Jumat, 20 Februari 2015

Tasawuf dalam al-Hadits karya Inayatul Mas'adah



BAB 1
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Tasawuf merupakan kecenderungan mistisme universal yang ada sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan dan bertujuan membangun hubungan dengan al-mala’al-a’la yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan ilumunasi. Tasawuf bukan monopoli umat tertentu, kebudayaan tertentu, agama tertentu, maupun aliran filsafat tertentu.
Banyak pendapat yang muncul mengenai asal-usul ajaran tasawuf. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa ajaran tasawuf berasal dari agama-agama lain selain Islam. Ada pendapat yang menyatakan asal-usul tasawuf bersumber dari Budha atau Hindu, mereka lupa bahwa mengalirnya pengaruh India terhadap kebudayaan Islam terjadi pada masa yang akhir. Sementara ilmu kalam, filsafat dan sains, dalam Islam, cikal-bakalnya muncul di atas lahan yang dipengaruhi kebudayaan Yunani.
Secara pasti ajaran-ajaran tasawuf bersumber dari pedoman utama dalam agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadist. Di sini pemakalah mencoba memaparkan berbagai hal yang bersumber dari hadist Nabi Muhammad SAW. yang dijadikan sebagai dasar dan landasan tasawuf yang berkembang dalam agama Islam.

B.           Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalh ini antara lain:
1.      Bagaimana Landasan Tasawuf Islam dalam Hadist Nabi Muhammad SAW.?
2.      Bagaimana kehidupan Rasulullah SAW. yang dijadikan sebagai sumber tasawuf Islam?






BAB 2
PEMBAHASAN


A.          Landasan Tasawuf Islam dalam Hadist Nabi Muhammad SAW.
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak diutusnya Muhammad SAW. menjadi rasul untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira berulang kali, disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Makkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga Muhammad mencari jalan untuk membersihkan hati dan menyucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat di waktu itu.
Tahanuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad tersebut bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku  problema-problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha mendapat petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Maka dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT. yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untik umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Nabi Muhammad SAW. sudah menjelang usia empat puluh tahun ketika beliau pergi ke Gua Hira melakukan tahanuts. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya. Beliau telah membebaskan diri dari segala kebathilan. Tuhan telah mendidiknya. Dengan sepenuh kalbu beliau menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada kebenaran yang abadi. Beliau telah menghadapkan diri kepada Allah SWT. dengan sepenuh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakat yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Segala pola tingkah laku, amal amal perbuatan dan sifat-sifat Muhammad SAW. sebelum diangkat menjadi Rasul merupakan menifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.
Masyarakat Islam mengisi kehidupan rohani mereka dengan menurutkan himbauan dan ajakan agama yang digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pola pengamalan Rasulullah menjadi anutan para sahabat, tabi’in, dan tabi;it tabi’in dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Kehidupan dunia bagi mereka tidak menyebabkan lalai terhadap kehidupan akhirat dan begitu pula sebaliknya, karena kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا. وَاعْمَلْ لِأّخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا (ابن عساكر)
Artinya:
Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok pagi. (H.R. Ibnu ‘Asakir)
            Sumber pokok ajaran Islam berupa hadist Nabi SAW dengan jelas telah memuat landasan dari praktek tasawuf. Adapun hadist-hadist yang menunjukkann tentang pola kerohanian dalam Islam dan umumnya dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf antara lain:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ نَفْسَهُ
Artinya:
Barang siapa yang menegnal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya.
إِنْ إِقْتَرَبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
Artinya:
Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika datang kepada-ku berjalan, maka Aku dating kepadanya berlari. (H.R. Bukhari)
Pandangan mengenai cinta kepada Tuhan berdasarkan ucapan Rasul yang menyampaiakn ucapan Tuhannya yaitu:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِيْ عَرَفُوْنِيْ
Artinya:
Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mengenalKu.
            Berdasarkan hal tersebut, maka ini sebenarnya adsalah cermin “Pencipta” jadi setiap apa yang ada akan kembali kepada sesuatu yang azali (yaitu Allah).
Hadist Qudsi yang lain:
لَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَ بَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَ لِسَنَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَ رِجْلَهُ الَّتِيْ يَسْعَى بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ وَبِيْ يُبْصِرُ وَ بِيْ يَنْطِقُ وَ بِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ يَمْشِيْ  
Artinya:
Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya, maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha. Maka denganKu lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju, dan berjalan. (H.R. Bukhari-Muslim)
            Hadist di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri mausia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’. Fananya makhluk terhadap khalik, yang mencintai dengan yang dicintai. Fana adalah bersatunya hamba dengan zat yang tinggi yang bisa dirabanya dengan hatinya. (Qamar Kailani: 18). Namun, istilah “lebur” atau “fana” ini, menurut kami, harus dipertegas bahwa antara Tuhan dan manusia tetap ada jarak atau pemisah, sehingga tetap berbeda antara Tuhan dengan hamba-Nya. Di sini hanya menunjukkan keakrabanantara makhluk dan Khaliqnya.
            Berikut ini dikemukakan beberapa hadist yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:
1.      Aisyah berkata:
أَنَّ نَبِيَّاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ الَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُز. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَلَ : أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرَا. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
Adalah Nabi SAW. bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allah, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allah telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang? ‘ Beliau menjawab, ‘Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allah yang bersyukur?’ (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
2.      Rasulullah SAW. bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُاللَّهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً. (رواه البخارى)
Artinya:
Demi Allah, aku memohon ampunan kepada Allah dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali. (H.R. al-Bukhari)
3.      Rasulullah SAW. bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَ اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْخِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا. (رواه الترمذي)
Artinya:
Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana burung yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang sudah kenyang. (H.R. at-Turmudzi)
            Faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, selain berupa pernyataan Al-Qur’an dan hadist, adalah perilaku Rasulullah sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) tidak jarang pergi meninggalkan keramain dan hidup menyepi untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allah dan mendapat perunjuk-Nya.

B.        Kehidupan Rasulullah SAW. yang Dijadikan Sebagai Sumber Tasawuf Islam
            Jika mencermati sirah, sejarah Nabi SAW. maka akan terpapar dengan jelas bahwa ada hubungan erat antara pola hidup Rasulullah SAW. yang penuh kezuhudan dan kesederhanaan, dengan kehidupan kaum zuhud di masa permulaan Islam, kemudian kaum sufi sejati setelah mereka yang menempa diri mereka dengan aneka macam riyadhah dengan tujuan meminimalisir tuntutan-tuntutan fisik agar jiwa mereka mudah menjalankan berbagai macam ibadah, berkomunikasi dengan Allah, dan berdekatan dengan-Nya.
            Tidak ada yang lebih menunjukkan fakta ini daripada deretan khabar tentang perilaku kehidupan beliau yang dimuat dalam sejumlah hadist shahih.
a.       Kezuhudan dan Kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan dan Pakaian
            Salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Rasulullah SAW. bahwa beliau sangat bersahaja dalam soal makan. Ia bercerita : Aku melihat Abu Hurairah memberi isyarat dengan jarinya beberapa kali, seraya berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada dalam genggaman tangan-Nya, Nabi Allah SWT. tidak pernah kenyang selama tiga hari berturut-turut dengan mengonsumsi roti gandum sampai beliau meninggal dunia.” (H.R. al-Bukhari).
            Cerita Aisyah semakin mempertegas riwayat Abu Hazim dari Abu Hurairah ini sebab ia adalah orang terdekat beliau dan tentu saja ia lebih tahu bagaimana kezuhudan Rasulullah SAW. dalam hal makan. Masruq berkata: Aku pernah bertamu pada Aisyah ra., lalu ia mempersilahkanku makan. (Selesai makan) ia berkata, “Tidaklah aku kenyang karena makanan, melainkan aku ingin menangis.” Masruq berkata: Aku bertanya: “Kenapa?” Ia menjawab: “Aku teringat saat terakhir Rasulullah SAW. meninggal dunia. Demi Allah, beliau tidak pernah kenyang dari roti dan daging dalam sehari.” (Katanya) sampai dua kali. (H.R. at-Tirmidzi).
Perlu dicatat pula –mengingat nilai pentingnya— bahwa Rasulullah SAW. tidak menganggap pola makan minim sebagai kekhususan beliau yang tidak boleh diikuti oleh umatnya, namun, Rasulullah SAW. juga ingin agar umatnya menerapkan pola serupa karena hal itu mengandung unsure kesederhanaan dan tidak tenggelam dalam kenikmatan hidup.
            Apa yang diriwayatkan al-Hasan dari Rasulullah SAW. ini dperkuat oleh hadist-hadist lain yang cukup banyak dan berstatus shahih, diantaranya hadist yang diriwayatkan al-Miqdam bin Ma’di Yarkab. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيِّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَمَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَ ثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Artinya:
Manusia tidak memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi manusia beberapa suapan kecil yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak dapat maka usahakanlah sepertigauntuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya. (H.R. at-Tirmidzi)
            Kesederhanaan makan Rasulullah SAW. bukan satu-satunya potret kezuhudan dan kesederhanaan beliau, namun, beliau juga begitu zuhud dan sederhana dalam berpakaian. Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah SAW. makan makanan kasar, memakai pakaian yang berbahan kasar, dan hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu domba. (H.R. al-Hakim).
b.      Kezuhudan dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah SAW.
            Rasulullah SAW. juga memakai las tidur berkualitas rendah karena lebih mengutamakan perilakua zuhud dan kesederhanaan daripada terlena dalam kenikmatan hidup. Diriwayatkan dari Aisyah ra. Pada alas tidur yang sangat bersahaja dilatarbelakangi oleh keimanan beliau yang sempurna bahwa dunia hanyalah tempat tinggal sementara, bukan untuk selama-lamanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata: Rasulullah SAW. tidur di atas tikar lalu beliau bangun, tikar itu membekas di lambung beliau., kami berkata: Andai kami membuatkan hamparan lunak untuk Anda. Beliau bersabda: “Apa urusanku dengan dunia?! Aku di dunia tidak lain seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, setelah itupergi meninggalkannya. (H.R. at-Tirmidzi).
            Di sini, tidak ada seorang pun yang dapat menyangkal dengan mengatakan bahwa riwayat tentang kebersahajaan alas tidur Rasulullah SAW. lebih dikarenakan bangsa Arab kala itu belum mengenal sarana-sarana hidup seperti masyarakat beradab, bukan karena factor kezuhudan beliau. Sirah nabawi sendiri menunjukkan kabatilan persepsi ini, begitu juga sejarah bangsa Arab. Sebab mereka telah menegnal berbagai fasilitas penanda peradaban sebagaimana yang dinikmati oleh para raja dari bangsa-bangsa lain. Buktinya, para sahabat pernah menawarkan kepada Nabi SAW. untuk membuat fasilitas-fasilitas kemewahan hidup layaknya para raja, namun, beliau menolaknya Karen akezuhudan beliau terhadap keduniaan. Diriwayatkan dari al-Hasan, ia berkata: Umar pernah menemui RAsulullah SAW. Ia melihat beliau tengah berbaring di atas tikar atau alas tidur. Ia bilang, aku melihat tikar tersebut membekas di pinggang Rasulullah SAW. Umar pun menangis. Nabi SAW. lalu bertanya kepadanya: “Wahai Umar, apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Engkau ini Nabi Allah, sementara Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) hidup bergelimag emas!” Rasulullah SAW. menukas, “Tidak ridhakah engkau jika mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?!” Umar menjawab, “Tentu!” beliau bersabda: “Seperti itulah seharusnya.”

c.       Kezuhudn dan Kesederhanaan Rasulullah SAW. Sebagai Pilihan Hidup
            Satu fakta kebenaran yang harus diungkapkan bahwa kezuhudan dan kesederhanaan Rasulullah SAW. bukanlah karena factor kemiskinan dan keterdesakan kondisi hidup, melainkan lebih karena sebuah pilihan dan kegemaran. Beliau lebih memilih hidup zuhud dan sederhana daripada menyiukkan diri dengan berbagai bentuk kenikmatan hidup di dunia yang fana. Diriwayatkan dari Abu Uamamah ra. Dari Rasulllah SAW. beliau bersabda:
عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّيْ لِيَجْعَلَلِيْ بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا قُلْتُ لاَ يَا رَبِّيْ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَ أَجُوْعُ يَوْمًا وَقَالَ ثَلَاُثًا اَوْ نَحْوَ هَذَا فَإذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ وَإِذَا شَبِعْتُ شَكَرْتُكَ وَحَمِدْتُك
Artinya:
Rabb-Ku pernah menawariku untuk mengubah padang pasir Makkah menjadi emas, namun, aku bilang: O Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan lapar sehari –beliau mengucapkan sebanyak tiga kali atau yang setara— Sehingga bila lapar, aku dapat menundukkan diri pada-Mu, mengingat-Mu, dan bila kenyang, aku bersyukurkepada-Mu, dan memuji-Mu. (H.R. at-Tirmidzi).

Ibadah Ekstra Rasulullah SAW.
            Jika mencermati kehiidupan Rasulullah SAW. tergambar jelas pula bahwa beliau banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan ibadah ekstra, dan ini menjadi sumber inspirasi bagi kaum zuhud awal, kemudian kaum sufi sepeninggal mereka dalam menjalankan pola ibadah serupa.
a.       Intensitas Shalat Rasulullah SAW.
            Rasulullah SAW. menurut sejumlah riwayat gemar melaksanakan shalat di tengah malam. Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. melaksanakan shalat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aku bilang kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengmpuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan dating?!” Beliau menjawab, “Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

b.      Intensitas Puasa Rasulullah SAW.
            Rasulullah SAW. juga mempeprbanyak puasa sunnah. Hadis-hadis mengenai hal ini cukup banyak, di antaranya yang diriwayatkan olehAnas bin Malik ra., ia berkata: “Rasulullah SAW. senang berpuasa dan sering kali tidak makan sampai kami mengatakan setahun ini Rasulullah SAW. berpuasa terus. Namun, di tahun berikutnya beliau tidak berpuasa sampai kami mengatakan beliau tidak suka berpuasa setahun penuh. Dan puasa yang paling beliau sukai adalah puas abulan Sya’ban. (H.R. Ahmad dan ath-Thabari).

c.       Syarat-Syarat Memperbanyak Frekuensi Ibadah
            Penting diisyaratkan di sini bahwa Rasulullah SAW. dalam sejumlah hadist melarang keras tindakan memperketat didi (tasyaddud) dalam masalah ibadah. Disebutkan dalam riwayat Muslim misalnya bahwa Zainab giat menjalankan qiyamullail. Saking bersemangatny, ia mengikatkan seutas tali di masjid sebagai penopang tubuh agar dapat terus-menerus melanjutkan shalat. Ketka Rasulullah SAW. mengetahui hal tersebut, beliau langsung melarangnya
            Kasus serupa menurut riwayat Muslim terjadi pada Haula’, yang ebrpantang tidur malam agar dapat memperbanyak ibadah, dan ketika Rasulullah SAW. menegatahuinya, beliau pun melarangnya. Larangan serupa disampaikan Rasulullah SAW. kepada Abdullah bin Amru yang konon bertekad untuk berpuasa terus-menerus dan qiyamullail sepanjang malam.
            Ketiga hadist yang berisi larangan Nabi SAW. untuk berlaku ekstrem dalam beribadah ini tidak serta merta mengurangi apalagi menafikan anjuran untuk memperbanyak ibadah. Sebab tujuan dari hadist Zainab adalah arahan bahwa shalat sebagai media hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harus dilakukan dalam kondisi fit (bugar) agar pelaku dapat merasakan kenikmatan spiritual saat berkomunikasi dengan Allah, Tuhan sekalian alam. Sementara tujuan dari hadist al-Haula’ adalah pemberian peringatan bahwa aktifitas memperbanyak ibadah bagi orang yang tidak mampu tidak tidak dianjurkan. Sama halnya seperti orang yang qiyamullail sepanjang malam hingga melalaikan kewajiban atau mengabaikan hak adami (manusia) yang disyariatkan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda: “ Kerjakanlah amal sesuai kemampuan kalian, sesungguhnya Allah SWT. tidak pernah bosan sampai kalian sendiri bosan.”
            Begitu juga halnya dengan hadist Abdullah bin Amru, yang menurut an-Nawawi mengandung arahan dan pesan bahwa qiyamullail semalam suntuk dan menegrjakannya secara berkesinambungan setiap malam makruh hukumnya sebab ia akan menimbulkan kebosanan dalam beribadah.
            Adapun larangan Nabi SAW. pada Ibnu Amru untuk terus menerus berpuasa hanya berlaku khusus baginya karena dengan cahaya kenabian yang dimiliki, beliau tahu bahwa ia tidak akan mampu menjalankan hal tersebut secara kontinu. Sedangkan untuk selain Ibnu Amru, puasa demikian dianjurkan bagi yang memang mampu. Buktinya, Rasulullah SAW. mengizinkan Hamzah bin Amru untuk terus berpuasa meski dalam kondisi musafir karena beliau tahu ia mampu melaksanakannya.























BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan
                Setelah kita mengetahui tentang asal usul tasawuf, kita dapat menyimpulkan bahwa para ahli ada yang berpendapat bahwa tasawuf sebagian berasal dari agama selain Islam. Namun, ajaran tersebut tidak terlalu mendominasi. Sementara ajaran Islam yang dijadikan sebagai landasan tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Banyak hadist Rasulullah yang dijadikan sebagai sumber ajaran tasawuf ini. Namun, tidak hanya dari perkataan NAbi Muhammad SAW. yang dijadikan sebagia sumber ajaran tasawuf, perilaku keseharian beliau juga menjadi landasan dalam pengamalan ajaran tasawuf Islam.

B.     Saran
                Semoga setelah membaca makalah ini kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Alloh SWT, salah satunya dengan memperdalam ilmu tasawuf yang bertujuan untuk mensucikan diri. Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi kami sebagai penulis, umumnya bagi semua pembaca.














DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1987

Ali, Yunasril. Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat. Jakarta:
            Pedoman Ilmu Jaya. 1987

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: AMZAH. 2011

Suryadilaga, M. Alfatih,dkk,.Miftahus Sufi. Yogyakarta: TERAS.2008

Tim Penyusun Naskah Text Book Pengantar Ilmu Tasawuf. Buku Pengantar Tasawuf.
            Medan: Badan Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama.
            1982

Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 RADEN Madrasah Hidayatul Mub’tadi-ien Pondok
            Pesantren Lirboyo. Jejak Sufi; Membangun Moral Berbasis Spiritual. Kediri:
            Lirboyo Press. 2011

2 komentar: