Kamis, 12 November 2015

Positivisme Logis



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejak periode modern bergulir, perhatian ahli tertuju pada usaha untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh  manusia. Potensi ini tidak lain adalah akal yang merupakan sumber utama agi pemajuan pembahasan ilmiah. Ada kekecewaan yang menyeruak di antara mereka ketika menyadari dominasi teologi yang begitu tinggi pada periode sebelumnya sehingga pembahasan iliah yng mengedepankan objektivitas dan rasionalitas hampir-hampir tidak terlihat.
 Dunia ilmu menjadi suram. Para ahlipun, khususnya di bidang filsafat ilmu, berusaha keras memikirkan dan memecahkan problem di balik kemunduran dan kelambanan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu usaha tersebut adalah munculnya beberapa asumsi dan tawaran dari positivisme logis.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah awal munculnya positivisme logis?
2.      Apa itu positivisme logis?
C.       Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sejarah munculnya positivisme logis.
2.      Mengetahui dan memahami positivisme logis.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Munculnya Positivisme Logis
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut diatur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[1]
Positivisme adalah aliran filsafat yang terang-terangan berpendapat pentingnya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang bisa dicerna secara empiris. Aliran ini dicetuskan oleh Henry Saint Simon (1760-1825) dan muridnya August Comte (1798-1857). Namun August Comte-lah yang mempopulerkannnya hingga mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke-20.[2] Beberapa tokoh positivisme lainnya adalah John S.Mill (1806-1873) dan Herbet Spencer (1820-1903).[3]
Dalam perkembangannya, positivisme logis lahir dari berbagai jenis aliran positivisme yang semuanya memiliki alur keinginan yang sama, yaitu keinginan untuk meraih kemjauan di dunia.[4] Benih-benih (aliran-aliran positivisme) yang melahirkan terbentuknya positivisme logis:
1.      Positivisme Sosial
Positivisme sosial merupakan hasil pemikiran dari salah satu tokoh positivisme, yaitu August Comte. Beliau yang meyakini bahwa kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Positivisme ini juga dikembangkan di Inggris oleh James Mill, J.Bentham, dll. Demikian juga di Italia oleh Carlo Cattaneo dan Giussepe Ferrari. Lalu di Jerman oleh Friederich Jodl dan Ernst Laas.[5]
August Comte membagi sejarah peradaban manusia atau perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga tahapan:[6]
a)    Teologis
Manusia memahami segala sesuatu di alam ini sebagai campur tangan Tuhan secara langsung dan mutlak. Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
b)   Metafisis
Keyakinan tentang campur langsung Tuhan tidak lagi begitu kuat, tetapi beralih menjadi keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam ini sudah diatur berdasarkan ketentuan metafisis. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
c)    Positivisme-ilmiah
Manusia mengusahakan kemajuannya lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan positif yang menggunakan pengamatan dan pengukuran empiris. Pada tahap ini manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisi tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.

Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya). Pemikiran tersebut mengangungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”. Istilah yang diciptakannya yang terkenal adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[7]
Ciri-ciri yang dikembangkan dalam positivisme menurut August Comte adalah:[8]
a) bebas nilai
b) fenomenalisme
c) reduksionisme : semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi
d) naturalisme : kealamiahan
e) mekanisme : semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanis-determinis seperti mesin.
2.      Positivisme Evolusioner
Positivisme Sosial dan Evolusioner sama-sama meyakini realitas kemajuan. Perbedaan di antara keduanya adalah pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut; positivisme sosial mengusung ilmu murni sebagai basis untuk memperoleh kemajuan, sedangkan positivisme evolusioner mendasarkan kemajuan pada hasil interaksi antara manusia dengan alam semesta. Positivisme Evolusioner terlihat dalam gagasan Charles Darwin, Herbert Spencer, dll.
3.      Positivisme Kritis (Kantianisme Empiris)
Positivisme Kritis dikembangkan oleh Ernst Mach dan Richard Avenarius.[9]

Kemunculan positivisme logis berhubungan dengan konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20. Perang dunia I telah menimbulkan berbagai masalah mulai dari masalah sosial, ekonomi, hingga politik. Akumulasi masalah ini lalu memotivasi para intelektual untuk menata masyarakat dari puing-puing kehancuran.
Di antara gerakan yang mula-mula menawarkan diri untuk melakukan restorasi itu adalah para teolog (positivism klasik). Menurut mereka, masyarakat harus ditata berdasarkan asas-asas teologi. Namun, tawaran tersebut ditolak keras oleh kaum positivisme logis dengan menyatakan bahwa masalah-masalah masyarakat merupakan masalah yang hanya bisa dipecahkan melalui ilmu-ilmu positif.
Persamaan positivisme klasik dengan positivisme logis adalah sama-sama menjunjung ilmu pengetahuan objektif. Perbedaanya, positivisme klasik lebih menekankan perhatian pada pengaturan masyarakat secara ilmiah, sedangkan positivisme logis memusatkan diri pada logika dan bahasa ilmiah. Filsafat harus mengabdi pada ilmu pengetahuan yang tugasnya adalah melakukan pengkajian pada aspek metodologi dan konsep keilmuan.[10]
B.     Positivisme Logis
Positivisme logis kerap pula dinamakan neo-positivisme, empirisme logis, dan empirisme rasional. Disebut demikian karena dianggap telah memperbarui ide-ide dasar positivisme awal terutama yang digagas oleh August Comte. Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi  pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi  antara istilah-istilah. Muncul pada awal abad ke-20 atau tepatnya pada 1920-an di Wina, aliran ini diusung oleh kelompok ilmiah Der Wiener Kreis (Lingkaran Wina) di Wina, Austria.
Para anggotanya terdiri dari pakar-pakar dalam berbagai latar belakang keilmuan. Di antara mereka adalah : M.Schlick (Guru Besar filsafat Universitas Mina), Rudolph Carnap (ahli logika), Ph Frank (ahli eksakta), V.Kraft (ahli sejarah), H.Feigl dan F. Waismann (ahli filsafat). Pada 1929 Carnap, H.Hahn, dan Otto Neurath menerbitkan manifesto berjudul Wissenschaftie Weltauffassung Der Wiener Kreis (Pandangan Dunia Ilmiah Kelompok Wina). Manifesto ini memicu perkembangan positivisme logis di Inggris yang dipelopori oleh A.J.Ayer dan John Wisdorn.[11]
Penganut neo-positivisme sepaham untuk menyelesaikan semua persoalan dengan dua cara:[12]
a.       berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi;
b.      dengan menganalisa bahasa dan berusaha menunjukkan betapa kita terpedaya oleh struktur bahasa.
Mereka yang menganut paham positivisme logis menolak pernyataan-pernyataan yang bersifat metafisik serta menganggapnya tidak mengandung makna. Salah seorang penganut paham tersebut adalah A.J Ayer dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic. Salah satu pendapatnya yang dikutip dari buku tersebut adalah “Sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan uga tidak ada gunanya”.[13]
 Positivisme logis berusaha membedakan antara pernyataan bermakna dengan pernyataan tidak bermakana berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Pernyataan yang dapat diverifikasi adalah pernyataan yang dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya melalui pengalaman dan pengamatan inderawi.
Positivisme logis menganut prinsip isomorfi, prinsip yang mengakui adanya hubungan mutlak bahasa dan fakta (Bertand Russell dan dikembangkan Wittgenstein). Menurut mereka, bahasa yang dipakai sehari-hari tidak cukup jelas, karena itu perlu diciptakan bahasa yang logis dengan tingkat kecermatan matematis. Sebuah pernyataan dikatakan bermakna apabila:
a.       Dapat dibenarkan secara definisi atau tautologies-analitik
Contoh : rektor adalah pimpinan universitas
b.      Dapat dibenarkan secara empiris
Contoh : Andi adalah idiot, -- tes IQ
Pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti metafisik tidak layak dimasukkan dalam bagian ilmu pengetahuan yang dapat dikaji dan dikembangkan. Karena itu, metafisik pada dasarnya tidak akan mampu menciptakan kemajuan di dunia ini. Keteguhan positivisme untuk mengukuhkan pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai satu-satunya kriteria kebenaran membawa aliran ini tidak memberikan tempat yang sejajar antara ilmu sosial dengan ilmu alam. [14]
Bagi mereka, ilmu alam dan ilmu sosial harus dipandang sebagai satu-kesatuan, tidak ada perbedaan, namun dengan tolak ukur ilmu alam. Prinsip kesatuan ilmu ini pada gilirannya berdampak pada perlunya menyatukan ilmu pengetahuan yang berbasis pada tolak ukur ilmu alam dalam satu bahasa ilmiah. Dalam mewujudkan pandangan positivisme, filsafat bertugas sebagai analisia atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.  [15]












                    
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Positivisme adalah aliran filsafat yang terang-terangan berpendapat pentingnya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang bisa dicerna secara empiris. Dalam perkembangannya, positivisme logis lahir dari berbagai jenis aliran positivisme, yaitu positivisme sosial, evolusioner, dan kritis. Positivisme logis kerap pula dinamakan neo-positivisme. Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi  pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi  antara istilah-istilah. Penganut neo-positivisme sepaham untuk menyelesaikan semua persoalan dengan dua cara, yaitu berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi dan dengan menaganlisa bahasa dan berusaha menunjukkan betapa kita terpedaya oleh struktur bahasa.
B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.



[1] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 137
[2] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 56
[3] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 138
[4] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[5] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 57
[6] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 138
[7] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 139
[8] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 57
[9] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[10] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 59
[11] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[12] Luois O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 117
[13] Luois O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 225
[14] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 60
[15] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar