Rabu, 27 Mei 2015

TOLERANSI TERHADAP AGAMA MINORITAS DI INDONESIA

Dalam fakta realitas sosial sekarang khususnya di Indonesia, sering terlihat di media sosial ataupun di televisi munculnya permasalahan sosial yang identik dengan tindakan kekerasan yang semakin agresif yang terjadi di masyarakat. Salah satunya yaitu konflik antaragama dalam satu kelompok ataupun suatu kemompok masyarakat, baik konflik yang antarseagama ataupun beda agama.
Sangat disayangkan jika masyarakat Indonesia masih banyak yang belum sadar akan toleransi terhadap agama-agama lain, padahal sudah dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM kebebasan beragama, kebebasan menempati suatu wilayah, dan kebebasan untuk hidup. Bahkan, di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah beragama Islam, di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan pula berbagai konsep toleransi beragama yang sebenarnya sudah pernah terjadi pada saat Nabi Muhammad SAW di Madinah. Berdasarkan fakta dan alasan inilah menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana toleransi dalam konsep kewarganegaraan dan konsep Islam terhadap minoritas agama di Indonesia dalam konteks masakini.
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih tinggi. Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri yang berbeda dari biasanya sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38). 1
Adapun signifikansinya terkait kondisi di Indonesia saat ini bahwa toleransi antarumat beragama harus lebih diterapkan dan digalakkan. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, yakni adanya kemiripan kondisi dan unsur-unsur pendukung antara Indonesia dan Madinah pada masa Nabi yang mengharuskan dilakukannya toleransi dan toleransi adalah salah satu ajaran Muhammad SAW yang harus diikuti oleh umat Islam khusunya.2
Di Indonesia, beberapa agama minoritas atau agama yang diyakini oleh kaum yang jumlahnya hanya sedikit dalam suatu wilayah menjadi sasaran kekerasan dan intoleransi agama oleh kaum mayoritas atas nama agama. Sangat disayangkan, karena konflik ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia dengan terbukti dari hasil penelitian Lembaga Pemantau Kekerasan mencatat bahwa telah terjadi sebanyak 264 kasus kekerasan minoritas agama pada tahun 2012.3
Subjek atau pelaku dari tindakan kekerasan yang dimaksud adalah sekelompok militan dari kaum mayoritas yang berusaha untuk melakukan tindakan mengintimidasi atau mendiskriminasi, melecehkan berupa kata-kata yang tidak baik, mengancam akan melakukan tindakan yang tidak baik, menyerang rumah-rumah ibadah, dan tindakan kekerasan massal terhadap anggota-anggota minoritas.
Agama minoritas dalam lingkup Indonesia itu sendiri contohnya agama Budha, Katolik, Kristen, bahkan Islam juga menjadi agama minoritas di wilayah Indonesia bagian timur. Sikap intoleransi terhadap agama minoritas ini sangat bertolak belakang terhadap Negara Indonesia yang menganut sistem demokratis dalam pemerintahannya, sehingga pemerintahannya melindungi Hak Asasi Manusia masyarakatnya, salah satunya hak untuk beragama. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim moderat atau tidak radikal, yang seharusnya tidak mempermasalahkan adanya perbedaan dalam berkeyakinan atau beragama.
Contoh kasus intoleransi antaragama yang terjadi yakni pada tanggal 7 Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di pusat kota Jakarta setelah militan Islam bersumpah balas dendam terhadap umat Budha di Indonesia karena serangan terhadap kaum minoritas Muslim oleh umat Budha di Myanmar. Sehari kemudian setelah kejadian tersebut, bom molotov meledak di dalam sebuah sekolah Katolik di Jakarta. 4
Selain itu, warga Muslim di beberapa daerah Indonesia Timur, yang mayoritas warganya beragama Kristen mengalami kesulitan untuk izin mendirikan tempat beribadah atau masjid. Bahkan ada salah satu kelompok agama Islam di Yogyakarta mengancam akan menghancurkan situs warisan dunia, yaitu Borobudur dari UNESCO. Dalam kasus intoleransi antar sesama agama juga terjadi di Indonesia, seperti pada tanggal 20 Juni 2013, sekitar 1000 warga kelompok militan Sunni mengepung stadion di mana warga Syiah berlindung. Mereka menuntut warga Syiah untuk pindah, keluar dari Pulau Madura. Para penyerang dari kelompok mayoritas membakar sekitar 50 rumah, menewaskan satu warga dan menyebabkan seseorang luka parah.5
Akibatnya, kasus intoleransi agama terhadap kaum minoritas menjadi penyebab terbesar kedua dari kasus pelanggaran HAM di Indonesia menurut Organisasi Hak Asasi Manusia: Kontras, meningkatnya “siar kebencian” atas nama Islam di Indonesia menurut Wahid Institute Jakarta.6
Selain itu munculnya permasalahan sosial baru berupa konflik-konflik masyarakat yang dipicu atau dilatarbelakangi oleh masalah antarumat beragama. Hal ini dikarenakan warga yang terlibat didalam konflik tersebut sensitif terhadap hal yang menyangkut agama atau fanatik terhadap agama yang dianutnya, seperti konflik yang terjadi di Poso yang timbul karena gagalnya kristenisasi terhadap umat Islam secara halus sehingga mereka melakukan tindakan kekerasan dan mengusir warga yang beragama Islam yang tidak mau mengikuti agamanya.7
Solusi untuk mengurangi terjadinya intoleransi agama di Indonseia, salah satunya ialah adanya penegakan keadilan dari pemerintah terhadap kaum minoritas agama, memiliki strategi-strategi guna mengurangi kekerasan atas nama agama baik secara formal yaitu melaui pendidikan ataupun seminar dan nonformal yaitu terjun langsung ke masyarakat dengan memberikan pendidikan agama yang baik dan benar serta pendidikan kewarganegaraan agar dapat menjadi warga negara yang selalu menjunjung tinggi HAM.
Selain itu, sebagai warga negara yang baik, maka perlu menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu antarberbagai golongan dalam masyarakat sebagai suatu bangsa untuk menghilangkan prasangka dan kebencian serta mengusahakan kesejahteraan bersama.8
Dalam konsep kewarganegaraan tidak dikenal kategori ”mayoritas” ataupun ”minoritas”, karena seluruh penduduk adalah warga negara yang berarti seluruh penduduk masuk dalam kategori ”mayoritas”. Perlu diketahui, bahwa untuk menjadi Negara yang demokratis untuk saat ini di Indonesia masih dalam tahap proses, sehingga perlu adanya negosiasi terhadap masyarakat secara terus menerus sesuai dengan konteks sosial budayanya. Lalu perlunya bimbingan dan pendidikan sejak dini terhadap Warga Negara Indonesia untuk beragama secara tidak radikal, tidak menyelesaikan suatu permasalahan dengan jalur kekerasan yang dapat melanggar HAM warga lainnya, dan perlunya kesadaran akan HAM, khususnya hak untuk beragama yang dilindungi oleh Negara.
Untuk mencegah terjadinya konfilk akibat intoleransi agama, maka perlu adanya kerjasama dari semua pihak untuk menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan UUD. Pemerintah sangat serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai pemangku kekuasaan, termasuk juga media untuk bersama-sama menyejukkan kerukunan beragama. (Sekretaris Kabinet, Dipo Alam).9
Adanya kelompok mayoritas dan minoritas dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan keniscayaan. Sebab, hal itu sebagai takdir Tuhan. Bahkan, salah satu mantan rektor IAIN Jakarta, Harun Nasution mengatakan “kita harus selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan teologi. Kalau kita bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka kita bisa menoleransi perbedaan diluar Islam”. Prinsip dari toleransi adalah bertetangga dengan baik; saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; membela mereka yang teraniaya; saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. 10
Dalam konsep Islam, toleransi disebut dengan “tasamuh” yang berarti sama-sama berlaku baik, lemah lembut dan saling pemaaf, akhlak terpuji dalam pergaulan, saling menghargai antar sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam.
Macam-macam tasamuh atau toleransi dalam Islam:
  1. antar sesama muslim : tolong menolong, saling menghargai, menyayangi, menasehati, dan tidak curiga mencurigai.
  2. terhadap non muslim : menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam satu negara.
Toleransi dalam Islam juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadis sebagai berikut:11
  1. Tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
  1. Menjamin adanya kebebasan beragama dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 6:
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
  1. Tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka, karena mereka nanti akan membalasnya dengan memaki Allah dengan melampaui batas dalam Q.S. Al-An'am ayat 108:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
  1. Tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi, karena Allah menyukai orang yang berlaku adil dalam Q.S. Al-Mumtahanah 8:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
5. Memberi perlindungan atau jaminan keselamatan.
Rasulullah mengajarkan pentingnya toleransi, yaitu tidak hanya toleransi pasif (hidup berdampingan secara damai), akan tetapi juga toleransi aktif dan positif atau praktek dari sikap toleransi tersebut berupa tindakan terpuji, yaitu berbuat baik dan berlaku adil. Contoh :
- Nabi memaafkan dan mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepadanya
- Nabi membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat, yaitu antara kaum Muslim, Quraisy dan Yahudi.
Sabda Nabi : “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang”.
- Penaklukkan Kota Makkah, Nabi memaafkan penduduk Makkah yang selama ini memusuhinya dan membiarkan mereka hidup di kota Makkah.
Adapun batasan toleransi adalah apabila toleransi kita tidak lagi disambut baik oleh mereka yang menentang dengan menyatakan perang. Akan tetapi kita tidak boleh langsung membalasnya, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk "memanggil" atau menyadarkan. Jika tidak berhasil, maka dapat dnyatakan untuk perang. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Fushshilat ayat 34 yang artinya: Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia. 
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Nabi Muhammad tidak pernah mengawali perang sebelum para penentang Islam yang lebih dahulu melawan Islam dan Nabi pernah dibaikot, dicela, dan diusir, akan tetapi beliau lebih memilih untuk memerintahnya umatnya hijrah. Nabi Muhammad telah mengajarkan bahwa dalam menyebarkan agama Islam dengan jalan dakwah, tidak dengan kekerasan atau dengan jalan pedang.
Terdapat pesan moral dalam sabda Nabi saat beliau melakukan Haji Wada’, yaitu bahwa setiap muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Di antara muslim tidak ada ras dan suku bangsa. Janganlah kalian keluar meninggalkan persaudaraan Islam dan janganlah memutuskan tali silaturahmi diantara kalian. Kalian semua adalah sama-sama keturunan Adam As, hapuskanlah pertikaian diantara kalian, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa toleransi antarumat beragama harus lebih diterapkan dan digalakkan di Indonesia dalam konteks saat ini. Melihat dari faktanya, bahwa konflik ini semakin agresif atau berkembang di Indonesia. Karena sudah jelas diterangkan dalam konsep Negara Indonesia maupun konsep agama Islam bahwa sikap toleransi antarmanusia sangat dijunjung tinggi keberadaanya, baik dalam UUD, al-Qur’an, ataupun Hadis. Sehingga, toleransi aktif dan positiflah solusi yang dapat menjadikan Indonesia menjadi lebih baik kedepannya.

1 Kamanto Sunato, Hubungan Antarkelompok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), hlm.142
3 Ibid
5 http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan
6 Ibid.
7 Wawancara dengan Ayu Apriliani (Konselor), tanggal 30 April 2015 di Yogyakarta.
8 Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural: Teori Hak-Hak Minoritas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), hlm. 70
9 Dipo Alam, Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami, (Jakarta: Cyber News), hlm.151
10 Jamhari, Kelompok Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan (Jakarta: Berita UIN Online)
11 Robingan Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam 3 (Solo: PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010), hlm.57

Daftar Pustaka


Alam, Dipo. Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami. Jakarta: Cyber News.
Apriliani, Ayu. 2015. Wawancara "Tanggapan Terhadap Kasus Intoleransi Agama di Yogyakarta
Baqir, Yusuf Qardhawi dan Muhammad. Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam. Bandung: Karisma, 1994.
Jamhari. Kelompok Mayoritas-Minoritas Sebuah Keniscayaan. Jakarta: Berita UIN Online.
Khalil, Ribingan Munawar. Teladan Utama Pendidikan Agama Islam 3. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010.
Kymlicka, Will. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas. Jakarta: LP3ES, 2002.
Sunato, Kamanto. Hubungan Antarkelompok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Rkonomi UII, 2004.
Laman Human Right Watch: http://www.hrw.org/id/news/2013/02/25/indonesia-minoritas-agama-sasaran-kekerasan

Kamis, 21 Mei 2015

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL “SEKATEN” DI YOGYAKARTA




A.    Pengertian Akulturasi dan Budaya Lokal
            Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul karena ada kebudayaan asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri.
            Akulturasi terjadi karena adanya keterbukaan suatu masyarakat, “perkawinan” dua kebudayaan, kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan yang maju yang mengajarkan seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan. [1]
Sedangkan budaya adalah suatu cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam keseluruhan segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan social dalam suatu ruang dan waktu.[2]
Budaya lokal adalah bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis, bukan berdasarkan baik dan buruk). Budaya lokal juga merupakan budaya milik penduduk asli yang merupakan warisan budaya. Jadi budaya lokal adalah kebudayaan yang berlaku dan dimiliki tiap daerah atau suku bangsa.




B.    Pengertian “Sekaten”
Sekaten merupakan acara peringatan ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada tiap tanggal 12 Maulud atau bulan ketiga tahun Jawa di alun-alun utara Yogyakarta. [3]
Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain (dua kalimat syahadat) yang kemudian berangsung-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang.
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari beberapa kata, yaitu Sahutain (menghentikan atau menghindari dua perkara, yaitu lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan dua perkara, yaitu sifat hewan dan sifat setan yang melambangkan kerusakan), Sakhotain (menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi luhur dan menyembah Tuhan), Sekati (setimbang dalam menilai hal-hal yang baik dengan yang buruk), dan Sekat ( batas untuk tidak berbuat kejahatan, yaitu tahu dimana batas kebaikan dengan kejahatan).[4]
Sekaten merupakan suatu upacara keagamaan, dimana gamelan dibunyikan di halaman masjid dengan tujuan agar orang masuk masjid dengan membaca dua kalimat syahadat. Gamelan merupakan suatu alat yang dipakai oleh Sunan Kalijaga untuk melambangkan agama Islam, karena pada zaman dahulu masyarakat Yogyakarta gemar memainkan gamelan yang kemudian dimanfaatkan sebagai alat untuk da’wah dan penghormatan terhadap Hari Raya Islam, salah satunya yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. [5]
Maka dapat penulis simpulkan bahwa, Sekaten adalah sebuah upacara keagamaan tradisi keraton Yogyakarta yang dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut dari tanggal 6 hingga 12 sebagai wujud perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mulud atau bulan ketiga tahun Jawa di alun-alun utara Yogyakarta.

C.    Sejarah Munculnya Tradisi “Sekaten
Ada dua pendapat dalam memahami sejarah munculnya tradisi sekaten di Yogyakarta :
Pertama, dahulu pada abad ke-4 didalam kitab Palindriya karangan Empu Sunda, setiap memasuki awal tahun baru (mangsa Kartika), Prabu Sitawaka mengadakan upacara selamatan Rajawedha untuk bersedekah pada para kawula serta selamatan agar sarira dalem, kawula dalem, keraton dalem, putra sentana dalem dan semuanya mendapatkan keselamatan dan dijauhkan dari segala halangan dan bencana. Setelah selesai memuja para wadu wandawa kemudian dibacakan wedha, yang merupakan ajaran luhur, setelah selesai pembacaan wedha, sedekah dalem kemudian diperintahkan untuk dikepung, hari itu juga para kawula yang berada dipedasan diperintahkan untuk mengadakan keselamatan dengan maksud yang sama, hanya namanya saja yang berbeda. Adapun namanya grama Wedha, adapun yang ditugaskan untuk membaca wedha adalah para pandhita.
Makna dari selamatan serta sedekah dalem tersebut ada kaitannya dengan hajat dalem di dalam perayaan Sekaten. Letak perbedaannya terletak pada pelaksanaannya, pada masa dahulu dilaksanakan pada bulan kartika, sedangkan pada masa sekarang dilaksanakan pada hari Garebeg tanggal 10 besar, 12 Maulud serta 1 Syawal.[6]
Perayaan “Sekaten” atau “Grebeg Maulud” pada tahun Dal pelaksanaannya dilakukan secara besar-besaran, hal tersebut dikarenakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin Pon tanggal 14 Rabiul Akhir tahun Dal. Maka pada tahun Dal upacara peringatan Maulud Nabi dilaksanakan dengan cara besar-besaran, serta dijatuhkan pada hari Senin Pon, hal tersebut berdasarkan perhitungan tahun almanac Pawukon di tahun Dal terdapat perubahan umur bulan, agar pada tanggal 12 Maulud jatuh pada hari Senin Pon. [7]
Dalam sejarahnya, sekaten dahulu digunakan untuk  perayaan selametan Raja Wedha (kitab suci raja), lalu Raja Meda (hewan kurban dari Raja),  yang kemudian pada zaman Prabu Hajipasama, diganti dengan sesaji mahesa lawung (kerbau) sebagai tolak bala berbagai penyakit. Oleh Prabu Sitawaka dilengkapi dengan sesaji Gramawedha yang berarti disucikan dengan api. Hingga pada zaman Sultan Agung semua itu kemudian diselaraskan seperti sekaten sekarang dengan Pancaprasada (yang berpuncak lima), Gunungan Mandaragiri.[8]
Kedua, dalam serat babat menyebutkan sekaten dimulai sejak zaman kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Berakhirnya kerajaan Majapahit maka berakhir pula kerajaan Hindu di Jawa. Namun, pada saat itu orang Jawa masih menganut paham Hindu, kepercayaan Animisme, dan Dinamisme yang masih kuat. Maka Raden Patah (Raja Demak pertama) bersama Wali Songo (Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati) bekerjasama mengajak masyarakat untuk masuk Islam.
Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa menyukai seni musik gamelan. Gamelan dipakai sebagai pelengkap didalam pertunjukan wayang, pengiring gendhing Jawa (tembang), yang kemudian oleh Sunan Kalijaga gamelan tersebut dimanfaatkan sebagai alat untuk da’wah dan penghormatan terhadap Hari Raya Islam, salah satunya yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sunan Kalijaga menggunakan gamelan yang dibunyikan di halaman masjid agar masyarakat tertarik dan berkumpul. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datang ke masjid sebelum tanggal 12 Mulud, kemudian bupati beserta para rakyartnya menggiring raja ke masjid yang kemudian timbul kata “Garebeg” yang berasal dari kata “Anggrubyung” yang berarti menggiring atau berkerumun. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang dasar-dasar ajaran agama Islam, seperti makna dan tujuan dua kalimat Syahadat. Adapun orang yang ingin masuk Islam maka diwajibkan membaca dua syahadat (syahadatain) yang kemudian orang jawa menyebutnya dengan “Sekaten”.[9]

D.    Tujuan Tradisi “Sekaten”
Tujuan utama Sekaten adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Oleh karena itu tradisi ini bernama Garebeg Maulud. Kata “Maulud” berasal dari bahasa Arab yang artinya “kelahiran” (kelahiran Nabi Muhammad SAW) tanggal 12 Rabi’ul Awal (kalender Arab), 12 Maulud (kalnder Jawa).
Dari segi sosial, sebuah tradisi atau kesenian tradisional mampu membangun dan memelihara solidaritas masyarakat Yogyakarta. Sekaten merupakan momentum ungkapan rasa syukur Sultan atas segala karunia Tuhan yang telah diberikan kepadanya dan rakyatnya yang disimbolkan dalam bentuk penyajian gunungan yang dibagikan kepada seluruh masyarakat.
Sedangkan bagi masyarakat Yogyakarta, sekaten merupakan sebuah momentum mendapatkan berkah dari seorang Raja yang selalu mereka agungkan dengan memperebutkan gunungan-gunungan yang disajikan sebagai penolak bala atau penarik rezeki. [10]

E.    Prosesi Perayaan Tradisi “Sekaten”
       Sebelum prosesi perayaan tradisi sekaten dilaksanakan, diadakan terlebih dahulu upacara persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, yaitu :[11]
1.       Gamelan Sekaten
       Gamelan sekaten adalah benda pusaka keraton yang dibuat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian dibidang karawitan dengan laras pelog dan dipukul dengan alat pemukul yang terbuat dari tandung lembu atau kerbau.

2.      Gendhing Sekaten
Gendhing sekaten merupakan serangkaian lagu gendhing.
Selain itu juga terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya, seperti uang logam, bunga kanthil, busana seragam sekaten serta naskah riwayat Nabi Muhammad.

           Prosesi perayaan tradisi “Sekaten” diuraiakan sebagai berikut :
1.         Perayaan Pasar Malam
       Mulai tanggal 5 bulan Maulud (Rabiul Awal) di alun-alun utara ada perayaan pasar malam dengan berbagai stand jualan seperti pasar maupun pameran dan hiburan. Dahulu alun-alun utara bagian barat dekat regol Masjid lebih banyak digunakan untuk stand berjualan makanan, minuman ataupun sandang, sedang stand hiburan lebih banyak menempati akun-alun bagian timur. Bahan sajian untuk stand makanan adalah nasi uduk dengan lauk seperti Rasulan (nasi uduk, opor ayam, pencok, sambel pecel, lalapan tokolan mentah, timun, seledri, dll). Dan sepuluh hari menjelang Garebeg di Kraton Yogyakarta tepatnya di pagelaran dan siti hinggul diadakan pameran benda-benda kraton.[12]

2.         Setan Gending
Pada tanggal 9 Maulud sore hari kurang lebih jam 05:00 sore dimualai acara tumplak Wajik dan sarat upacara sugengan lainnya untuk pangrukti pembuaan gunungan sekaten. Dilaksanakan di kagungan dalem Magangan di pojok barat daya yang dikerjakan abdi dalem “Wadanansing Gusti Kilenan” yang di pojok tenggara para abdi “Wadananing para Gusti Wetanan”.
Upacara tumplak wajik ini diiringi dengan gejong lesung yang dilakukan oleh abdi Dalem Panewu Manteri peneket nganjeng (abdi dalem gladhag) dengan pakaian. Cara kalau sedang saos (piket), iringan gejong lesung ini dengan gendhing “Setan Gendring”. Yang artinya setan lari terbirit-birit.[13]

3.         Gladi Resik
       Pada tanggal 10 Maulud diadakan upacara Gladhi Resik dengan mengirabkan para prajurit mengelilingi beteng di alun-alun kidul. Tujuannya melatih kekompakan baris berbaris, keterampilan senjata, kekompakan music, dll. Abdi dalem prajurit siaga disebelah selatan pohon beringin membujur ketimur dalam dua saf. Rangkap dua di depan yang membawa tombak satu saf dan ada yang dibelakang membawa senapan dengan jarak 4 meter dari prajurit yang bersenjata senapan. Dengan urutan yang berpangkat tinggi disebelah barat menurun ke timur pangkat rendah.
       Parade baris-berbaris pasukan prajurit berparade mengelilingi alun-alun selatan menuju Sultan dengan jalan yang disebut Lampah Macak. Diawali dari korp prajurit Wirabraja, diikuti prajurit Dhaeng, Kawandasa, Jagakarya, Prawiratamaketanggung, Mantrijero, dan Langenghastra. Kemudian jika telah sampai, prajurit hormat kepada Sultan dengan merebahkan benderanya. Lalu diperintahkan untuk latihan “Karbinan”, yaitu menembak dengan peluru kosong tiga kali kemudian pasukan dibubarkan.[14]

4.         Malam Maulid Nabi di Serambi Masjid
Pada tanggal 11 Maulud malam 12 (malam gerebeg), Sri Sultan berkenan menghadiri perayaan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, diserambi Masjid besar. Setelah semua tertata, Sultan memerintahkan kepada Kyai Pangulu membaca surat Maulud Nabi. Saat pembacaan serat maulud nabi sampai dua angkatan, sultan masuk Masjid disertai Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati anom, serta para pangeran yang lain duduk ditempat pesalatan bagian selatan dijamu minum oleh Kyai Pengelu. Setelah menyantap hidangan, Sultan duduk kembali diserambi sampai syurokal, Sultan berdiri dan hadirin yang lain juga hormat berdiri. Lalu Sultan kembali ke keraton, sedang di masjid, Kyai pengulu terus meneruskan pembacaan serat Maulud Nabi.[15]

5.         Upacara Sekaten atau Garebeg Maulud  
       Garebeg Maulud merupakan upacara tradisional sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan arak-arakan gunungan yang rutin digelar setiap tahunnya. Pada tanggal 12 Mulud mulai jam 05:00 pagi, hajat dalem berupa gunungan dan kelengkapannya dari Magangan dibawa ke Kamandhungan melewati pelataran Kedhaton, Srimanganti sampai Kamandhungan berhenti menunggu prosesi upacara grebeg.
       Jam 08:00 Sultan memeriksa barisan prajurit yang berjalan dari magangan menuju Sri Manganti untuk menghormati kehadiran Residen dan sekaligus menghormati miyos dalem ke siti hinggil. Jam 09:00 Sultan memerintahkan kepada Pangeran Lurah Sundhaka dalem untuk memerintahkan kepada Abdi Dalem Nayakan Lurah lebet menjemput Residen. Lalu Sultan duduk di bangsal kencana.
       Di Karesidhenan jam 09:00 menemui para tamu undangan upacara grebeg antara lain komandan prajurit, komandan beteng Vredebrug, kanjeng Gusti Pangeran Hadati Paku Alam. 
       Residen kemudian berangkat ke Keraton bersama-sama tamu undangannya. Setiba di keraton, kedatangan Residen disambut hormat prajurit “Presentir” dengan membunyikan korps musiknya masing-masing dan disambut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati anom. Sesampai di emper bangsal kencana perpisahan dengan KGPA Anom disambut Sultan. Sesaat kemudian Sultan berangkat ke Siti Hinggil bersama Abdi Dalem Magang, Jajar, Lurah Wadana, Bupati, Bupati Wadana Ageng Punakawan, KGPA Alam serta tamu undangan lain. [16]

F.     Hubungan Tradisi “Sekaten” dengan Islam
Bagi keraton, sekaten memiliki makna religius yang berkaitan dengan kewajiban Sultan menyiarkan agama Islam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayyidin Panatagama yang berarti pemimpin tertinggi agama, khususnya agama Islam.
Perayaan Sekaten bertepatan dengan Hari Raya Maulud Nabi, yang merupakan tradisi kelanjutan para wali. Fungsi sekaten merupakan media penyampaian dakwah agama Islam melalui kebudayaan. Di dalam salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu utusan Allah yang diperintahkan sebagai Rahmatan lil Alamin yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur.
Sekaten berfungsi sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah. Gamelan ditabuh dengan maksud untuk menarik masyarakat Yogyakarta. Karena pengunjungnya sangat banyak,  maka dimanfaatkan dengan diadakan khotbah yang bernuansa Islam untuk menggugah keimanan mereka dan menghayati perintah Nabi Muhammad SAW. [17]

















[1] Eddy Strada, “Pengertian Akulturasi, Sinkretisme, Milanarisme, dan Adaptasi” dalam http://rangkumanmateriips.blogspot.com, diakses tanggal 19 November 2014
[2] Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1968), hlm.44
[3] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 3
[4] Mohammad Esnaeni, “Asal Mula Sekaten” dalam http://rizki-nisa.blogspot.com, diakses tanggal 19 November 2014.
[5] Alif Lukman Hakim, “Sekaten Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam” dalam http: //aliflukmanulhakim.blogspot, diakses tanggal 19 November 2014
[6] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 2.
[7] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 3.
[8] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 5.
[9] Mudhatama, “Mitologi dalam Tradisi Sekaten” dalam http://traditionaljava.wordpress.com, diakses tanggal 19 November 2014.
[10] Mohammad Esnaeni, “Asal Mula Sekaten” dalam http://rizki-nisa.blogspot .com, diakses tanggal 19 November 2014.
[11] Ervin Yulistya (dkk.), “Upacara Sekaten di Keraton Yogyakarta” dalam http://trikusumaayu.blogspot.com , diakses tanggal 20 November 2014.
[12] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 7
[13] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 10
[14] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 12
[15] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 22
[16] Wibatsu Harianto, Garebeg Kraton Yogyakarta, hlm. 33
[17] Sujarno.dkk. Seni Pertunjukan Tradisional : Nilai, Fungsi, dan Tantangannya (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003)