Kamis, 12 November 2015

Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang kaya dengan makna, sehingga setiap orang bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda-beda sesuai latar belakang sosial  dan latar belakang pengetahuannya. Akibatnya al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan  Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa aliran dengan penafsiran yang berbeda-beda. Salah satuny adalah penafsiran dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.  
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya?
2.      Apa saja karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
3.      Bagaimana karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
4.      Bagaimana contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya.
2.      Untuk mengetahui karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3.      Untuk mengetahui karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
4.      Mengetahui dan memahami contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Ajarannya
Ahlus sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan kesepakatan / persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode dan cara-cara keduanya. [1]
Cara yang mereka tempuh dalam melakukan penafsiran terhadap alQur’an adalah menuruti cara-cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rosyidin. Mengenai aqidah mereka bisa disimpulkan sebagai berikut: [2]
1.        Wujudnya Allah yang Maha Qadim (terdahulu).
Tidak ada yang layak disembah selain Dia, tidak ada Pencipta selain Dia, yang memiliki sifat yang Berilmu, Maha Berkuasa dan semua sifat-sifat yang sempurna. Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Tidak berkata, tidak ada yang menyerupainya, dan tidak beranak.  
2.        Dzat-Nya tidak bertempat pada sesuatupun yang hawadits ( bersifat baru).
Tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya. Dia Maha Mendengar dan Maha Maha melihat. Apabila Ia member pahala maka itu adalah karena kemurahanNya. Dan jika Dia menghukum dengan siksa, maka itu adalah karena keadilannya. Para pemimpin sesudah Rasulullah SAW adalah Khulafaur Rasyidin yang derajat keutamaan mereka adalah menurut urutan tersebut. Karena itu kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan seorangpun dari mereka, ataupun diantara semua kaum yang berkiblat ke Baitullah umumnya, kecuali mereka yang mengingkari sesuatu yang diketahuinya dari Agama. Ilnilah pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terpenting. Aqidah ini diturunkan dan disimpulkan dari alQur’an dan Hadits.
Al-Qur’an dan Sunnah adalah ushul (pokok) sedangkan aqidah adalah furu’ (cabang). Ahlus Sunnah telah merumuskan kaidah-kaidah mereka berdasarkan anggapan bahwa alQur’an al Karim adalah diatas jangkauan akal, meskipun pandangan mereka ini berbeda dengan pandangan madzhab-madzhab lain.
B.       Karya-Karya Tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
1.      Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim[3]
Pengarangnya adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Bakr bin Farih al-Anshori al-Hazrajy al-Andalusy al-Qurtubi. Tafsir al-Qurtubi tidak mencantumkan kisah-kisah dan sejarah-sejarah, tetapi hanya memusatkan perhatian pada tafsir ayat-ayat hukum. Beliau juga mementingkan keterangan mengenai qiraat-qiraat., menerangkan masalah-masalah nahwu, walaupun tidak panjang lebar dan menerangkan tentang nasikh dan mansukh.
Ciri-ciri lain dari tafsir ini ialah bahwa pengarangnya sedikit sekali menyebutkan cerita-cerita Israilliyat dan hadis-hadis maudhu. Jikapun mengemukakan dengan cerita Israilliyat atau hadis maudhu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam maka beliau selalu menyertainya dengan penolakan dan pembatalan.
Berkenaan dengan hadis-hadis, beliau juga menyebutkannya tapi dengan menyertakan identitas orang yang mengeluarkan hadis itu dan biasanya juga menyebutkan rawinya. Sekalipun demikian, kita jumpai dalam kitab tafsir ini beberapa riwayat Israilliyat dan hadis maudhu.
Misalnya ketika beliau menafsirkan surah Yusuf ayat 24 dengan berkata: “Dan sunguh wanita itu telah menginginkannya dengan bernafsu dan Yusufpun akan sudah menginginkannya pula seandainya ia tidak melihat pertanda yang terang dari Tuhannya”. Berkenaan dengan tanda yang terang dari Tuhan (burhan) itu, beliau mengemukakan perkara-perkara Israilliyat yang tidak shahih.
2.      Tafsir al-Qur’anul Adzim [4]
Pengarangnya adalah Imamul Jalil al-Hafidz Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’ul Bashary ad-Dimasyqy. Tafsir Imam Ibn Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bil ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat dibawah tafsir Ibn Jarir at-Thabari. Didalamnya beliau menafsirkan Kalamullah Ta’ala berdasarkan hadis-hadis dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in, degan komentar tentang riwayat yang cacat dan adil.
Beliau juga termasuk perintis dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Termasuk diantar riwayat-riwayat yang munkar dan berbau Israilliyat, kadang-kadang secara umum, adakalanya secara meyakinkan dengan uraian yang perinci. Sikap yang demikian mungkin dipengaruhi oleh gurunya, yaitu Imam Ibn Taimiyah. Para mufassir setelah beliau, semuanya tunduk kepada tafsir beliau yang tak syak lagi penuh dengan kemuliaan dan kelebihan itu.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan awal surah Qaf, beliau mengomentari huruf Qaf tersebut dengan mengatakan: “diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka berkata: Qaf itu adalah nama gunun yang mengelilingi bumi, yang dinamai gunung Qaf”. Seakan-akan beliau mengatakan: “Allah lebih mengetahui akan khurafat-khurafat yang diada-adakan oleh Bani Israil”.
3.      Madarikut Tanzil wa Haqaikut Ta’wil
Pengarangnya adalah Abul Barakah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammadan-Nasafi, dari negeri “di seberang sungai”. Imam an-Nasafi meringkas kitaf tafsirnya dari kitab tafsir al-Kasysyaf karangan Imam Zamakhsyari dan kitab tafsir yang disusun oleh Imam al-Baidhawy. Hanya saja beliau tidak menerima pendapat-pendapat Imam Zamakhsyari yang bercorak mu’tazilah dan mengakui madzhab ahlus sunnah.
 Kitab tafsir beliau berukuran sedang dan banyak beredar di kalangan ilmu pengetahuan. Ciri-ciri khas tafsir beliau antara lain: Dalam kitab tafsirnya banyak berlarut-larut dalam membahas ilmu nahwu, dalam masalah qiraat beliau hanya membicarakan Qiraat Tujuh yang mutawatir dan menisbatkan setiap qiraah kepada qari’nya, dalam menafsirkan ayat hukum beliau mengemukakan pendapat madzhab dan menonjolkan pendapat madzhabnya, dan sedikit mengutip riwayat israiliyat dengan disertai penolakan.[5]
C.       Karakteristik Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah [6]
Dalam menafsirkan kitabullah Ahlus Sunnah menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum salaf. Mereka berpegang pada dalil yang manqul/ dikutip dari Rosulullah, juga dari sahabat-sahabat dan para tabiin, serta mereka juga menggunakan akal. Akan tetapi jika mereka menjumpai nash yang shohih dan jelas datangnya dari Rasulullah yang menafsirkan sebuah ayat, maka mereka menyisihkan semua bentuk pemikiran manusia. Dalam mengkaji dan merenungi ayat ayat al-Qur’an mereka tidak keluar dari aturan aturan bahasa Arab, dimana alQur’an diturunkan dengan mempergunakan bahasa tersebut. Apabila mereka menjumpai sesuatu yang nampaknya merupakan kontradiksi antara akal dan naql, mereka berupaya untuk menyesuaikan antara keduanya tanpa keluar dari kaidah kaidah syar’i dan lughawi.
   Kaum Ahlus Sunnah, telah bersepakat pada prinsip prinsip penafsiran sebagai berikut:
a.                        Dalam prinsip-prinsip aqidah selalu berpegang pada arti-arti lahiriah dari ayat-ayat Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak boleh.
b.                        Mengenai lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat Allah, maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh Allah.
c.                        Apabila ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya dapat diperoleh satu pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan pendapat secara ijma’
D.      Contoh Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[7]
(Tafsir Al-Qurtubi Oleh Imam Abu 'Abdullah Al-Qurtubi).
Dalam kitab tafsir al-Qurtubi surah al-Baqarah ayat 29 adalah sebagai berikut :
وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
Barkata al-Qurtubi dalam tafsirnya :
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir.
وهذه الآية من المشكلات . والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه . قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها . وذهب إليه كثير من الأئمة .
وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى . قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه  وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة .  وهذا قول المشبّهة .  وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها .
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit. Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga pendapat:
a.       Sebagian mereka berkata kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam.
b.      Pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa). Imam Malik menjawab: Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia.
c.       Dan sebagian mereka berkata: kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat). Pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata: kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ahlus sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan kesepakatan/persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode dan cara-cara keduanya. Ada banyak karya-karya tafsir al-Qur’an yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, beberapa diantaranya adalah tafsir karya Ibn Katsir, al-Qurtubi, an-Nasafi, dll.
Karakteristik dalam penafsiran beraliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah selalu berpegang pada arti-arti lahiria dari ayat-ayat Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak boleh, lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat Allah, maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh Allah, dan apabila ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya dapat diperoleh satu pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan pendapat secara ijma’.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.







DAFTAR PUSTAKA

Basuni Fawdah, Mahmud. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka). 1987.

Al-Qurtubi, Abu 'Abdullah. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim. (Beirut: Dar al-Fikr).





[1] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 93
[2] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 94
[3] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 91
[4] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 58
[5] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 83
[6] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 96
[7] Abu 'Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar