A.
Ibnu
Thufail
1.
Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr
Muhammad ibnu ‘Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad Ibnu Thufail, lahir pada
abad ke-6 di Ouadix, Granada. Ia memulai karirnya sebagai dokter praktik dan
sekertaris gubernur provinsi. Kemudian ia menjadi sekertaris pribadi gubernur
Ceuta dan Tangier, dokter tinggi dan qadhi di pengadilan, serta wazir Khalifah
Muwahid Ya’qub Yusuf. Khilfah ini berminat dengan filsafat, sehingga pemerintahannya
menjadi pemuka pemikiran filosofis.
2.
Karya-Karya
Ibnu Thufail
Hanya satu karyanya yang tersisa
saat ini, yaitu Risalah hay ibn Yaqzan (Yang Hidup Putra Yang Bangun). Hayy
Ibnu Yaqzan adalah seorang bayi laki-laki di pulau yang tak berhuni orang yang terbentuk
dari tanah dan air. Didekat pulau itu ada pulau yang dihuni oleh manusia (Absal
dan Salaman). Absal menyebrang ke pulau Hayy bin Yaqzan, setelah bertemu
dengannya, ia mengajarkan berbicara dan mengenalkan Tuhan, surge, neraka, hari
kebangkitan, dll. Absal mengajak Hayy bin Yaqzan kepulanya untuk mengajak
Salaman dan masyarakat beragama, akan tetapi tidak tertarik. Akhirnya mereka
membiarkan masyarakat beragama dengan pemahamannya dan kembali ke pulau tak
berpenghuni tersebut untuk ibadah dan tafakur kepada Tuhan.
3.
Filsafat
Ibnu Thufail
-
Tuhan
dan Kekekalan Alam
Ibnu Thufail berpandangan bahwa
dunia dan Tuhan sama-sama kekal, karena dunia itu bukanlah sesuatu yang lain
dari Tuhan. Mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat
esensialnya merupakan penerangan dan pengejawentahan dari esensi Tuhan sendiri
dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia ini
tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan hari penentuan.
Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannnya merupakan
suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia harus terus berlangsung dalam satu atau
bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang
tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dari
pengejewantahan kekal.
-
Materi
dan Jiwa
Menurutnya, materi dan jiwa bisa
dibedakan, tetapi tidak selalu menyatu—ia bersifat fungsional semata. Sebuah
esensi terbebas dari materi, bukan esensi yang sama dengan yang telah ia lihat,
tetapi bukan yang lain. Esensi Tuhan yang merupakan cahaya suci, hanya bisa
dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendirim yang masuk ke dalam esensi
itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal, serta jiwa. Oleh karena itu,
pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri, esensi dan visinya adalah sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar