Rabu, 27 Januari 2016

Muhammad Abduh dan Pemikirannya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada akhir abad  19 negara-negara Islam mengalami krisis ideologi. Modernisasi terjadi di mana-mana, mereka berusaha menyesuaikan diri dengan  mengambil pemikiran dan ideology dari Barat, seperti pemikiran dari Eropa yang menyebabkan terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan.
Begitu juga yang terjadi di Mesir, modernitas membuat ajaran klasik menghilang. Pendidikan-pendidikan model barat merebak, karena mereka harus mengikuti pola model barat agar bisa berkembang. Namun kenyataanya mereka jadi tidak mengerti inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Keadaan politik dan soial pada masa itu sangat mendukung modernisasi. Namun dalam prosesnya mereka mengambil pemikiran Eropa tanpa memilah dan kritis terhadap pemikiran tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh menentang atas pemikiran orang-orang muslim kebanyakan yang dianggapnya keliru. Muhammad Abduh berusaha nenngembalikan masyarakat Islam ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Menurut Abduh kemunduran masyarakat Muslim disebabkan oleh pandangan bahwa Tuhan sudah menentukan terlebih dahulu tindakan manusia. Sehingga mereka kehilangan kemerdekaandan kemampuan untuk menentukan dan merancang nasib mereka sendiri.
Saat itulah Muhammad Abduh menjadi seorang tokoh yang mempunyai pengaruh penting di masanya. Beliau adalah seorang pemimpin nasional sekaligus seorang pemimpin kontra imperialisme Barat dan kekuasaan asing di dunia Islam (Barat). Beliau banyak menerjunkan diri dalam pergerakan reformisme agama dengan mendirikan sekolah (umum dan Agama) yang secara tidak langsung juga melawan imperialisme Barat. Abduh juga berperan dalam menghidupkan kembali buku-buku lama, khususnya buku-buku yang mencakup beberapa pendapat yang penting sebagai perlawanan terhadap pendirian sekolah misionaris dan propagandis peradaban Barat Kristen.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.      Bagaimana ide pembaharuan Muhammad Abduh?
3.      Bagaimana pengaruh ide pembaharuan Muhammad Abduh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Muhammad Abduh
2.      Untuk mengetahui dan memahami ide pembaharuan Muhammad Abduh
3.      Untuk mengetahui dan memahami pengaruh ide pembaharuan Muhammad Abduh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu


BAB II
PEMBAHASAN

A.               Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Choirullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khatab. Kedua orangtua Abduh hidup dalam masa regim Muhammad Ali Pasha, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.[1]
Sampai usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkungan keluarga sendiri terutama mengenai membaca dan menulis. Setelah itu sang ayah mengirimnya kepada seorang hafidz untuk belajar Qur’an dan hanya dalam tempo dua tahun ia sudah berhasil menghafalkannya. Studi tentang Qur’an ini kemudian dimantapkannya di Masjid Ahmadi kota Thanta yang terkenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an. Di sini pula Abduh mulai mempelajari ilmu-ilmu tradisional keislaman seperti ilmu tata bahasa dan fiqh.[2]
Pada tahun 1866, Muhammad Abduh memasuki universitas al-Azhar di Cairo. Sama dengan pengalaman awalnya di Thanta, di sinipun ia merasa kecewa pada sistem pengajarannya yang cenderung verbalistis dan dogmatis. Murid tidak lebih hanya disuruh menghafal dan menerima materi-materi yang diberikan gurunya. Muhammad Abduh disarankan Syeh Darwis untuk memepelajari disiplin-disiplin ilmu lain yang tidak diajarkan seperti logika, matematika, dan filsafat lewat seorang ulama Hasan at-Thawil yang sangat membantu pengembangan berpikir Abduh.[3]
Pengaruh intelektual paling besar Abduh terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jmaluddin al-Afghani d seji Mesir pada tahun 1871, sehingga Abduh antusias mengikuti kuliah dan ceramah beliau. Abduh banyak belajar dari al-Afghani dibidang filsafat, logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Abduh mulai dapat mengenbangkan pemikirannya di media massa yang menjadi modal dalam menyalurkan pemikiran pembaruannya.[4]
Meskipun Abduh sktif mencari pengetahuan dan wawasan di luar, namun ia tetap berkonsentrasi menyelesaikan studi di al-Azhar pada tahun 1877 dengan mendapat gelar kesarjaan ‘alim yang memberinya hak mengajar di al-Azhar. Dengan mengampu mata kuliah ilmu kalam dan logika. Abduh mendidik para mahasiswa agar dapat berpikir secara mandiri, mengarahkan mereka agar tidak begitu saja mengikuti pendapat-pendapat yang ada tanpa argument yang kuat. Dirumahnya sendiri Abduh juga mengajar dan memeberika pelajaran yang terbuka untuk umum. Kitab yang dipakainya adalah muqaddimah karya Ibn Khaldun dan Tahdzib al-Akhlaq karya Ibn Maskawaih. [5]
Ketika ia mulai dikenal dikalangan luas, pemerintah memanfaatkan kepandaiannya dengan mengangkat sebagai dosen tetap ilmu kalam, sejarah, ilmu politik, dan kesusteraan Arab  di universitas Dar al-Ulum dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879 dengan metode diskusi untuk memepercepat transformasi intelektual. Ia menginginkan terciptannya generasi masysrakat Mesir yang mamapu mempertahankan Bahasa Arab sebagai bahasa agaman dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang dilengkapi apresiasi kuat terhadap khazanah pengetahuan modern. Selain itu ia berharap para mahasiswa tanggap dengan situasi social politik yang sedang berkembang dan mengoreksi penyimpangan masyarakat maupun pemerintah. Karena pemikiran Abduh berbau politis, Taufiq Pasya memeberhentikan Abduh di dua perguruan tinggi tersebut di desa tempat kelahirannya.[6]
Pada tahun 1880 perdana menteri Riyadh Pasya mengangkat Abduh sebagai redaktur surat kabar pemerintah al-waqai al-mishriyyah yang kemudian dipercaya mendaji kepala editor. Kesempatan tersebut dimanfaatkannnya untuk memformulasikan sekaligus mensosialisasikan gagasan-gagasannya.
Abduh juga aktif dalam bidang politik yang terlibat dalam partai nasional Mesir (al-Hizb al-Wathan) yang didirikan Jamaluddin al-Afghani. Pada tahun 1882 muncullah kemudian gerakan pemberontakan dibawah pimpinan Ahmad Urabi Pasya yang menyebabkan pasukkannya mengalami kekalahan total di at-Tall al-Kabir sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Srilangka seumur hidup. Dalam kaitan ini Abduh termasuk orang yang terlibat meskipun ia tidak menyetujui model pemberontakan tersebut dan akhirnya dijatuhi hukuman pengasingan keluar negeri selama tiga tahun.[7]
Tahun 1882 Abduh menetap di kota Paris bersama Jamaluddin al-Afghani dan mendirikan majalah al-Urwa al-Wutsqa. Namun majalah tersebut tidak berjalan lama karena pemerintah colonial melarang peredarannya.
Selanjutnya Abduh pergi Syiria untuk memusatkan pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan tafsir Quran di beberapa masjid dan di madrasah Sulthaniyah bidang logika, ilmu Tauhid, dan sejarah. Ia juga menulis artikel pada surat kabar, kitab syarah yang menghasilkan Risalah al-Tauhid.[8]
Tahun 1888 Abduh kembali ke Mesir dan diangkat menjadi hakim dan dipercaya menjadi penasehat hukum Mahkamah Agung di Cairo. Kepercayaan pemerintahan semakin meningkat dan mencapai puncaknya ketika Abduh diangkat menjadi Mufti besar. Sejak tanggal 1 Juni 1899 menggantikan Syeh Hasunah an-Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lama Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 di Cairo.[9]
B.      Ide Pembaharuan dan Pengaruhnya
1.      Perkembangan Pembaharuan Modernisme Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang yang senantiasa bersikap kritis dan ingin memperoleh hal-hal baru dalam wawasan pemikirannya. Beliau berpendapat bahwa hukum islam haruslah merupakan produk yang terus menerus diperbaharui. Bagi Abduh, hukum harus dipahami sebagai suatu sarana menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka suatu kesalahan fatal jika hanya mempertahankan materi hukum, kesejahteraan manusia menjadi terabaikan. Abduh adalh seorang nujtahid yang mengeluarkan fatwa-fatwa dengan tidak terikat pada pendapat ulama-ulama masa lampau. Dilihat dari latar belakangnya sebernya Abduh bermadzhab maliki, kemudian ketika di al-Azhar ia mempelajari madzhab Hanafi. Pada akhirnya ia menghargai semua aliran madzhab namun tidak terikat pada salah satu dari empat madzhab yang mashur.[10]
Contoh pandangan Abduh dalam masalah poligami. Bagi Abduh poligami adalah masalah keagamaan yang memiliki keterkaitan kuat dengan hukum social yang berkembang di masyarakat. Meskipun ada dasar dan petunjuk yang jelas dalam Quran bahwa poligami dibolehkan dalam Islam tetapi harus dilihat dulu sisi persoalannya. Jika dikaji secara cermat Quran tidak menjadikan poligami sebagai azaz dalam hukum Islam, azaznya adalah monogamy. Poligami hanya dibolehkan dalam keadaan khusus misalnya ketika istri tidak mampu mengandung. Sementara jika poligami semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologs, maka hukumnya menjadi haram.[11]
Pembaharuan hukum islam bagi Abduh harus merujuk pada dimensi kekinian yang berkembang, artinya produk-produk hukum lampau sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih hanya dijadiakn rujukan dalam batas-bats tertentu. Abduh juga mengenbangkan pemikirannya dengan mengembangkan wawasan sosila melalui tulisannya yang berjudul al-Ulum al-Kalamiyah wa al-Dawah ila Ulum al-Ashriyah, Abduh menekankan pentingnya mempelajari ilmu mantiq untuk mendukung kekuatan argumentasi dalam pemahaman keagamaan. Pemikiran keagamaan Abduh khususnya dalam bidang Teologi mencapai kematangannya ketika beliau menghasilkan karya risalah at-Tauhid. Abduh bermaksud mencari jalan keluar dari problem studi Teologi Islam yang selama ini dinilai cukup rumit dan terlanjur larut dalam perbedaan paham antar berbagai aliran.[12]
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa Muhammad Abduh adalah pembaharu anak zamannya. Ketika orang lain tidak melakukan banyak hal yang sama dan bahkan sering menentang pembaharuan yang dilakukan, memang itulah watak setiap moderenis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang erjadi dan sekaligus paling cepat direnponi oleh masyarakat sekitarnya. Gagasan pembaharuan Abduh bertumpu pada tiga hal, pertama, pembebasan pemikiran dari taqlit sehingga akal tidak tunduk pada otoritas manapun. Kedua, upaya memberi bentuk pemahaman agama sesuai cara yang ditempuh kaum salaf tanpa menghiraukan perbedaan pemahaman dikalangan ulama yang datang kemudian. Ketiga, penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau menjadikan sains sebagai partner agama.  Abduh berpendapat bahwa ajaran-ajran Islam perlu interpretasi baru, untuk itu pintu ijtihad harus dibuka lebar-lebar. Abduh tidak segan-segan mengecam ulama yang sering terpaku pada pemahaman tradisional. Sikap seperti itu dapat dipahami karena Islam baginya adalah agama rasional. [13]
Ide Muhammad Abduh mendapat sambutan yang luas bahkan hampir menyebar keseluruh agama Islam karena apa yang menjadi sorotan Abduh sangat cocok dengan tuntutan umat Islam yang sedang mengalami kejemuan berpikir. [14]
Menurut  seorang pengamat Barat terkemuka H.A.R.Gibb, Muhammad Abduh menyuarakan empat hal pokok yaitu, pertama, gerakan pemurnian Islam dari praktek yang tidak benar. Kedua, pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga, perumusan kembali ajaran Islam sejalan dengan pemikiran modern. Keempat, pembelaan Islam atas pengaruh serangan Kristen Eropa. [15]
Disamping Abduh sangat antusias mengedepankan sains modern namun ia masih berpijak pada akar sejarah dan tradisi keislaman yang relative kuat yang dapat dilihat dari usahanya dalam mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan seperti mengkaji kembali kitab muqaddimah Ibn Khaldun dan Tadzhib al-Akhlaq Ibn Maskawaih.[16]

2.         Konsep Teologi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh berpendapat bahwa aliran-aliran teologi yang berkembang selama ini baik qadariyah, jabariyah, mu’tazilah maupun ahlu Sunnah semuanya memiliki titik kerawanan tertentu jika dipertahankan terus menerus. Umat Islam sudah terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan, bahkan sampai cabang-cabang masalah keyakinan. Abduh bermaksud membuka jalan baru bgi pengkajian disiplin Teologi yang setia terhadap prinsip-prinsip dasar agama dengan mengesampingkan sisi-sisi yang menyebabkan perbedaan paham selama ini. [17]

Teologi Abduh dapat diuraikan dengan formulasi sebagai berikut:
a.                       Allah dan Sunnah-Nya
Untuk membuktikan eksistensi Allah, Abduh menggunakan logika yang sering digunakan para filosof, yaitu teori wuduj secara teoritis tibagi menjadi tiga: wajib li dzatih (wujud yang pada esensinya mesti ada), mustahil li dzati (wujud yang pada esensinya tidak mungkin ada), mukmin li dzati (wujud yang pada esensinya tidak ada). [18]
Cara bagaimana mengenal dan mengimani Dzat yang wajib wujub menurut Abduh telah dijelaskan dalam Qur’an yang memberikan contoh banyak perihal kejadian-kejadian di langit san di bumi yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Prinsip penting yang menjadi pedoman Abduh adalah mentauhidkan Allah sebagai pangkal segala keimanan sebelum yang lainnya. Dalam hal ini seruan mentauhidkan Allah tidak bersandar pada dalil apapun kecuali pada nash qodh’i yang dipadukan dengan pemakaian rasio yang benar. [19]
Abduh menempatkan posisi Tauhid pada posisi yang lurus dengan mengenyampingkan bentuk-bentuk keagamaan yang mempunyai kekuatan sumber (otoritas). Abduh menggaris bawahi tidak perlunya manusia untuk terlalu jauh memikirkan tentang hakikat Tuhan, sehingga baik baginya memimikirkan ciptaan Tuhan, karena apabila tetap dilakukan pasti akan mengacaukan pikiran manusia.[20]
Dalam memahami sifat-sifat yang digambarkan identic dengan manusia, seperti Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka Abduh menandaskan bahwa hal itu harus dipahami sebagaimana kaum salaf memahaminya. Pandangan Abduh yang demikian berarti memposisikan dirinya sebagai anti antropomorphisme. [21]
Meskipun Abduh menyebut adanya sifat bagi Allah namun dalam sisi tertentu ia mengkritik argumen-argumen golongan Asy’ariyah bahwa Allah bersifat atau Tuhan itu memerlukan  sifat-sifat yang dilekatkan pada diri-Nya, padahal menurut Abduh yang memerlukan sifat seperti itu hanyalah manusia saja, sebab jika Tuhan memerlukan sesuatu yang berada diluat Dzat-Nya (sifat) maka berarti terdapat sesuatu yang lebih tinggi dari Dzat Tuhan.[22]
Abduh juga menolak pandnagan Mu’tazilah tentang perbuatan Tuhan yang memiliki prinsip dasar salah satunya al-Sholah wa al-Ashlah yaitu bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan yang terbaik kepada manusia. Anduh berpendapat tidak ada suatu kewajiban apapun bagi Tuhan, dalam pengertian wajib yang dipahami untuk menunaikan sesuatu. Yang ada adlah Tuhan akan melaksanakan janji dan ancaman-Nya sebagaimana yang telah Ia tetapkan. [23]
Hubungan Allah dengan alam semesta secara umum amupun yang terkait dengan eksistensi manusia terlihat dalam konsep Abduh tentang sunatullah. Sunatullah merupakan hukum yang mengatur perjalanan alam dan segala sebab akibat yang ada di dalamnya. Abduh mendefinisikannya sebagai: Al-Tharaiq al-Tsabitah al-Lati Tajri Alaiha al-Syuun wa ala Hasbiha Takun al-Atsar.[24]
b.      Akal dan kemampuannya
Abduh menempatkan akal pada posisi yang istimewa baik dalam hubungannya dengan akidah maupun syari’ah. Tanpa peran akal sudah dipahami keberadaan taklif yang dibebankan kepada manusia, karena Tuhan telah membekali manusia dengan akal itulah agama dapat berfungsi sepenuhnya.  Dalam bukunya al-Islam din al-ilm wa al-Madaniah Abduh menempatkan fungsi pentingnya akal pada bagian pertama, bahwa segala ajaran agama dapat ditafsirkan berdasarkan akal, artinya agama selalu dapat dipertemukan dengan akal dan akal sendiri merupakan factor pelengkap terpenting bagi agama. [25]
Menurut Abduh akal mempunyai kemamampuan empat hal:
1). Mengetahui Tuhan
2). Mengatahui sebagian besar sifat-sifat Tuhan
3). Mengetahui baik dan buruk secara global
4). Mengetahui sedikit hal tentang hari akhir
c.                   Manusia dan kebebasannya
Menurut Abduh, manusia mempunyai dua kodrat yang sangt mulia dan penting sekali, yaitu berpikir, memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Keduanya ini merupakan sifat dasar yang senantiasa ada pada manusia. Namun, Abduh mengakui adanya batas-batas kebebasan manusia. Dalam tafsir al-Manan beliau menjelaskan bahwasanya sungguhpun manusia berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri namun daya, kemauan dan pengetahuan yang ada pada manusia tidaklah sempurna, karena terbatasi oleh kelemahan yang ada pada diri manusia sendiri dan hukum alam seperti badai dan petir.[26]
Abduh menghubungkan konsep kebebasan manusia dengan qada da qadar yang membawa pada konsep yang dinamis. Baginya qada dan qadar bukanlah penghalang kebebasan manusia yang oleh masyarakat umum sering dijadikan benteng ketidak berdayaan mereka. Abduh mendefinikan qada dengan “kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui” (taalluq al-ilm al-ilahi bi al-sya’i) sedangkan qadar adalah “terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan” (wuqu al-sya’I ala hasb al-ilm).[27]
 Jadi pengertian qada dan qadar menunjukkan adanya paksaan yang datang dari kemauan Tuhan pada manusia, karena Tuhan hanya mengetahui apa yang dipilih, diusahakan dan dilakukan oleh manusia dan bukan menetapkan keharusan yang dipaksakan. Dalam menentkan sesuatu pilihan manusia tetap bebas, jika manusia berniat melakukan kejahatan dan ternyata ia tetap melakukan, maka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kelak.[28]

3.         Pemikiran Muhammad Abduh dimensi Politik, Sosial, Keyakinan, dan Pendidikan
a.       Dimensi Politik
Pemikiran beliau menyangkut masalah nasional adalah tentang batas-batas  negara, hubungan dan rasa cinta warga terhadap negara. Beliau dalam bukunya menulis demikian ; “pada dasarnya negara harus dicintai, sebab :
 (1) negara adalah tempat tinggal dimana terdapat makanan, warga, dan seluruh keluarga,
(2) negara merupakan wadah dari hak-hak dan kewajiban, itulah inti kehidupan politik, dan merupakan kebutuhan nyata,
(3) negara adalah tempat menisbatkan diri yang bisa mulia, terjajah atau terhina, keadaannya abstrak.[29]

b.      Dimensi Sosial
Pemikiran Muhammad Abduh dibidang social mencakup beberapa hal, diantaranya tentang jiwa kebersamaan, kepincangan masyarakat dan ekonomi nasional. Menurut beliau betapa pentingnya jiwa kebersamaan umat untuk memperlemah jiwa individualism dan saparatisme. Caranya dengan pendidikan sebenarnya, pendidikan yang didasarkan atas ajaran-ajaran agama Islam. Kata Abduh : “sebenarnya yang paling dominan sekarang ini adalah kemajuan intelektual dan pemikiran. Bangsa yang luas pikirannya dan menguasai bidang ilmu pengetahuan akan kuat berkuasa serta menguasai bangsa-bangsa lainnya”.[30]

c.       Dimensi Keyakinan
Pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang keyakinan membahasa dua tema pokok, yakni :
1.         Pembebasan kaum muslimin dari akidah kaum Jabariyah, dan
2.         Pemberian pengertian kepada mereka bahwa akal adalah nikmat dari Allah dan harus selaras dengan agama dan risalah-Nya bagi manusia. Melalaikan kemampuan akal, berarti menutup mata dari nikmat Allah.[31]
Muhammad Abduh berpendapat sikap fanatik terhadap berbagai madzhab dan buku-buku yang ada secara mutlak tidak hanya berkaitan erat dengan kelamahan kepribadian dan ilmu pengetahuan umat Islam waktu iu, sehingga tidak lagi selaras dengan kitabullah dan sunnah Rasul, tetapi berkaitan erat dengan akidah Jabariyah.[32]
Pada pokoknya, paham Jabariyah sama dengan taqlid, keduanya pertanda kelamahan dalam hidup ini. Penganut paham itu hidupnya tergantung kepada prinsip kebetulan, sama-sama meremehkan kehidupan ini dan tak mau mengacuhkan orang lain. [33]
Muhammad Abduh tidak rela melihat akidah Jabariyyah dianut manusia, sebab melemahkan jiwa, kemampuan dan peranan positif manusia. Untuk itu Muhammad Abduh berjuang mengikis habis paham Jabariyah agar umat Islam berikhtiar. Menghadapi paham Jabariyah dan dalam mengajak manusia kepada paham ikhtiar Muhammad Abduh tidak memakai cara seornag filosof yang mengemukakakn pandangan meurut satu segi pandangan tertentu. Ia mengemukakakn kritik dan pendapatnya seperti ahli agama yang berpandangan luas. Jadi, dasar pemikiran Muhammad Abduh agama, tujuannya yang ingin dicapainya adalah agama, dan sarana antar agama dan tujuan juga agama.[34]
Muhammad Abduh berpendapat bahwa manusia harus berikhtiar didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, dan nash-nash lain yang menyatakan, balasan akhirat berkaitan erat dengan amal yang dilakukan di dunia. Terhadap nash-nash tersebut, Muhammad Abduh memberikan alasan agar bagaiman kaum Mu’tazilah memperbaiki paham tanggungjawab dengan alasan akal.[35]
d.      Dimensi Pendidikan
Sedangkan pemikiran  Muhammad Abduh dibidang pendidikan dan pengajaran umum mencakup diantaranya :
1.      Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban
2.      Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuiakan dengan  pemikiran  rasional dan historis
3.      Reformasi Al-Azhar yang merupakan jantung umat islam; jika ia rusak maka rusaklah umat, dan jika baik maka baiklah umat
4.      Menghidupkan kembali buku-buku  lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam  sejarah umatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.[36]
Menurut Muhammad Abduh terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan disebabkan oleh kelemahan mereka sebagai suatu umat yang kuat. Dan itu terjadi karena adanya fanatisme terhadap suatu madzhab dari pendapat dan tulisannya sehingga dismaakan derajatmya dengan derajat keyakinan. Banyaknya aliran (madzhab) pemikiran atau keyakinan, sebenarnya bukanlah bahaya yang menghancurkan suatu umat. Tapi yang bahaya adalah berhukum dan tunduk kepada aliran tersebut, sehingga pengikutnya tidak berani mengemukakakn kritik atau pendapat lain. Ketika itu satu jamaah akan menjadi beberapa jamaah, suku, dan golongan yang terpisah-pisah, yang tidak memiliki satu arah dan tujuan. Pemisah itulah fanatisme buta. [37]
Demikian juga dengan perpecahan yang terjadi pada umat Islam. Ada jurang pemisah antara ahli ilmu kalam yang satu dengan lainnya, bahkan perpecahan antara ahli kalam dan ahli filsafat. Juga terdapat jurang pemisah antara ahli-ahli fikih, yakni berbagai madzhab dalam hal muamalah bersama manusia dan ibadah kepada Tuhan, dimana mereka saling bertentangan.[38]
Maka, menurut Muhammad Abduh tidak tepat untuk membenarkan madzhab secara mutlak. Sebab posisi semua madzhab dihadapan masyarakat Islam adalah posisi seseorang yang menerangkan Islam dan ajaran-ajarannya, yang tidak mungkin tidak bersalah, sebab yang menerangkan itu manusia biasa[39]
Maka, tidak boleh bagi satu madzhab apalagi pengikutnya untuk menyatakan dirinya mutlak benar, atau ia lebih dekat kepada tujuan Islam yang sebenarnya. [40]
Nilai-nilai madzhab tersebut diterangkan oleh Muhammad Abduh ketika ia berbicara tentang ilmu kalam dan posisinya terhadap ilmu tauhid. Juga pendapatnya untuk menyatukan golongan-golongan yang benar diantara berbagai golongan ahli kalam.[41]
Penilaiannya terhadap pembahasan-pembahasan ahli-ahli ilmu kalam berbeda dengan penilaian orang-orang yang semasa dengannya, juga berbeda dengan pendapat umum waktu itu terhadap ilmu tauhid. Ketika itu, para ulama Al-Azhar mengatakan bahwa ilmu tauhid dan dalil-dalil yang diambil dari berbagai kelompok ahli kalam adalah cara yang sangat positif dan harus diikuti untuk mengembangkan keyakinan yang benar terhadap Allah. Dengan demikian derajatnya telah  mengungguli derajat Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam.[42]
Muhammad Abduh berbeda penilaiannya. Pendapatnya sama seperti pendapat Imam Al-Ghazali juga ulama sebelumnya, Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini bahwa ilmu kalam baik untuk melatih otak dan  intelek, tetapi tidak baik sebagai cara meningkatkan akidah Islam atau untuk menopang keimanan. sedangkan cara terbaik adalah sistem Al-Qur’an sendiri dalam  mengetengahkan dakwah Islam . Ia adalah cara mendapatkan  kepuasaan,  suatu cara yang melindungi fitrah manusia secara umum. Untuk itu ia sesuai dnegan agama yang diturunkan untuk seluruh manusia, bukan tuntutan bagi satu kelompok manusia tertentu. Sedangkan ilmu kalam, dengan berbagai alirannya sebagaimana terdapat dalam buku-buku mutakhir yang menggunakan  logika Aristoteles, jauh dari sistem yang benar. Ilmu kalam menjadi metode argumentasi bagi sebagian  orang  yang menjalin hubungan dengan pemikiran Yunani dan logika formalnya.
Rasulullah SAW bersabada :
 إِنَّ هٰذِهِ الأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةَ ـ يَعْنِى وَ اْلأَهْوَاء – كُلُّهَا فِى النَّارِ إَلاَّ وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَفِى رِوَايَةِ : قَاَلُوا مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى

Artinya : Dan sungguh umat (Islam) ini pun akan terpecah menjadi 73 aliran. Semuanya masuk neraka, kecuali satu, yaitu al-jama’ah.” ( HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani dalam catatan bakinya atas syarah Ath-Thahawiyah, hal, 578, Al Maktual Islami). Dalam suatu riwayat disebutkan ; “Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan yang selamat itu, wahai Rasulullah? “Beliau menjawab, yaitu orang yang mengikuti jalanku dan para sahabatku.’ ( HR. Tirmidzi).[43]
Melihat keterangan diatas, Muhammad Abduh berkomentar bahwa kita harus menerangkan hadits ini dengan singkat bahwa, umat Islam akan  terbagi menjadi beberapa golongan,  hanya ada satu golongan yang selamat. Golongan yang selamat itu adalah mereka yang mengikuti jejak Rasul dan sahabatnya. Bahwa umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan, sesuai dengan jumlah yang disebutkan tadi atau tidak, adalah pasti dan telah terjadi kenyataan..
Bagi Muhammad Abduh pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Dan yang jadi perhatiannya juga adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir yang tercerminkan dengan baik sekali dalam pendidikan di Al-Azhar. Salah satu program yang diajukannya adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia juga mengkritik sekolah yang didirikan  oleh misionaris dan  juga sekolah pemerintah. Menurutnya, sekolah yang didirikan oleh Misionaris memaksa siswanya untuk mempelajari Keristen. Sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajari agama. [44]
Beliau juga menolak upaya meniru pendidikan Barat, hal itu di sebabkan  pengalaman, bahwa orang yang meniru bangsa lain dan meniru adat bangsa lain, berarti membukakan pintu bagi masuknya musuh. Para peniru ini menjadi pasukan gerak cepat penjajah, membantu penjajah menegakan kekeuasaan.  [45]

C.   Komentar Penulis
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.
Abduh adalah seorang yang sangat optimis. Beliau dapat menyatukan ilmu pengetahuan dan agama. Demi kemajuan negaranya beliau berani menentang pemikiran orang banyak. Tindakan beliau tentu saja menuai pro kontra, namun begitu beliau tetap optimis dengan ide-ide pembaharuanya. Beliau tidak gentar dengan protes-protes dari orang-orang sekitarnya.
Ide-ide Muhammad Abduh sesungguhnya baik untuk diterapkan. Namun karena pola pemikiran masyarakat yang  belum siap untuk menerima perubahan itu, membuat perpecahan di antara murid-muridnya.
Pada awalnya ide Muhammad Abduh memang menerima berbagai protes, namun lambat laun mereka mampu menerima idenya. Semua itu di karenakan pandangan mereka terhadap Abduh berubah setelah melihat tindakan dan langkah yang di tempuhnya, serta caranya dalam mengarang dan mengajar.
Dari perjalanan  hidup beliau, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam setiap perubahan pasti memerlukan proses yang tak mudah, pro kontra pasti ada. Namun pada akhirnya ide-ide tersebut masih berpengaruh pada kalangan muda bagi generasi selanjutnya dan menjadi tonggak perubahan di Negara Mesir  dan dunia Islam hingga saat ini.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah orang yang kompleks dan bahkan kontradiktif. Dia anak petani dan menjadi elite berkat pendidikan, kedudukan, dan afinitas. Meski dia mengecam penduduksn asing, dia tetap bekerja cukup kooperatif dengan pejabat pemeriintah, sehingga dia dapat menduduki pos-pos yang prestisius dan berpengaruh. Dia pada akhirnya bukanlah pembaru yang radikal tetapi adalahpendidik yang merasakan perlunya consensus.
Keistimewaan lain beliau adalah dalam usahanya menghidupkan kembali warisan yang lama. Ia telah memberikan contoh praktis di bidang ini, jadi bukan hanya menuntut secara teoritis. Buktinya, ia telah mengeluarkan kembali buku-buku lama, dan mengomentari sebagainya.
Definisi Abduh mengenai Islam untuk abad kedua puluh, terlihat jelas dalam berates-ratus teks yang menguraikan berbagai aspek pemikirannya. Meskipun sebagian pemimpin Ikhwanul Muslimin menuduhnya menyimpang dari ajaran pokok Islam, pengaruhnya terlihat jelas dalam berbagai proposisi dan gagasannya yang digemakan dalam perumusan merekan mengenai Islam.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis menerima bimbingan, saran, serta kritik dari pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Bahiy, muhammad. Pemikiran islam modern. jakarta: pustaka panji mas, 1986.
Aziz, ahmad Amir. Pembaruan Teologi : Prespektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Jogjakarta: Sukses offsite, 2009.
Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1996.




[1] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Sukses Offset), hlm.9

[2] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.10
[3] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.10

[4] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.11
[5] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.12
[6] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.13
[7] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.14
[8] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.15
[9] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.16
[10] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.21
[11] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.21
[12] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.18
[13] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.23
[14] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.23
[15] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.24
[16] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.25
[17] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.26
[18] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.31
[19] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.32
[20] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.33
[21] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.35
[22] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.35
[23] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.36
[24] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.37
[25] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.39
[26] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.46
[27] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.47
[28] Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.51
[29] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas), hlm.64
[30] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.68
[31] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.77
[32] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.77
[33] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.78
[34] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.78
[35] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.79
[36] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.82
[37] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.83
[38] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.83
[39] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.83
[40] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.84
[41] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.85
[42] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.85
[43] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hlm.86
[44] Ali Rahnema, Para Perintis  Zaman Baru Islam, (bandung: Khazanah Ilmu-Ilmu Islam), hlm.57         
[45] Ali Rahnema, Para Perintis  Zaman, hlm.59                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar