Kamis, 12 November 2015

Isim Nakirah dan Isim Ma'rifah dalam al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kaum muslimin pasti telah mengetahui bahwa bahasa yang ada didalam al-Quran menggunakan bahasa Arab. Beberapa orang islam berusaha untuk mempelajari lebih dalam ilmu agama islam itu sendiri, bahkan hampir setiap orang islam di dunia ini sejak kecil mempelajari agama islam dari dasar, dan tambah mereka dewasa dan mulai memahami apa itu islam mereka mulai menggali lebih dalam pada sumber asalnya, yaitu al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Maka dari itu, menurut kaidah hukum islam mengerti akan ilmu nahwu bagi yang ingin mempelajari al-Quran hukumnya fardhu 'ain.
Kaidah-kaidah bahasa Arab dibahas lebih rinci sehingga mendapatkan bantuan bagi pembaca agar lebih memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dan diharapkan lebih membantu dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi.
B.Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Isim Nakirah dan Ma’rifah?
b. Bagaimana Penggunaan Isim Nakirah dalam al-Qur’an?
c. Bagaimana Penggunaan Isim Ma’rifah dalam al-Qur’an?
d. Bagaimana Pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam Al-Qur’an?
C.Tujuan Penulisan
a. Dapat memahami dan mengetahui Isim Nakirah dan Ma’rifah
b. Dapat memahami penggunaan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an
c. Dapat mengetahui pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Isim Nakirah dan Isim Ma’rifat
Isim nakirah adalah isim yang jenisnya umum, menunjukkan sesuatu yang tidak tertentu atau belum tertentu atau setiap isim yang pantas kemasukan alif dan lam. Lebih ringkasnya isim nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.[1]              
Sedangkan isim ma’rifat adalah isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi isim ma’rifat adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahui) atau untuk ta’rif.[2].
Kata (محمد) misalnya, adalah Isim Ma’rifah karena ia menunjuk kepada seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل)  adalah Isim nakirah karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis laki-laki.
                                                                                                            
B.     Penggunaan Isim Nakirah dalam Al-Qur’an
Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:[3]
1.      Untuk menunjukkan satu (إرادة الوحدة), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Qashshash ayat 20:
وجاء رَجُلٌ من أقصا المدينة يسعى
Keterangan: Kata رَجُلٌ maksudnya adalah seorang laki-laki.
2.      Untuk menunjukkan jenis (إرادة النوع), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 96:
ولتجدنهم أحرص الناس على حَيَوٰةٍ
Keterangan: Kata حَيَوٰةٍ maksudnya adalah suatu jenis kehidupan, yaitu ingin mendapatkan tambahan kehidupan di masa depan (طلب الزيادة في المستقبل), karena ketamakan (الحرص) itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3.      Untuk menunjukkan ‘satu’ dan ‘jenis’ sekaligus (إرادة الوحدة والنوع معا), seperti firman Allah ta’ala dalam surah an-Nuur ayat 45:
والله خلق كل دَابَّةٍ من مَاء
Keterangan: Maksudnya suatu jenis hewan dari segala jenis hewan itu berasal dari suatu jenis air, dan setiap satu ekor hewan itu berasal dari satu nuthfah
 (كل نوع من أنواع الدواب من أنواع الماء، وكل فرد من أفراد الدواب من فرد من أفراد النطف).
4.      Untuk membesarkan atau mengagungkan keadaan (التعظيم), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 279:
فأذنوا بحَرْبٍ من الله
Keterangan: Maksud حَرْبٍ di ayat tersebut adalah peperangan yang besar atau dahsyat (حرب عظيمة).
5.      Untuk menunjukkan arti banyak (التكثير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah asy-Syu’araa ayat 41:
أئن لنا لأَجْرًا
Keterangan: Maksud أَجْرًا pada ayat di atas adalah pahala yang banyak (أجرا وافرا).
6.      Untuk membesarkan (mengagungkan) dan menunjukkan banyak (التعظيم والتكثير معا), seperti firman Allah ta’ala dalam surah Faathir ayat 4:
وإن يكذبوك فقد كذبت رُسُلٌ من قبلك
Keterangan: Maksud رُسُلٌ pada ayat di atas adalah rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya (رسل عظام ذوو عدد كثير).
7.      Untuk meremehkan atau menganggap hina (التحقير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa ayat 18:
من أي شَيْءٍ خلقه
Keterangan: Kata شَيْءٍ menunjuk pada sesuatu yang rendah, hina dan teramat remeh (من شيء هين حقير مهي).
8.      Untuk menyatakan sedikit (التقليل), seperti firman Allah ta’ala dalam surah at-Taubah ayat 72:
وعد الله المؤمنين والمؤمنت جنت تجري من تحتها الأنهر خلدين فيها ومسكن طيبة في جنت عدن ورِضْوَٰنٌ من الله أكبر
Keterangan: Kata رِضْوَٰنٌ artinya keridhaan yang sedikit (رضوان قليل), namun keridhaan yang sedikit dari Allah tersebut lebih besar daripada surga, karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan
(أي رضوان قليل منه أكبر من الجنات لأنه رأس كل سعادة).

C.     Penggunaan Isim Ma’rifat dalam Al-Qur’an
   Penggunaan isim ma’rifah mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
a.       Ma’rifah dengan  alif-lam (ال) berfugsi:
1.        Untuk menunjukkan kepada kata yang sudah disebut sebelumnya (أل للعهد الذكرى), seperti dalam surah (an-Muzammil : 15-16) : 
إنا أرسلنا إليكم رسولا شهيدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون رسولا (15)
 فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16)

Kata (الرسول) yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (رسولا) yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari penggunaan (ال) pada kata (الرسول) yang ketiga tersebut.
2.        Untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara (ال للعهد الذهنى ), seperti dalam surah (at-Taubah : 40) :
...إذ هما في الغار....                                                                                              
Kata (الغار) dalam ayat itu menunjuk kepada gua Hira, tempat Rasulullah bersama Abu Bakar ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke Madinah. Itu sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan gua Hira. 
3.        Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah (ال للعهد الحضرى) , dsb. Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم أكملت لكم دينكم ....
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah. Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang diturunkan pada hari Arafah ketika Nabi bersama para sahabatnya menunaikan ibadah haji.
4.      Menunjukkan kepada konotasi tertentu jika digunakan pada ism jenis. Artinya, penggunaan ال pada suatu ism jenis memberikan makna khusus antara lain:
5.      Untuk menunjukkan suatu kelebihan yang tidak dipunyai oleh yang lain (mubalaghah) seperti ungkapan زيد الرجل , artinya Zaid adalah seorang yang sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi semua ال yang dipakai dalam sifat-sifat Tuhan masuk dalam kategori ini.
6.      Untuk menegaskan hakikat keberadaan dari ism jenis tersebut seperti ال pada surah (Al-An’am :89):
...أولئك الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....
Adanya tambahan ال pada kata-kata tersebut menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga unsur tersebut, bukan mengandung pengertian mubalaghah seperti yang pertama.
7.      Menunjukkan untuk menghabiskan segala karakteristik jenis, seperti:
 ذَلِكَ الْكِتَابُ
Maksudnya, kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
8.      Untuk menyatakan bahwa makna dari kata yang memakai ال tersebut mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية). Di antara ciri ال ini adalah boleh diikuti oleh istitsna’ (pengecualian) setelahnya seperti[3]:
...إن الأنسان لفي خسر(2) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)
Dan boleh pula disifati dengan jamak seperti ال yang terdapat pada kata الطفل dalam surah (an-Nuur: 31) :
...أوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata الذين yang berfungsi sebagai sifat bagi الطفل adalah jamak dari الذي. Namun, di sini hal itu boleh terjadi karena الطفل memakai ال istighraqiyyah tersebut.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa masuknya ال pada suatu kata memberikan pengertian tertentu yang tidak dijumpai pada kata yang sama bila tidak memakai ال tersebut.
b.         Ma’rifah  dengan ‘alamiyah (nama) berfungsi untuk:
a)    Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (al-Fath: 29)
b)   Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (al-Lahab:1)
c.          Ma’rifah dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
a)    Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ (Lukman: 11)
b)   Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh”, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (al-Baqarah: 5)
c)    Menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ (al-‘Ankabut: 64)
d)   Memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (al-Baqarah: 2)
d.         Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi:
a)    Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah:
 وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا (al-Ahqaf [46]:17) 
dan firman-Nya:  وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf: 23)
b)   Untuk menunjukkan arti umum, seperti:
 وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (al-‘Ankabut: 69)
c)    Untuk meringkas kalimat, seperti: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آَذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا 
(al-Ahzab: 69). 
Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentunya pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
D.      Pengulangan Kata Benda (Isim)[4]
Apabila sebuah  isim disebutkan dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan:
  1. Kedua-duanya ma’rifah
Pengulangan kata yang sama dalam  satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat, maka kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata  yang kedua.
  1. Kedua-duanya nakirah
Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk Nakirah, maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang pertama
Contoh kedua macam ini terkumpul dalam surah ( al-Insyirah: 5-6) :
فإن مع العسر يسرا (5) إن مع العسر يسرا (6)                                                                                        
Penjelasan:
Al ‘Usr (العسر) “kesulitan” adalah isim ma’rifat dan yusron (يسرًا) “kemudahan”  adalah isim nakiroh. Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang dalam surat Alam Nasyroh hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya sama dengan al ‘usr dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim ma’rifah (seperti kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Jika isim ma’rifah  diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata yang pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam jinsi ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat pertama sama dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.
Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat al-Insyirah tersebut ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro (kemudahan) kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti kata yang tidak diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Secara umum, jika isim nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua berbeda dengan kata yang pertama.”Ini berarti ada satu kesulitan dan ada dua kemudahan. Dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata: Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa “al”.[5]
  1. Yang pertama nakirah, sedangkan yang kedua ma’rifah[6]
Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah, maka hakikat yang kedua (ma’rifah) sama dengan hakikat yang pertama (nakirah).
Contoh: (al-Muzzammil:15-16)
فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا 
  1. Yang pertama ma’rifah, sedangkan yang kedua nakirah
Jika yang pertama ma’rifah, sedang yang kedua nakirah, maka hakikat ma’rifah bergantung pada nakirah.[7]
Contoh: (az-Zumar: 27-28):  
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا

Dalam kaidah ushul fiqh, jika isim nakiroh terletak dalam konteks penafian/peniadaan, larangan, syarat, pertanyaan menunjukkan keumuman. misalnya pada ayat berikut:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا – Qs 4:36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” . ( An Nisa’ : 36 ).
Maka maksud dari ayat tersebut adalah larangan terhadap syirik baik itu syirik dalam niat, perkataan, perbuatan, baik itu dari syirik akbar, syirik ashghor/kecil, syirik yang tersembunyi (terletak di hati), syirik yang jelas. Maka terlarang bagi seorang hamba menjadikan tandingan apapun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sekutu pada salah satu dari semua hal-hal yang tersebut di atas.








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Isim nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Sedangkan isim ma’rifat adalah isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Penggunaan isim nakirah dan ma’rifah dalam al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi. Pengulangan kata benda atau isim yaitu apabila terdapat  isim yang disebutkan dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedangkan yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedangkan yang kedua nakirah.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.


[1] Muhammad ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, Al-Kawakib al-Durriyah syarah Mutammimah Jurumiyah, juz1, , Al-Haramain, Surabaya. Tt. Hal 45
[2] Musthafa al-Ghulayaini, Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyah, terj. Drs. H. Moh. Zuhri Dipl, TAFL, dkk. Asy-Syifa, (Semarang, 1992), hal.227
[3] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 266
[4] [4] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media, 272.
[5] [5] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media,273
[6] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media, 274.
[7] Ibid

2 komentar: