BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Kaum muslimin pasti
telah mengetahui bahwa bahasa yang ada didalam al-Quran menggunakan bahasa
Arab. Beberapa orang islam berusaha untuk mempelajari lebih dalam ilmu agama
islam itu sendiri, bahkan hampir setiap orang islam di dunia ini sejak kecil
mempelajari agama islam dari dasar, dan tambah mereka dewasa dan mulai memahami
apa itu islam mereka mulai menggali lebih dalam pada sumber asalnya, yaitu
al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Maka dari itu, menurut kaidah hukum islam
mengerti akan ilmu nahwu bagi yang ingin mempelajari al-Quran hukumnya fardhu
'ain.
Kaidah-kaidah bahasa
Arab dibahas lebih rinci sehingga mendapatkan bantuan bagi pembaca agar lebih
memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dan diharapkan lebih membantu dalam memahami
ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi.
B.Rumusan
Masalah
a. Apa Pengertian Isim Nakirah
dan Ma’rifah?
b. Bagaimana Penggunaan Isim
Nakirah dalam al-Qur’an?
c. Bagaimana Penggunaan Isim
Ma’rifah dalam al-Qur’an?
d. Bagaimana
Pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam Al-Qur’an?
C.Tujuan
Penulisan
a.
Dapat memahami dan mengetahui Isim Nakirah dan Ma’rifah
b.
Dapat memahami penggunaan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an
c.
Dapat mengetahui pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Isim Nakirah dan Isim Ma’rifat
Isim
nakirah adalah isim yang jenisnya umum, menunjukkan sesuatu yang tidak
tertentu atau belum tertentu atau setiap
isim yang pantas kemasukan alif dan lam. Lebih ringkasnya isim nakirah adalah
isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.[1]
Sedangkan
isim ma’rifat adalah isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan
sesuatu yang sudah jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi isim
ma’rifat adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf
(diketahui) atau untuk ta’rif.[2].
Kata (محمد) misalnya, adalah Isim Ma’rifah karena ia menunjuk kepada seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل) adalah Isim nakirah karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis
laki-laki.
B. Penggunaan
Isim Nakirah dalam Al-Qur’an
Penggunaan isim
nakirah mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:[3]
1. Untuk
menunjukkan satu (إرادة الوحدة), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Qashshash ayat 20:
وجاء
رَجُلٌ من أقصا المدينة يسعى
Keterangan:
Kata رَجُلٌ
maksudnya adalah seorang laki-laki.
2. Untuk
menunjukkan jenis (إرادة النوع), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 96:
ولتجدنهم
أحرص الناس على حَيَوٰةٍ
Keterangan: Kata حَيَوٰةٍ
maksudnya adalah suatu jenis kehidupan, yaitu ingin mendapatkan tambahan
kehidupan di masa depan (طلب الزيادة في المستقبل), karena ketamakan (الحرص) itu bukan
terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3. Untuk
menunjukkan ‘satu’ dan ‘jenis’ sekaligus (إرادة الوحدة
والنوع معا), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah an-Nuur ayat 45:
والله خلق كل دَابَّةٍ من مَاء
Keterangan:
Maksudnya suatu jenis hewan dari segala jenis hewan itu berasal dari suatu
jenis air, dan setiap satu ekor hewan itu berasal dari satu nuthfah
(كل نوع من أنواع
الدواب من أنواع الماء، وكل فرد من أفراد الدواب من فرد من أفراد النطف).
4. Untuk
membesarkan atau mengagungkan keadaan (التعظيم), seperti firman Allah ta’ala dalam surah
al-Baqarah ayat 279:
فأذنوا
بحَرْبٍ من الله
Keterangan: Maksud حَرْبٍ di
ayat tersebut adalah peperangan yang besar atau dahsyat (حرب عظيمة).
5. Untuk
menunjukkan arti banyak (التكثير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah asy-Syu’araa ayat 41:
أئن
لنا لأَجْرًا
Keterangan: Maksud أَجْرًا
pada ayat di atas adalah pahala yang banyak (أجرا
وافرا).
6. Untuk
membesarkan (mengagungkan) dan menunjukkan banyak (التعظيم
والتكثير معا), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah Faathir ayat 4:
وإن
يكذبوك فقد كذبت رُسُلٌ من قبلك
Keterangan: Maksud رُسُلٌ pada
ayat di atas adalah rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya (رسل عظام ذوو عدد كثير).
7. Untuk
meremehkan atau menganggap hina (التحقير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah
‘Abasa ayat 18:
من
أي شَيْءٍ خلقه
Keterangan: Kata شَيْءٍ
menunjuk pada sesuatu yang rendah, hina dan teramat remeh (من شيء هين حقير مهي).
8. Untuk
menyatakan sedikit (التقليل), seperti firman Allah ta’ala dalam surah at-Taubah ayat 72:
وعد
الله المؤمنين والمؤمنت جنت تجري من تحتها الأنهر خلدين فيها ومسكن طيبة في جنت
عدن ورِضْوَٰنٌ من الله أكبر
Keterangan: Kata رِضْوَٰنٌ
artinya keridhaan yang sedikit (رضوان قليل), namun keridhaan yang sedikit dari Allah
tersebut lebih besar daripada surga, karena keridhaan itu pangkal segala
kebahagiaan
(أي رضوان قليل منه أكبر من الجنات لأنه رأس كل سعادة).
C. Penggunaan
Isim Ma’rifat dalam Al-Qur’an
Penggunaan isim ma’rifah mempunyai beberapa
fungsi, di antaranya:
a. Ma’rifah dengan alif-lam (ال) berfugsi:
1.
Untuk menunjukkan kepada kata yang sudah disebut
sebelumnya (أل للعهد الذكرى), seperti
dalam surah (an-Muzammil : 15-16) :
إنا أرسلنا إليكم رسولا شهيدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون
رسولا (15)
فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16)
Kata (الرسول) yang ketiga itu sama konotasinya dengan
kata (رسولا)
yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi
Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari penggunaan (ال) pada
kata (الرسول)
yang ketiga tersebut.
2.
Untuk menunjukkan kepada
sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara
(ال للعهد الذهنى ), seperti dalam surah (at-Taubah : 40) :
...إذ هما في
الغار....
Kata (الغار) dalam ayat itu menunjuk kepada gua Hira,
tempat Rasulullah bersama Abu Bakar ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy
sewaktu hijrah ke Madinah. Itu sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan gua Hira.
3.
Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang
dimaksud terjadi, yaitu faedah (ال للعهد الحضرى) , dsb. Sebagai contoh seperti dalam ayat
ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم أكملت
لكم دينكم ....
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah.
Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang
diturunkan pada hari Arafah ketika Nabi bersama para sahabatnya menunaikan
ibadah haji.
4. Menunjukkan kepada konotasi tertentu
jika digunakan pada ism jenis. Artinya, penggunaan ال pada
suatu ism jenis memberikan makna khusus antara lain:
5.
Untuk menunjukkan suatu kelebihan yang tidak dipunyai oleh
yang lain (mubalaghah) seperti ungkapan زيد الرجل , artinya Zaid adalah seorang yang
sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi semua ال yang dipakai
dalam sifat-sifat Tuhan masuk dalam kategori ini.
6.
Untuk menegaskan hakikat keberadaan dari ism jenis
tersebut seperti ال pada surah (Al-An’am :89):
...أولئك الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....
Adanya tambahan ال pada kata-kata
tersebut menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga unsur
tersebut, bukan mengandung pengertian mubalaghah seperti yang pertama.
7.
Menunjukkan untuk menghabiskan segala karakteristik jenis,
seperti:
ذَلِكَ الْكِتَابُ
Maksudnya, kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
8.
Untuk menyatakan bahwa makna dari kata yang memakai ال tersebut
mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية). Di antara ciri ال ini adalah boleh diikuti
oleh istitsna’ (pengecualian) setelahnya seperti[3]:
...إن الأنسان
لفي خسر(2) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)
Dan boleh pula disifati dengan jamak
seperti ال yang terdapat pada kata الطفل dalam surah (an-Nuur: 31) :
...أوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata الذين yang berfungsi sebagai sifat
bagi الطفل adalah jamak dari الذي. Namun, di sini hal itu boleh terjadi karena الطفل memakai ال istighraqiyyah tersebut.
Dari
uraian di atas tampak dengan jelas bahwa masuknya ال pada suatu
kata memberikan pengertian tertentu yang tidak dijumpai pada kata yang sama
bila tidak memakai ال tersebut.
b.
Ma’rifah dengan ‘alamiyah (nama) berfungsi untuk:
a) Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (al-Fath: 29)
b) Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (al-Lahab:1)
c.
Ma’rifah dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
a)
Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ (Lukman: 11)
b)
Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh”, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (al-Baqarah: 5)
c)
Menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ (al-‘Ankabut: 64)
d)
Memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (al-Baqarah: 2)
d.
Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi:
a)
Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah:
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا (al-Ahqaf [46]:17)
dan firman-Nya: وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf: 23)
b)
Untuk menunjukkan arti umum, seperti:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (al-‘Ankabut: 69)
c)
Untuk meringkas kalimat, seperti: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آَذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
(al-Ahzab: 69).
Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan
tentunya pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
D.
Pengulangan Kata Benda (Isim)[4]
Apabila sebuah isim disebutkan dua kali, maka dalam hal ini
ada empat kemungkinan:
- Kedua-duanya ma’rifah
Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat, maka
kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata yang kedua.
- Kedua-duanya nakirah
Pengulangan kata yang sama dalam satu
redaksi, bila ia berbentuk Nakirah, maka kandungan makna kata yang kedua
berbeda dengan yang pertama
Contoh kedua macam ini terkumpul
dalam surah ( al-Insyirah: 5-6) :
فإن مع العسر يسرا (5) إن مع العسر
يسرا (6)
Penjelasan:
Al ‘Usr (العسر) “kesulitan” adalah isim ma’rifat dan yusron (يسرًا)
“kemudahan” adalah isim nakiroh. Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang
dalam surat Alam Nasyroh hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya
sama dengan al ‘usr dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim
ma’rifah (seperti kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa
Arab, “Jika isim ma’rifah diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata
yang pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam jinsi
ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat pertama sama
dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.
Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat al-Insyirah
tersebut ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro (kemudahan)
kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti kata yang tidak diawali
alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Secara umum, jika isim
nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua berbeda dengan kata yang pertama.”Ini
berarti ada satu kesulitan dan ada dua
kemudahan. Dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata: Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa “al”.[5]
- Yang pertama nakirah, sedangkan yang kedua ma’rifah[6]
Jika yang pertama nakirah dan yang
kedua ma’rifah, maka hakikat yang kedua (ma’rifah) sama dengan hakikat yang
pertama (nakirah).
Contoh: (al-Muzzammil:15-16)
فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا
- Yang pertama ma’rifah, sedangkan yang kedua nakirah
Jika yang pertama ma’rifah, sedang
yang kedua nakirah, maka hakikat ma’rifah bergantung pada nakirah.[7]
Contoh: (az-Zumar: 27-28):
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
Dalam kaidah ushul fiqh, jika isim nakiroh terletak dalam
konteks penafian/peniadaan, larangan, syarat, pertanyaan menunjukkan keumuman.
misalnya pada ayat berikut:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا – Qs 4:36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun” .
( An Nisa’ : 36 ).
Maka maksud dari ayat tersebut
adalah larangan terhadap syirik baik itu syirik dalam niat, perkataan,
perbuatan, baik itu dari syirik akbar, syirik ashghor/kecil, syirik yang
tersembunyi (terletak di hati), syirik yang jelas. Maka terlarang bagi seorang
hamba menjadikan tandingan apapun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
sekutu pada salah satu dari semua hal-hal yang tersebut di atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Isim nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu
yang belum jelas pengertiannya. Sedangkan isim ma’rifat adalah isim yang sudah
jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Penggunaan
isim nakirah dan ma’rifah dalam al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi. Pengulangan kata benda atau isim
yaitu apabila terdapat isim yang disebutkan
dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu kedua-duanya
ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedangkan yang kedua
ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedangkan yang kedua nakirah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis
menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah
ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar
lebih sempurna di kemudian hari.
[1] Muhammad
ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, Al-Kawakib al-Durriyah syarah Mutammimah
Jurumiyah, juz1, , Al-Haramain, Surabaya. Tt. Hal 45
[2] Musthafa
al-Ghulayaini, Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyah, terj. Drs. H. Moh. Zuhri
Dipl, TAFL, dkk. Asy-Syifa, (Semarang, 1992), hal.227
[3] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu
al-Qur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), hlm. 266
[6] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu
al-Qur’an: Media-Media, 274.
[7]
Ibid
terimakasih semoga bermanfaat
BalasHapusNggak membantu saya
BalasHapus