BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak
periode modern bergulir, perhatian ahli tertuju pada usaha untuk mengoptimalkan
potensi yang dimiliki oleh manusia.
Potensi ini tidak lain adalah akal yang merupakan sumber utama agi pemajuan
pembahasan ilmiah. Ada kekecewaan yang menyeruak di antara mereka ketika
menyadari dominasi teologi yang begitu tinggi pada periode sebelumnya sehingga
pembahasan iliah yng mengedepankan objektivitas dan rasionalitas hampir-hampir
tidak terlihat.
Dunia ilmu menjadi suram. Para ahlipun,
khususnya di bidang filsafat ilmu, berusaha keras memikirkan dan memecahkan
problem di balik kemunduran dan kelambanan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah
satu usaha tersebut adalah munculnya beberapa asumsi dan tawaran dari
positivisme logis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah awal munculnya positivisme logis?
2.
Apa
itu positivisme logis?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
sejarah munculnya positivisme logis.
2.
Mengetahui
dan memahami positivisme logis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Munculnya Positivisme Logis
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak
pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga
metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan
segala yang tampak seperti adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.
Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut diatur sehingga dapat
memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[1]
Positivisme adalah aliran filsafat yang terang-terangan berpendapat
pentingnya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang bisa dicerna
secara empiris. Aliran ini dicetuskan oleh Henry Saint Simon (1760-1825) dan
muridnya August Comte (1798-1857). Namun August Comte-lah yang
mempopulerkannnya hingga mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke-20.[2] Beberapa
tokoh positivisme lainnya adalah John S.Mill (1806-1873) dan Herbet Spencer
(1820-1903).[3]
Dalam perkembangannya, positivisme logis lahir dari berbagai jenis
aliran positivisme yang semuanya memiliki alur keinginan yang sama, yaitu
keinginan untuk meraih kemjauan di dunia.[4] Benih-benih
(aliran-aliran positivisme) yang melahirkan terbentuknya positivisme logis:
1.
Positivisme
Sosial
Positivisme
sosial merupakan hasil pemikiran dari salah satu tokoh positivisme, yaitu August
Comte. Beliau yang meyakini bahwa kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui
penerapan ilmu-ilmu positif. Positivisme ini juga dikembangkan di Inggris oleh
James Mill, J.Bentham, dll. Demikian juga di Italia oleh Carlo Cattaneo dan
Giussepe Ferrari. Lalu di Jerman oleh Friederich Jodl dan Ernst Laas.[5]
August
Comte membagi sejarah peradaban manusia atau perkembangan pemikiran manusia menjadi
tiga tahapan:[6]
a)
Teologis
Manusia
memahami segala sesuatu di alam ini sebagai campur tangan Tuhan secara langsung
dan mutlak. Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang
batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada kemungkinan adanya
sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik kejadian tersirat adanya maksud
tertentu.
b)
Metafisis
Keyakinan
tentang campur langsung Tuhan tidak lagi begitu kuat, tetapi beralih menjadi
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam ini sudah diatur
berdasarkan ketentuan metafisis. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan
pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya
bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
c)
Positivisme-ilmiah
Manusia
mengusahakan kemajuannya lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan positif yang
menggunakan pengamatan dan pengukuran empiris. Pada tahap ini manusia telah
mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisi tidak
ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari
fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.
Tahap-tahap
tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan tanpa teologi atas
dasar filsafat positifnya). Pemikiran tersebut mengangungkan akal dan
mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai
basis, kemajuan sebagai tujuan”. Istilah yang diciptakannya yang terkenal
adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah
usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[7]
Ciri-ciri yang dikembangkan dalam positivisme menurut August Comte adalah:[8]
a) bebas nilai
b) fenomenalisme
c) reduksionisme : semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
dipersepsi
d) naturalisme : kealamiahan
e) mekanisme : semua gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanis-determinis seperti mesin.
2.
Positivisme
Evolusioner
Positivisme
Sosial dan Evolusioner sama-sama meyakini realitas kemajuan. Perbedaan di
antara keduanya adalah pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut;
positivisme sosial mengusung ilmu murni sebagai basis untuk memperoleh
kemajuan, sedangkan positivisme evolusioner mendasarkan kemajuan pada hasil
interaksi antara manusia dengan alam semesta. Positivisme Evolusioner terlihat
dalam gagasan Charles Darwin, Herbert Spencer, dll.
3.
Positivisme
Kritis (Kantianisme Empiris)
Positivisme
Kritis dikembangkan oleh Ernst Mach dan Richard Avenarius.[9]
Kemunculan
positivisme logis berhubungan dengan konteks perkembangan masyarakat di Eropa
pada awal abad ke-20. Perang dunia I telah menimbulkan berbagai masalah mulai
dari masalah sosial, ekonomi, hingga politik. Akumulasi masalah ini lalu
memotivasi para intelektual untuk menata masyarakat dari puing-puing
kehancuran.
Di
antara gerakan yang mula-mula menawarkan diri untuk melakukan restorasi itu
adalah para teolog (positivism klasik). Menurut mereka, masyarakat harus ditata
berdasarkan asas-asas teologi. Namun, tawaran tersebut ditolak keras oleh kaum
positivisme logis dengan menyatakan bahwa masalah-masalah masyarakat merupakan
masalah yang hanya bisa dipecahkan melalui ilmu-ilmu positif.
Persamaan
positivisme klasik dengan positivisme logis adalah sama-sama menjunjung ilmu
pengetahuan objektif. Perbedaanya, positivisme klasik lebih menekankan
perhatian pada pengaturan masyarakat secara ilmiah, sedangkan positivisme logis
memusatkan diri pada logika dan bahasa ilmiah. Filsafat harus mengabdi pada
ilmu pengetahuan yang tugasnya adalah melakukan pengkajian pada aspek
metodologi dan konsep keilmuan.[10]
B.
Positivisme
Logis
Positivisme
logis kerap pula dinamakan neo-positivisme, empirisme logis, dan empirisme rasional.
Disebut demikian karena dianggap telah memperbarui ide-ide dasar positivisme
awal terutama yang digagas oleh August Comte. Positivisme logis merupakan
aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan
dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Muncul pada
awal abad ke-20 atau tepatnya pada 1920-an di Wina, aliran ini diusung oleh
kelompok ilmiah Der Wiener Kreis (Lingkaran Wina) di Wina, Austria.
Para
anggotanya terdiri dari pakar-pakar dalam berbagai latar belakang keilmuan. Di
antara mereka adalah : M.Schlick (Guru Besar filsafat Universitas Mina),
Rudolph Carnap (ahli logika), Ph Frank (ahli eksakta), V.Kraft (ahli sejarah),
H.Feigl dan F. Waismann (ahli filsafat). Pada 1929 Carnap, H.Hahn, dan Otto
Neurath menerbitkan manifesto berjudul Wissenschaftie Weltauffassung Der Wiener
Kreis (Pandangan Dunia Ilmiah Kelompok Wina). Manifesto ini memicu perkembangan
positivisme logis di Inggris yang dipelopori oleh A.J.Ayer dan John Wisdorn.[11]
Penganut neo-positivisme sepaham untuk menyelesaikan semua
persoalan dengan dua cara:[12]
a.
berusaha
mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi;
b.
dengan
menganalisa bahasa dan berusaha menunjukkan betapa kita terpedaya oleh struktur
bahasa.
Mereka yang menganut paham positivisme logis menolak
pernyataan-pernyataan yang bersifat metafisik serta menganggapnya tidak
mengandung makna. Salah seorang penganut paham tersebut adalah A.J Ayer dalam
bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic. Salah satu pendapatnya yang
dikutip dari buku tersebut adalah “Sebagian besar perbincangan yang dilakukan
oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan uga tidak ada gunanya”.[13]
Positivisme logis berusaha
membedakan antara pernyataan bermakna dengan pernyataan tidak bermakana
berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Pernyataan yang dapat diverifikasi
adalah pernyataan yang dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya melalui
pengalaman dan pengamatan inderawi.
Positivisme
logis menganut prinsip isomorfi, prinsip yang mengakui adanya hubungan mutlak
bahasa dan fakta (Bertand Russell dan dikembangkan Wittgenstein). Menurut
mereka, bahasa yang dipakai sehari-hari tidak cukup jelas, karena itu perlu
diciptakan bahasa yang logis dengan tingkat kecermatan matematis. Sebuah
pernyataan dikatakan bermakna apabila:
a.
Dapat
dibenarkan secara definisi atau tautologies-analitik
Contoh
: rektor adalah pimpinan universitas
b.
Dapat
dibenarkan secara empiris
Contoh : Andi
adalah idiot, -- tes IQ
Pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti
metafisik tidak layak dimasukkan dalam bagian ilmu pengetahuan yang dapat
dikaji dan dikembangkan. Karena itu, metafisik pada dasarnya tidak akan mampu menciptakan
kemajuan di dunia ini. Keteguhan positivisme untuk mengukuhkan pengalaman dan
pengamatan inderawi sebagai satu-satunya kriteria kebenaran membawa aliran ini
tidak memberikan tempat yang sejajar antara ilmu sosial dengan ilmu alam. [14]
Bagi mereka, ilmu alam dan ilmu sosial harus dipandang sebagai
satu-kesatuan, tidak ada perbedaan, namun dengan tolak ukur ilmu alam. Prinsip
kesatuan ilmu ini pada gilirannya berdampak pada perlunya menyatukan ilmu
pengetahuan yang berbasis pada tolak ukur ilmu alam dalam satu bahasa ilmiah.
Dalam mewujudkan pandangan positivisme, filsafat bertugas sebagai analisia atas
kata-kata atau pernyataan-pernyataan. [15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Positivisme adalah aliran filsafat yang terang-terangan berpendapat
pentingnya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang bisa dicerna
secara empiris. Dalam perkembangannya, positivisme logis lahir dari berbagai
jenis aliran positivisme, yaitu positivisme sosial, evolusioner, dan kritis.
Positivisme logis kerap pula dinamakan neo-positivisme. Positivisme logis
merupakan aliran pemikiran yang
membatasi pikiran pada segala hal yang
dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Penganut
neo-positivisme sepaham untuk menyelesaikan semua persoalan dengan dua cara,
yaitu berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman
inderawi dan dengan menaganlisa bahasa dan berusaha menunjukkan betapa kita
terpedaya oleh struktur bahasa.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta
kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan
konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.
[1] Muzairi, Filsafat
Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 137
[2] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 56
[3] Muzairi, Filsafat
Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 138
[4] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[5] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 57
[6] Muzairi, Filsafat
Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 138
[7] Muzairi, Filsafat
Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 139
[8] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 57
[9] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[10] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 59
[11] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 58
[12] Luois
O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004),
hlm. 117
[13] Luois
O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004),
hlm. 225
[14] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 60
[15] Sibawaihi, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar