BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
akhir abad 19 negara-negara Islam
mengalami krisis ideologi. Modernisasi terjadi di mana-mana, mereka berusaha
menyesuaikan diri dengan mengambil
pemikiran dan ideology dari Barat, seperti pemikiran dari Eropa yang menyebabkan
terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan.
Begitu
juga yang terjadi di Mesir, modernitas membuat ajaran klasik menghilang.
Pendidikan-pendidikan model barat merebak, karena mereka harus mengikuti pola
model barat agar bisa berkembang. Namun kenyataanya mereka jadi tidak mengerti
inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Keadaan
politik dan soial pada masa itu sangat mendukung modernisasi. Namun dalam
prosesnya mereka mengambil pemikiran Eropa tanpa memilah dan kritis terhadap
pemikiran tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan Muhammad Abduh.
Muhammad
Abduh menentang atas pemikiran orang-orang muslim kebanyakan yang dianggapnya
keliru. Muhammad Abduh berusaha nenngembalikan masyarakat Islam ke ajaran Islam
yang sesungguhnya. Menurut Abduh kemunduran masyarakat Muslim disebabkan oleh
pandangan bahwa Tuhan sudah menentukan terlebih dahulu tindakan manusia.
Sehingga mereka kehilangan kemerdekaandan kemampuan untuk menentukan dan
merancang nasib mereka sendiri.
Saat
itulah Muhammad Abduh menjadi seorang tokoh yang mempunyai pengaruh penting di
masanya. Beliau adalah seorang pemimpin nasional sekaligus seorang pemimpin
kontra imperialisme Barat dan kekuasaan asing di dunia Islam (Barat). Beliau
banyak menerjunkan diri dalam pergerakan reformisme agama dengan mendirikan
sekolah (umum dan Agama) yang secara tidak langsung juga melawan imperialisme
Barat. Abduh juga berperan dalam menghidupkan kembali buku-buku lama, khususnya
buku-buku yang mencakup beberapa pendapat yang penting sebagai perlawanan terhadap
pendirian sekolah misionaris dan propagandis peradaban Barat Kristen.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Biografi Muhammad Abduh?
2. Bagaimana
ide pembaharuan Muhammad Abduh?
3. Bagaimana
pengaruh ide pembaharuan Muhammad Abduh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat
saat itu?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui biografi Muhammad Abduh
2. Untuk
mengetahui dan memahami ide pembaharuan Muhammad Abduh
3. Untuk
mengetahui dan memahami pengaruh ide pembaharuan Muhammad Abduh dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat saat itu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu
perkampungan agraris termasuk Mesir di provinsi Ghorbiyyah. Ayahnya bernama
Abduh bin Hasan Choirullah, seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah
binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin
Khatab. Kedua orangtua Abduh hidup dalam masa regim Muhammad Ali Pasha, yang
memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.[1]
Sampai
usia 10 tahun Abduh dididik dalam lingkungan keluarga sendiri terutama mengenai
membaca dan menulis. Setelah itu sang ayah mengirimnya kepada seorang hafidz
untuk belajar Qur’an dan hanya dalam tempo dua tahun ia sudah berhasil
menghafalkannya. Studi tentang Qur’an ini kemudian dimantapkannya di Masjid
Ahmadi kota Thanta yang terkenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an. Di
sini pula Abduh mulai mempelajari ilmu-ilmu tradisional keislaman seperti ilmu
tata bahasa dan fiqh.[2]
Pada
tahun 1866, Muhammad Abduh memasuki universitas al-Azhar di Cairo. Sama dengan
pengalaman awalnya di Thanta, di sinipun ia merasa kecewa pada sistem
pengajarannya yang cenderung verbalistis dan dogmatis. Murid tidak lebih hanya
disuruh menghafal dan menerima materi-materi yang diberikan gurunya. Muhammad
Abduh disarankan Syeh Darwis untuk memepelajari disiplin-disiplin ilmu lain
yang tidak diajarkan seperti logika, matematika, dan filsafat lewat seorang
ulama Hasan at-Thawil yang sangat membantu pengembangan berpikir Abduh.[3]
Pengaruh
intelektual paling besar Abduh terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jmaluddin
al-Afghani d seji Mesir pada tahun 1871, sehingga Abduh antusias mengikuti
kuliah dan ceramah beliau. Abduh banyak belajar dari al-Afghani dibidang
filsafat, logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Abduh mulai
dapat mengenbangkan pemikirannya di media massa yang menjadi modal dalam menyalurkan
pemikiran pembaruannya.[4]
Meskipun
Abduh sktif mencari pengetahuan dan wawasan di luar, namun ia tetap
berkonsentrasi menyelesaikan studi di al-Azhar pada tahun 1877 dengan mendapat
gelar kesarjaan ‘alim yang memberinya hak mengajar di al-Azhar. Dengan mengampu
mata kuliah ilmu kalam dan logika. Abduh mendidik para mahasiswa agar dapat
berpikir secara mandiri, mengarahkan mereka agar tidak begitu saja mengikuti
pendapat-pendapat yang ada tanpa argument yang kuat. Dirumahnya sendiri Abduh
juga mengajar dan memeberika pelajaran yang terbuka untuk umum. Kitab yang
dipakainya adalah muqaddimah karya Ibn Khaldun dan Tahdzib al-Akhlaq karya Ibn
Maskawaih. [5]
Ketika
ia mulai dikenal dikalangan luas, pemerintah memanfaatkan kepandaiannya dengan
mengangkat sebagai dosen tetap ilmu kalam, sejarah, ilmu politik, dan
kesusteraan Arab di universitas Dar
al-Ulum dan Perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879 dengan metode diskusi
untuk memepercepat transformasi intelektual. Ia menginginkan terciptannya
generasi masysrakat Mesir yang mamapu mempertahankan Bahasa Arab sebagai bahasa
agaman dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang dilengkapi apresiasi kuat terhadap
khazanah pengetahuan modern. Selain itu ia berharap para mahasiswa tanggap
dengan situasi social politik yang sedang berkembang dan mengoreksi
penyimpangan masyarakat maupun pemerintah. Karena pemikiran Abduh berbau
politis, Taufiq Pasya memeberhentikan Abduh di dua perguruan tinggi tersebut di
desa tempat kelahirannya.[6]
Pada
tahun 1880 perdana menteri Riyadh Pasya mengangkat Abduh sebagai redaktur surat
kabar pemerintah al-waqai al-mishriyyah yang kemudian dipercaya mendaji kepala
editor. Kesempatan tersebut dimanfaatkannnya untuk memformulasikan sekaligus
mensosialisasikan gagasan-gagasannya.
Abduh
juga aktif dalam bidang politik yang terlibat dalam partai nasional Mesir
(al-Hizb al-Wathan) yang didirikan Jamaluddin al-Afghani. Pada tahun 1882
muncullah kemudian gerakan pemberontakan dibawah pimpinan Ahmad Urabi Pasya
yang menyebabkan pasukkannya mengalami kekalahan total di at-Tall al-Kabir
sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Srilangka seumur hidup. Dalam kaitan ini
Abduh termasuk orang yang terlibat meskipun ia tidak menyetujui model
pemberontakan tersebut dan akhirnya dijatuhi hukuman pengasingan keluar negeri
selama tiga tahun.[7]
Tahun
1882 Abduh menetap di kota Paris bersama Jamaluddin al-Afghani dan mendirikan
majalah al-Urwa al-Wutsqa. Namun majalah tersebut tidak berjalan lama karena
pemerintah colonial melarang peredarannya.
Selanjutnya
Abduh pergi Syiria untuk memusatkan pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan
tafsir Quran di beberapa masjid dan di madrasah Sulthaniyah bidang logika, ilmu
Tauhid, dan sejarah. Ia juga menulis artikel pada surat kabar, kitab syarah
yang menghasilkan Risalah al-Tauhid.[8]
Tahun
1888 Abduh kembali ke Mesir dan diangkat menjadi hakim dan dipercaya menjadi
penasehat hukum Mahkamah Agung di Cairo. Kepercayaan pemerintahan semakin
meningkat dan mencapai puncaknya ketika Abduh diangkat menjadi Mufti besar.
Sejak tanggal 1 Juni 1899 menggantikan Syeh Hasunah an-Nadawi. Akhirnya setelah
sakit beberapa lama Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 di Cairo.[9]
B.
Ide
Pembaharuan dan Pengaruhnya
1. Perkembangan
Pembaharuan Modernisme Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh adalah seorang yang senantiasa bersikap kritis dan ingin memperoleh
hal-hal baru dalam wawasan pemikirannya. Beliau berpendapat bahwa hukum islam
haruslah merupakan produk yang terus menerus diperbaharui. Bagi Abduh, hukum
harus dipahami sebagai suatu sarana menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka
suatu kesalahan fatal jika hanya mempertahankan materi hukum, kesejahteraan
manusia menjadi terabaikan. Abduh adalh seorang nujtahid yang mengeluarkan fatwa-fatwa
dengan tidak terikat pada pendapat ulama-ulama masa lampau. Dilihat dari latar
belakangnya sebernya Abduh bermadzhab maliki, kemudian ketika di al-Azhar ia
mempelajari madzhab Hanafi. Pada akhirnya ia menghargai semua aliran madzhab
namun tidak terikat pada salah satu dari empat madzhab yang mashur.[10]
Contoh
pandangan Abduh dalam masalah poligami. Bagi Abduh poligami adalah masalah
keagamaan yang memiliki keterkaitan kuat dengan hukum social yang berkembang di
masyarakat. Meskipun ada dasar dan petunjuk yang jelas dalam Quran bahwa
poligami dibolehkan dalam Islam tetapi harus dilihat dulu sisi persoalannya.
Jika dikaji secara cermat Quran tidak menjadikan poligami sebagai azaz dalam
hukum Islam, azaznya adalah monogamy. Poligami hanya dibolehkan dalam keadaan
khusus misalnya ketika istri tidak mampu mengandung. Sementara jika poligami
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologs, maka hukumnya menjadi haram.[11]
Pembaharuan
hukum islam bagi Abduh harus merujuk pada dimensi kekinian yang berkembang,
artinya produk-produk hukum lampau sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih
hanya dijadiakn rujukan dalam batas-bats tertentu. Abduh juga mengenbangkan
pemikirannya dengan mengembangkan wawasan sosila melalui tulisannya yang
berjudul al-Ulum al-Kalamiyah wa al-Dawah ila Ulum al-Ashriyah, Abduh
menekankan pentingnya mempelajari ilmu mantiq untuk mendukung kekuatan
argumentasi dalam pemahaman keagamaan. Pemikiran keagamaan Abduh khususnya
dalam bidang Teologi mencapai kematangannya ketika beliau menghasilkan karya
risalah at-Tauhid. Abduh bermaksud mencari jalan keluar dari problem studi
Teologi Islam yang selama ini dinilai cukup rumit dan terlanjur larut dalam
perbedaan paham antar berbagai aliran.[12]
Dari
uraian diatas dapat ditegaskan bahwa Muhammad Abduh adalah pembaharu anak
zamannya. Ketika orang lain tidak melakukan banyak hal yang sama dan bahkan
sering menentang pembaharuan yang dilakukan, memang itulah watak setiap
moderenis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon
perkembangan yang erjadi dan sekaligus paling cepat direnponi oleh masyarakat
sekitarnya. Gagasan pembaharuan Abduh bertumpu pada tiga hal, pertama,
pembebasan pemikiran dari taqlit sehingga akal tidak tunduk pada otoritas
manapun. Kedua, upaya memberi bentuk pemahaman agama sesuai cara yang ditempuh
kaum salaf tanpa menghiraukan perbedaan pemahaman dikalangan ulama yang datang
kemudian. Ketiga, penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan
atau menjadikan sains sebagai partner agama. Abduh berpendapat bahwa ajaran-ajran Islam
perlu interpretasi baru, untuk itu pintu ijtihad harus dibuka lebar-lebar.
Abduh tidak segan-segan mengecam ulama yang sering terpaku pada pemahaman
tradisional. Sikap seperti itu dapat dipahami karena Islam baginya adalah agama
rasional. [13]
Ide
Muhammad Abduh mendapat sambutan yang luas bahkan hampir menyebar keseluruh
agama Islam karena apa yang menjadi sorotan Abduh sangat cocok dengan tuntutan
umat Islam yang sedang mengalami kejemuan berpikir. [14]
Menurut seorang pengamat Barat terkemuka H.A.R.Gibb,
Muhammad Abduh menyuarakan empat hal pokok yaitu, pertama, gerakan pemurnian
Islam dari praktek yang tidak benar. Kedua, pembaharuan pendidikan Islam.
Ketiga, perumusan kembali ajaran Islam sejalan dengan pemikiran modern.
Keempat, pembelaan Islam atas pengaruh serangan Kristen Eropa. [15]
Disamping
Abduh sangat antusias mengedepankan sains modern namun ia masih berpijak pada
akar sejarah dan tradisi keislaman yang relative kuat yang dapat dilihat dari
usahanya dalam mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan
seperti mengkaji kembali kitab muqaddimah Ibn Khaldun dan Tadzhib al-Akhlaq Ibn
Maskawaih.[16]
2.
Konsep Teologi
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa aliran-aliran teologi yang berkembang selama ini baik
qadariyah, jabariyah, mu’tazilah maupun ahlu Sunnah semuanya memiliki titik
kerawanan tertentu jika dipertahankan terus menerus. Umat Islam sudah
terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan, bahkan sampai cabang-cabang
masalah keyakinan. Abduh bermaksud membuka jalan baru bgi pengkajian disiplin
Teologi yang setia terhadap prinsip-prinsip dasar agama dengan mengesampingkan
sisi-sisi yang menyebabkan perbedaan paham selama ini. [17]
Teologi
Abduh dapat diuraikan dengan formulasi sebagai berikut:
a.
Allah dan Sunnah-Nya
Untuk
membuktikan eksistensi Allah, Abduh menggunakan logika yang sering digunakan
para filosof, yaitu teori wuduj secara teoritis tibagi menjadi tiga: wajib li
dzatih (wujud yang pada esensinya mesti ada), mustahil li dzati (wujud yang pada
esensinya tidak mungkin ada), mukmin li dzati (wujud yang pada esensinya tidak
ada). [18]
Cara
bagaimana mengenal dan mengimani Dzat yang wajib wujub menurut Abduh telah
dijelaskan dalam Qur’an yang memberikan contoh banyak perihal kejadian-kejadian
di langit san di bumi yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Prinsip penting yang
menjadi pedoman Abduh adalah mentauhidkan Allah sebagai pangkal segala keimanan
sebelum yang lainnya. Dalam hal ini seruan mentauhidkan Allah tidak bersandar
pada dalil apapun kecuali pada nash qodh’i yang dipadukan dengan pemakaian
rasio yang benar. [19]
Abduh
menempatkan posisi Tauhid pada posisi yang lurus dengan mengenyampingkan
bentuk-bentuk keagamaan yang mempunyai kekuatan sumber (otoritas). Abduh
menggaris bawahi tidak perlunya manusia untuk terlalu jauh memikirkan tentang
hakikat Tuhan, sehingga baik baginya memimikirkan ciptaan Tuhan, karena apabila
tetap dilakukan pasti akan mengacaukan pikiran manusia.[20]
Dalam
memahami sifat-sifat yang digambarkan identic dengan manusia, seperti Allah
Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka Abduh menandaskan bahwa hal itu harus
dipahami sebagaimana kaum salaf memahaminya. Pandangan Abduh yang demikian
berarti memposisikan dirinya sebagai anti antropomorphisme. [21]
Meskipun
Abduh menyebut adanya sifat bagi Allah namun dalam sisi tertentu ia mengkritik
argumen-argumen golongan Asy’ariyah bahwa Allah bersifat atau Tuhan itu
memerlukan sifat-sifat yang dilekatkan
pada diri-Nya, padahal menurut Abduh yang memerlukan sifat seperti itu hanyalah
manusia saja, sebab jika Tuhan memerlukan sesuatu yang berada diluat Dzat-Nya
(sifat) maka berarti terdapat sesuatu yang lebih tinggi dari Dzat Tuhan.[22]
Abduh
juga menolak pandnagan Mu’tazilah tentang perbuatan Tuhan yang memiliki prinsip
dasar salah satunya al-Sholah wa al-Ashlah yaitu bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban berbuat baik dan yang terbaik kepada manusia. Anduh berpendapat tidak
ada suatu kewajiban apapun bagi Tuhan, dalam pengertian wajib yang dipahami
untuk menunaikan sesuatu. Yang ada adlah Tuhan akan melaksanakan janji dan
ancaman-Nya sebagaimana yang telah Ia tetapkan. [23]
Hubungan
Allah dengan alam semesta secara umum amupun yang terkait dengan eksistensi
manusia terlihat dalam konsep Abduh tentang sunatullah. Sunatullah merupakan
hukum yang mengatur perjalanan alam dan segala sebab akibat yang ada di
dalamnya. Abduh mendefinisikannya sebagai: Al-Tharaiq al-Tsabitah al-Lati Tajri
Alaiha al-Syuun wa ala Hasbiha Takun al-Atsar.[24]
b.
Akal dan
kemampuannya
Abduh
menempatkan akal pada posisi yang istimewa baik dalam hubungannya dengan akidah
maupun syari’ah. Tanpa peran akal sudah dipahami keberadaan taklif yang
dibebankan kepada manusia, karena Tuhan telah membekali manusia dengan akal
itulah agama dapat berfungsi sepenuhnya.
Dalam bukunya al-Islam din al-ilm wa al-Madaniah Abduh menempatkan
fungsi pentingnya akal pada bagian pertama, bahwa segala ajaran agama dapat
ditafsirkan berdasarkan akal, artinya agama selalu dapat dipertemukan dengan
akal dan akal sendiri merupakan factor pelengkap terpenting bagi agama. [25]
Menurut
Abduh akal mempunyai kemamampuan empat hal:
1).
Mengetahui Tuhan
2).
Mengatahui sebagian besar sifat-sifat Tuhan
3).
Mengetahui baik dan buruk secara global
4).
Mengetahui sedikit hal tentang hari akhir
c.
Manusia dan
kebebasannya
Menurut
Abduh, manusia mempunyai dua kodrat yang sangt mulia dan penting sekali, yaitu
berpikir, memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Keduanya ini merupakan
sifat dasar yang senantiasa ada pada manusia. Namun, Abduh mengakui adanya
batas-batas kebebasan manusia. Dalam tafsir al-Manan beliau menjelaskan
bahwasanya sungguhpun manusia berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri namun
daya, kemauan dan pengetahuan yang ada pada manusia tidaklah sempurna, karena
terbatasi oleh kelemahan yang ada pada diri manusia sendiri dan hukum alam
seperti badai dan petir.[26]
Abduh
menghubungkan konsep kebebasan manusia dengan qada da qadar yang membawa pada
konsep yang dinamis. Baginya qada dan qadar bukanlah penghalang kebebasan
manusia yang oleh masyarakat umum sering dijadikan benteng ketidak berdayaan
mereka. Abduh mendefinikan qada dengan “kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu
yang diketahui” (taalluq al-ilm al-ilahi bi al-sya’i) sedangkan qadar adalah
“terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan” (wuqu al-sya’I ala hasb al-ilm).[27]
Jadi pengertian qada dan qadar menunjukkan
adanya paksaan yang datang dari kemauan Tuhan pada manusia, karena Tuhan hanya
mengetahui apa yang dipilih, diusahakan dan dilakukan oleh manusia dan bukan
menetapkan keharusan yang dipaksakan. Dalam menentkan sesuatu pilihan manusia
tetap bebas, jika manusia berniat melakukan kejahatan dan ternyata ia tetap
melakukan, maka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kelak.[28]
3.
Pemikiran
Muhammad Abduh dimensi Politik, Sosial, Keyakinan, dan Pendidikan
a.
Dimensi Politik
Pemikiran
beliau menyangkut masalah nasional adalah tentang batas-batas negara, hubungan dan rasa cinta warga
terhadap negara. Beliau dalam bukunya menulis demikian ; “pada dasarnya negara
harus dicintai, sebab :
(1) negara adalah tempat tinggal dimana terdapat
makanan, warga, dan seluruh keluarga,
(2)
negara merupakan wadah dari hak-hak dan kewajiban, itulah inti kehidupan politik,
dan merupakan kebutuhan nyata,
(3)
negara adalah tempat menisbatkan diri yang bisa mulia, terjajah atau terhina,
keadaannya abstrak.[29]
b.
Dimensi Sosial
Pemikiran
Muhammad Abduh dibidang social mencakup beberapa hal, diantaranya tentang jiwa
kebersamaan, kepincangan masyarakat dan ekonomi nasional. Menurut beliau betapa
pentingnya jiwa kebersamaan umat untuk memperlemah jiwa individualism dan
saparatisme. Caranya dengan pendidikan sebenarnya, pendidikan yang didasarkan
atas ajaran-ajaran agama Islam. Kata Abduh : “sebenarnya yang paling dominan
sekarang ini adalah kemajuan intelektual dan pemikiran. Bangsa yang luas
pikirannya dan menguasai bidang ilmu pengetahuan akan kuat berkuasa serta menguasai
bangsa-bangsa lainnya”.[30]
c.
Dimensi
Keyakinan
Pemikiran
Muhammad Abduh dalam bidang keyakinan membahasa dua tema pokok, yakni :
1.
Pembebasan kaum
muslimin dari akidah kaum Jabariyah, dan
2.
Pemberian
pengertian kepada mereka bahwa akal adalah nikmat dari Allah dan harus selaras
dengan agama dan risalah-Nya bagi manusia. Melalaikan kemampuan akal, berarti
menutup mata dari nikmat Allah.[31]
Muhammad
Abduh berpendapat sikap fanatik terhadap berbagai madzhab dan buku-buku yang
ada secara mutlak tidak hanya berkaitan erat dengan kelamahan kepribadian dan
ilmu pengetahuan umat Islam waktu iu, sehingga tidak lagi selaras dengan
kitabullah dan sunnah Rasul, tetapi berkaitan erat dengan akidah Jabariyah.[32]
Pada
pokoknya, paham Jabariyah sama dengan taqlid, keduanya pertanda kelamahan dalam
hidup ini. Penganut paham itu hidupnya tergantung kepada prinsip kebetulan,
sama-sama meremehkan kehidupan ini dan tak mau mengacuhkan orang lain. [33]
Muhammad
Abduh tidak rela melihat akidah Jabariyyah dianut manusia, sebab melemahkan
jiwa, kemampuan dan peranan positif manusia. Untuk itu Muhammad Abduh berjuang
mengikis habis paham Jabariyah agar umat Islam berikhtiar. Menghadapi paham
Jabariyah dan dalam mengajak manusia kepada paham ikhtiar Muhammad Abduh tidak
memakai cara seornag filosof yang mengemukakakn pandangan meurut satu segi
pandangan tertentu. Ia mengemukakakn kritik dan pendapatnya seperti ahli agama
yang berpandangan luas. Jadi, dasar pemikiran Muhammad Abduh agama, tujuannya
yang ingin dicapainya adalah agama, dan sarana antar agama dan tujuan juga
agama.[34]
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa manusia harus berikhtiar didasarkan kepada ayat-ayat
Al-Qur’an, dan nash-nash lain yang menyatakan, balasan akhirat berkaitan erat
dengan amal yang dilakukan di dunia. Terhadap nash-nash tersebut, Muhammad
Abduh memberikan alasan agar bagaiman kaum Mu’tazilah memperbaiki paham
tanggungjawab dengan alasan akal.[35]
d.
Dimensi
Pendidikan
Sedangkan
pemikiran Muhammad Abduh dibidang pendidikan
dan pengajaran umum mencakup diantaranya :
1.
Perlawanan
terhadap taqlid dan kemadzhaban
2.
Perlawanan
terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuiakan dengan pemikiran rasional dan historis
3.
Reformasi
Al-Azhar yang merupakan jantung umat islam; jika ia rusak maka rusaklah umat,
dan jika baik maka baiklah umat
4.
Menghidupkan
kembali buku-buku lama untuk mengenal
intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah
umatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi
yang ada.[36]
Menurut
Muhammad Abduh terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan disebabkan oleh
kelemahan mereka sebagai suatu umat yang kuat. Dan itu terjadi karena adanya
fanatisme terhadap suatu madzhab dari pendapat dan tulisannya sehingga dismaakan
derajatmya dengan derajat keyakinan. Banyaknya aliran (madzhab) pemikiran atau
keyakinan, sebenarnya bukanlah bahaya yang menghancurkan suatu umat. Tapi yang
bahaya adalah berhukum dan tunduk kepada aliran tersebut, sehingga pengikutnya
tidak berani mengemukakakn kritik atau pendapat lain. Ketika itu satu jamaah
akan menjadi beberapa jamaah, suku, dan golongan yang terpisah-pisah, yang
tidak memiliki satu arah dan tujuan. Pemisah itulah fanatisme buta. [37]
Demikian
juga dengan perpecahan yang terjadi pada umat Islam. Ada jurang pemisah antara
ahli ilmu kalam yang satu dengan lainnya, bahkan perpecahan antara ahli kalam
dan ahli filsafat. Juga terdapat jurang pemisah antara ahli-ahli fikih, yakni
berbagai madzhab dalam hal muamalah bersama manusia dan ibadah kepada Tuhan,
dimana mereka saling bertentangan.[38]
Maka,
menurut Muhammad Abduh tidak tepat untuk membenarkan madzhab secara mutlak.
Sebab posisi semua madzhab dihadapan masyarakat Islam adalah posisi seseorang
yang menerangkan Islam dan ajaran-ajarannya, yang tidak mungkin tidak bersalah,
sebab yang menerangkan itu manusia biasa[39]
Maka,
tidak boleh bagi satu madzhab apalagi pengikutnya untuk menyatakan dirinya
mutlak benar, atau ia lebih dekat kepada tujuan Islam yang sebenarnya. [40]
Nilai-nilai
madzhab tersebut diterangkan oleh Muhammad Abduh ketika ia berbicara tentang
ilmu kalam dan posisinya terhadap ilmu tauhid. Juga pendapatnya untuk
menyatukan golongan-golongan yang benar diantara berbagai golongan ahli kalam.[41]
Penilaiannya
terhadap pembahasan-pembahasan ahli-ahli ilmu kalam berbeda dengan penilaian
orang-orang yang semasa dengannya, juga berbeda dengan pendapat umum waktu itu
terhadap ilmu tauhid. Ketika itu, para ulama Al-Azhar mengatakan bahwa ilmu
tauhid dan dalil-dalil yang diambil dari berbagai kelompok ahli kalam adalah
cara yang sangat positif dan harus diikuti untuk mengembangkan keyakinan yang
benar terhadap Allah. Dengan demikian derajatnya telah mengungguli derajat Al-Qur’an sebagai sumber
utama agama Islam.[42]
Muhammad
Abduh berbeda penilaiannya. Pendapatnya sama seperti pendapat Imam Al-Ghazali
juga ulama sebelumnya, Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini bahwa ilmu kalam baik
untuk melatih otak dan intelek, tetapi
tidak baik sebagai cara meningkatkan akidah Islam atau untuk menopang keimanan.
sedangkan cara terbaik adalah sistem Al-Qur’an sendiri dalam mengetengahkan dakwah Islam . Ia adalah cara
mendapatkan kepuasaan, suatu cara yang melindungi fitrah manusia
secara umum. Untuk itu ia sesuai dnegan agama yang diturunkan untuk seluruh
manusia, bukan tuntutan bagi satu kelompok manusia tertentu. Sedangkan ilmu
kalam, dengan berbagai alirannya sebagaimana terdapat dalam buku-buku mutakhir
yang menggunakan logika Aristoteles,
jauh dari sistem yang benar. Ilmu kalam menjadi metode argumentasi bagi sebagian orang
yang menjalin hubungan dengan pemikiran Yunani dan logika formalnya.
Rasulullah
SAW bersabada :
إِنَّ هٰذِهِ الأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةَ ـ يَعْنِى وَ اْلأَهْوَاء – كُلُّهَا فِى
النَّارِ إَلاَّ وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَفِى رِوَايَةِ : قَاَلُوا
مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Artinya : Dan sungguh umat (Islam)
ini pun akan terpecah menjadi 73 aliran. Semuanya masuk neraka, kecuali satu,
yaitu al-jama’ah.” ( HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani dalam catatan
bakinya atas syarah Ath-Thahawiyah, hal, 578, Al Maktual Islami). Dalam suatu
riwayat disebutkan ; “Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan yang selamat
itu, wahai Rasulullah? “Beliau menjawab, yaitu orang yang mengikuti jalanku dan
para sahabatku.’ ( HR. Tirmidzi).[43]
Melihat keterangan diatas, Muhammad
Abduh berkomentar bahwa kita harus menerangkan hadits ini dengan singkat bahwa,
umat Islam akan terbagi menjadi beberapa
golongan, hanya ada satu golongan yang
selamat. Golongan yang selamat itu adalah mereka yang mengikuti jejak Rasul dan
sahabatnya. Bahwa umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan, sesuai dengan
jumlah yang disebutkan tadi atau tidak, adalah pasti dan telah terjadi
kenyataan..
Bagi Muhammad Abduh pendidikan itu
penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Dan yang jadi
perhatiannya juga adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang
dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir yang tercerminkan dengan baik sekali
dalam pendidikan di Al-Azhar. Salah satu program yang diajukannya adalah
memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan
masyarakat. Dia juga mengkritik sekolah yang didirikan oleh misionaris dan juga sekolah pemerintah. Menurutnya, sekolah
yang didirikan oleh Misionaris memaksa siswanya untuk mempelajari Keristen.
Sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajari agama. [44]
Beliau juga menolak upaya meniru
pendidikan Barat, hal itu di sebabkan
pengalaman, bahwa orang yang meniru bangsa lain dan meniru adat bangsa
lain, berarti membukakan pintu bagi masuknya musuh. Para peniru ini menjadi
pasukan gerak cepat penjajah, membantu penjajah menegakan kekeuasaan. [45]
C.
Komentar Penulis
Muhammad
Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan
pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia
bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha
penuh untuk melakukan pembaharuan.
Abduh
adalah seorang yang sangat optimis. Beliau dapat menyatukan ilmu pengetahuan
dan agama. Demi kemajuan negaranya beliau berani menentang pemikiran orang
banyak. Tindakan beliau tentu saja menuai pro kontra, namun begitu beliau tetap
optimis dengan ide-ide pembaharuanya. Beliau tidak gentar dengan protes-protes
dari orang-orang sekitarnya.
Ide-ide
Muhammad Abduh sesungguhnya baik untuk diterapkan. Namun karena pola pemikiran
masyarakat yang belum siap untuk
menerima perubahan itu, membuat perpecahan di antara murid-muridnya.
Pada
awalnya ide Muhammad Abduh memang menerima berbagai protes, namun lambat laun
mereka mampu menerima idenya. Semua itu di karenakan pandangan mereka terhadap
Abduh berubah setelah melihat tindakan dan langkah yang di tempuhnya, serta
caranya dalam mengarang dan mengajar.
Dari
perjalanan hidup beliau, dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam setiap perubahan pasti memerlukan proses yang tak mudah,
pro kontra pasti ada. Namun pada akhirnya ide-ide tersebut masih berpengaruh
pada kalangan muda bagi generasi selanjutnya dan menjadi tonggak perubahan di
Negara Mesir dan dunia Islam hingga saat
ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muhammad
Abduh adalah orang yang kompleks dan bahkan kontradiktif. Dia anak petani dan
menjadi elite berkat pendidikan, kedudukan, dan afinitas. Meski dia mengecam
penduduksn asing, dia tetap bekerja cukup kooperatif dengan pejabat
pemeriintah, sehingga dia dapat menduduki pos-pos yang prestisius dan
berpengaruh. Dia pada akhirnya bukanlah pembaru yang radikal tetapi
adalahpendidik yang merasakan perlunya consensus.
Keistimewaan
lain beliau adalah dalam usahanya menghidupkan kembali warisan yang lama. Ia
telah memberikan contoh praktis di bidang ini, jadi bukan hanya menuntut secara
teoritis. Buktinya, ia telah mengeluarkan kembali buku-buku lama, dan
mengomentari sebagainya.
Definisi
Abduh mengenai Islam untuk abad kedua puluh, terlihat jelas dalam berates-ratus
teks yang menguraikan berbagai aspek pemikirannya. Meskipun sebagian pemimpin
Ikhwanul Muslimin menuduhnya menyimpang dari ajaran pokok Islam, pengaruhnya
terlihat jelas dalam berbagai proposisi dan gagasannya yang digemakan dalam
perumusan merekan mengenai Islam.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
menerima bimbingan, saran, serta kritik dari pembaca yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahiy, muhammad. Pemikiran islam modern. jakarta:
pustaka panji mas, 1986.
Aziz, ahmad Amir. Pembaruan Teologi : Prespektif
Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Jogjakarta:
Sukses offsite, 2009.
Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung:
Mizan, 1996.
[1]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi:
Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-modernisme Fazlur Rahman,
(Yogyakarta: Sukses Offset), hlm.9
[2]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi,
hlm.10
[3]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.10
[4]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.11
[5]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.12
[6]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.13
[7]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.14
[8]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.15
[9]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.16
[10]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.21
[11]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.21
[12]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.18
[13]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.23
[14]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.23
[15]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.24
[16]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.25
[17]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.26
[18]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.31
[19]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.32
[20]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.33
[21]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.35
[22]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.35
[23]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.36
[24]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.37
[25]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.39
[26]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.46
[27]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.47
[28]
Ahmad Amir Aziz, Pembaruan teologi, hlm.51
[29]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
(Jakarta: Pustaka Panji Mas), hlm.64
[30]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.68
[31]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.77
[32]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.77
[33]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.78
[34]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.78
[35]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.79
[36]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.82
[37]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.83
[38]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.83
[39]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.83
[40]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.84
[41]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.85
[42]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.85
[43]
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
hlm.86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar