Surur,mesir: dar al-Kutub al-Haditsat,1960,hal.176.
[2] HAMKA,Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,Jakarta: Yayasan
Nurul Islam,hlm.37.
[3] Amin Syukur,Menggugat
Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, yogyakarta: pustaka
pelajar, februari 1999,hlm.36.
[4] Amin Syukur,Menggugat
Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, yogyakarta: pustaka
pelajar, februari 1999,hlm.36.
[5] Ibn ‘ata’illah,syarh al-Hikam jilid 1,Semarang: Toha Putra,hlm.31.
Sangat disayangkan karena tidak bisa mendownload file nya
BalasHapus