BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan kecenderungan mistisme universal yang ada sejak
dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan dan bertujuan membangun
hubungan dengan al-mala’al-a’la yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan
ilumunasi. Tasawuf bukan monopoli umat tertentu, kebudayaan tertentu, agama
tertentu, maupun aliran filsafat tertentu.
Banyak pendapat yang muncul mengenai asal-usul ajaran tasawuf.
Beberapa diantaranya menyatakan bahwa ajaran tasawuf berasal dari agama-agama
lain selain Islam. Ada pendapat yang menyatakan asal-usul tasawuf bersumber
dari Budha atau Hindu, mereka lupa bahwa mengalirnya pengaruh India terhadap
kebudayaan Islam terjadi pada masa yang akhir. Sementara ilmu kalam, filsafat
dan sains, dalam Islam, cikal-bakalnya muncul di atas lahan yang dipengaruhi
kebudayaan Yunani.
Secara pasti ajaran-ajaran tasawuf bersumber dari pedoman utama
dalam agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadist. Di sini pemakalah mencoba
memaparkan berbagai hal yang bersumber dari hadist Nabi Muhammad SAW. yang
dijadikan sebagai dasar dan landasan tasawuf yang berkembang dalam agama Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalh ini antara lain:
1.
Bagaimana
Landasan Tasawuf Islam dalam Hadist Nabi Muhammad SAW.?
2.
Bagaimana
kehidupan Rasulullah SAW. yang dijadikan sebagai sumber tasawuf Islam?
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Landasan Tasawuf Islam dalam Hadist Nabi Muhammad SAW.
Timbulnya
tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu
semenjak diutusnya Muhammad SAW. menjadi rasul untuk segenap umat manusia dan
seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum
diangkat menjadi rasul melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira berulang
kali, disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Makkah yang sedang
mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga Muhammad mencari jalan untuk
membersihkan hati dan menyucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi
masyarakat di waktu itu.
Tahanuts
dan khalwat yang dilakukan Muhammad tersebut bertujuan untuk mencari ketenangan
jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema-problema hidup yang beraneka ragam
ini, berusaha mendapat petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini,
mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Maka
dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT. yang
penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untik umat
manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Nabi
Muhammad SAW. sudah menjelang usia empat puluh tahun ketika beliau pergi ke Gua
Hira melakukan tahanuts. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah
dilihatnya. Beliau telah membebaskan diri dari segala kebathilan. Tuhan telah
mendidiknya. Dengan sepenuh kalbu beliau menghadapkan diri ke jalan lurus,
kepada kebenaran yang abadi. Beliau telah menghadapkan diri kepada Allah SWT.
dengan sepenuh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada
masyarakat yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Segala
pola tingkah laku, amal amal perbuatan dan sifat-sifat Muhammad SAW. sebelum
diangkat menjadi Rasul merupakan menifestasi dari kebersihan hati dan kesucian
jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.
Masyarakat
Islam mengisi kehidupan rohani mereka dengan menurutkan himbauan dan ajakan
agama yang digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pola pengamalan Rasulullah
menjadi anutan para sahabat, tabi’in, dan tabi;it tabi’in dalam berbagai aspek
kehidupan mereka. Kehidupan dunia bagi mereka tidak menyebabkan lalai terhadap
kehidupan akhirat dan begitu pula sebaliknya, karena kehidupan akhirat
merupakan kehidupan yang hakiki. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا. وَاعْمَلْ
لِأّخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا (ابن عساكر)
Artinya:
Beramallah
untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau mati besok pagi. (H.R. Ibnu ‘Asakir)
Sumber pokok
ajaran Islam berupa hadist Nabi SAW dengan jelas telah memuat landasan dari
praktek tasawuf. Adapun hadist-hadist yang menunjukkann tentang pola kerohanian
dalam Islam dan umumnya dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf antara
lain:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ نَفْسَهُ
Artinya:
Barang siapa yang menegnal dirinya sendiri, maka akan mengenal
Tuhannya.
إِنْ إِقْتَرَبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
Artinya:
Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat
kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat
kepadanya sedepa, dan jika datang kepada-ku berjalan, maka Aku dating kepadanya
berlari. (H.R. Bukhari)
Pandangan mengenai cinta kepada Tuhan berdasarkan ucapan Rasul yang
menyampaiakn ucapan Tuhannya yaitu:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ
الْخَلْقَ فَبِيْ عَرَفُوْنِيْ
Artinya:
Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan
makhluk agar mengenalKu.
Berdasarkan hal
tersebut, maka ini sebenarnya adsalah cermin “Pencipta” jadi setiap apa yang
ada akan kembali kepada sesuatu yang azali (yaitu Allah).
Hadist Qudsi yang lain:
لَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَ
بَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَ لِسَنَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ
الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَ رِجْلَهُ الَّتِيْ يَسْعَى بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ
وَبِيْ يُبْصِرُ وَ بِيْ يَنْطِقُ وَ بِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ
يَمْشِيْ
Artinya:
Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya, maka
jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia
pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya
yang dia pakai untuk berusaha. Maka denganKu lah dia mendengar, melihat,
berbicara, berfikir, meninju, dan berjalan. (H.R. Bukhari-Muslim)
Hadist di atas
memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri mausia dapat
melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’.
Fananya makhluk terhadap khalik, yang mencintai dengan yang dicintai. Fana
adalah bersatunya hamba dengan zat yang tinggi yang bisa dirabanya dengan
hatinya. (Qamar Kailani: 18). Namun, istilah “lebur” atau “fana” ini, menurut
kami, harus dipertegas bahwa antara Tuhan dan manusia tetap ada jarak atau
pemisah, sehingga tetap berbeda antara Tuhan dengan hamba-Nya. Di sini hanya
menunjukkan keakrabanantara makhluk dan Khaliqnya.
Berikut ini
dikemukakan beberapa hadist yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:
1.
Aisyah
berkata:
أَنَّ
نَبِيَّاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ الَّيْلِ
حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُز. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا
رَسُوْلَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا
تَأَخَّرَ. قَلَ : أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرَا. (رواه
البخاري و مسلم)
Artinya:
Adalah Nabi SAW. bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga
bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan
Allah, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allah telah berjanji akan
mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang? ‘ Beliau
menjawab, ‘Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allah yang
bersyukur?’ (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
2.
Rasulullah
SAW. bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُاللَّهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى
الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً. (رواه البخارى)
Artinya:
Demi Allah, aku memohon ampunan kepada Allah dalam sehari semalam
tak kurang dari tujuh puluh kali. (H.R. al-Bukhari)
3.
Rasulullah
SAW. bersabda:
لَوْ
أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَ اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا
يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْخِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا. (رواه الترمذي)
Artinya:
Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, maka Allah
akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana burung yang pergi dalam keadaan perut
kosong dan pulang sudah kenyang. (H.R. at-Turmudzi)
Faktor intern yang
dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam,
selain berupa pernyataan Al-Qur’an dan hadist, adalah perilaku Rasulullah
sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan
diri kepada Allah) tidak jarang pergi meninggalkan keramain dan hidup menyepi
untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di
tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allah dan
mendapat perunjuk-Nya.
B.
Kehidupan Rasulullah SAW. yang Dijadikan Sebagai Sumber Tasawuf
Islam
Jika mencermati
sirah, sejarah Nabi SAW. maka akan terpapar dengan jelas bahwa ada hubungan
erat antara pola hidup Rasulullah SAW. yang penuh kezuhudan dan kesederhanaan,
dengan kehidupan kaum zuhud di masa permulaan Islam, kemudian kaum sufi sejati
setelah mereka yang menempa diri mereka dengan aneka macam riyadhah dengan
tujuan meminimalisir tuntutan-tuntutan fisik agar jiwa mereka mudah menjalankan
berbagai macam ibadah, berkomunikasi dengan Allah, dan berdekatan dengan-Nya.
Tidak ada yang
lebih menunjukkan fakta ini daripada deretan khabar tentang perilaku kehidupan
beliau yang dimuat dalam sejumlah hadist shahih.
a.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan dan Pakaian
Salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hazim
dari Rasulullah SAW. bahwa beliau sangat bersahaja dalam soal makan. Ia
bercerita : Aku melihat Abu Hurairah memberi isyarat dengan jarinya beberapa
kali, seraya berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada dalam genggaman
tangan-Nya, Nabi Allah SWT. tidak pernah kenyang selama tiga hari
berturut-turut dengan mengonsumsi roti gandum sampai beliau meninggal dunia.”
(H.R. al-Bukhari).
Cerita Aisyah semakin mempertegas riwayat Abu Hazim dari Abu
Hurairah ini sebab ia adalah orang terdekat beliau dan tentu saja ia lebih tahu
bagaimana kezuhudan Rasulullah SAW. dalam hal makan. Masruq berkata: Aku pernah
bertamu pada Aisyah ra., lalu ia mempersilahkanku makan. (Selesai makan) ia
berkata, “Tidaklah aku kenyang karena makanan, melainkan aku ingin menangis.”
Masruq berkata: Aku bertanya: “Kenapa?” Ia menjawab: “Aku teringat saat
terakhir Rasulullah SAW. meninggal dunia. Demi Allah, beliau tidak pernah
kenyang dari roti dan daging dalam sehari.” (Katanya) sampai dua kali. (H.R.
at-Tirmidzi).
Perlu dicatat pula –mengingat nilai pentingnya— bahwa Rasulullah
SAW. tidak menganggap pola makan minim sebagai kekhususan beliau yang tidak
boleh diikuti oleh umatnya, namun, Rasulullah SAW. juga ingin agar umatnya
menerapkan pola serupa karena hal itu mengandung unsure kesederhanaan dan tidak
tenggelam dalam kenikmatan hidup.
Apa yang
diriwayatkan al-Hasan dari Rasulullah SAW. ini dperkuat oleh hadist-hadist lain
yang cukup banyak dan berstatus shahih, diantaranya hadist yang diriwayatkan
al-Miqdam bin Ma’di Yarkab. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيِّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ
أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَمَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَ
ثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Artinya:
Manusia tidak memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perut.
Cukuplah bagi manusia beberapa suapan kecil yang dapat menegakkan tulang
punggungnya. Bila tidak dapat maka usahakanlah sepertigauntuk makanannya,
sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya. (H.R. at-Tirmidzi)
Kesederhanaan
makan Rasulullah SAW. bukan satu-satunya potret kezuhudan dan kesederhanaan
beliau, namun, beliau juga begitu zuhud dan sederhana dalam berpakaian.
Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah SAW. makan makanan kasar, memakai
pakaian yang berbahan kasar, dan hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu
domba. (H.R. al-Hakim).
b.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW.
juga memakai las tidur berkualitas rendah karena lebih mengutamakan perilakua
zuhud dan kesederhanaan daripada terlena dalam kenikmatan hidup. Diriwayatkan
dari Aisyah ra. Pada alas tidur yang sangat bersahaja dilatarbelakangi oleh
keimanan beliau yang sempurna bahwa dunia hanyalah tempat tinggal sementara,
bukan untuk selama-lamanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia
berkata: Rasulullah SAW. tidur di atas tikar lalu beliau bangun, tikar itu
membekas di lambung beliau., kami berkata: Andai kami membuatkan hamparan lunak
untuk Anda. Beliau bersabda: “Apa urusanku dengan dunia?! Aku di dunia tidak
lain seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, setelah itupergi
meninggalkannya. (H.R. at-Tirmidzi).
Di sini, tidak ada
seorang pun yang dapat menyangkal dengan mengatakan bahwa riwayat tentang
kebersahajaan alas tidur Rasulullah SAW. lebih dikarenakan bangsa Arab kala itu
belum mengenal sarana-sarana hidup seperti masyarakat beradab, bukan karena
factor kezuhudan beliau. Sirah nabawi sendiri menunjukkan kabatilan persepsi
ini, begitu juga sejarah bangsa Arab. Sebab mereka telah menegnal berbagai
fasilitas penanda peradaban sebagaimana yang dinikmati oleh para raja dari
bangsa-bangsa lain. Buktinya, para sahabat pernah menawarkan kepada Nabi SAW.
untuk membuat fasilitas-fasilitas kemewahan hidup layaknya para raja, namun,
beliau menolaknya Karen akezuhudan beliau terhadap keduniaan. Diriwayatkan dari
al-Hasan, ia berkata: Umar pernah menemui RAsulullah SAW. Ia melihat beliau
tengah berbaring di atas tikar atau alas tidur. Ia bilang, aku melihat tikar
tersebut membekas di pinggang Rasulullah SAW. Umar pun menangis. Nabi SAW. lalu
bertanya kepadanya: “Wahai Umar, apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab,
“Engkau ini Nabi Allah, sementara Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi)
hidup bergelimag emas!” Rasulullah SAW. menukas, “Tidak ridhakah engkau jika
mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?!” Umar menjawab,
“Tentu!” beliau bersabda: “Seperti itulah seharusnya.”
c.
Kezuhudn
dan Kesederhanaan Rasulullah SAW. Sebagai Pilihan Hidup
Satu fakta kebenaran
yang harus diungkapkan bahwa kezuhudan dan kesederhanaan Rasulullah SAW. bukanlah
karena factor kemiskinan dan keterdesakan kondisi hidup, melainkan lebih karena
sebuah pilihan dan kegemaran. Beliau lebih memilih hidup zuhud dan sederhana
daripada menyiukkan diri dengan berbagai bentuk kenikmatan hidup di dunia yang
fana. Diriwayatkan dari Abu Uamamah ra. Dari Rasulllah SAW. beliau bersabda:
عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّيْ لِيَجْعَلَلِيْ بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا
قُلْتُ لاَ يَا رَبِّيْ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَ أَجُوْعُ يَوْمًا وَقَالَ
ثَلَاُثًا اَوْ نَحْوَ هَذَا فَإذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ
وَإِذَا شَبِعْتُ شَكَرْتُكَ وَحَمِدْتُك
Artinya:
Rabb-Ku pernah menawariku untuk mengubah padang pasir Makkah
menjadi emas, namun, aku bilang: O Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan
lapar sehari –beliau mengucapkan sebanyak tiga kali atau yang setara— Sehingga
bila lapar, aku dapat menundukkan diri pada-Mu, mengingat-Mu, dan bila kenyang,
aku bersyukurkepada-Mu, dan memuji-Mu. (H.R. at-Tirmidzi).
Ibadah Ekstra Rasulullah SAW.
Jika mencermati
kehiidupan Rasulullah SAW. tergambar jelas pula bahwa beliau banyak mendekatkan
diri kepada Allah SWT. dengan ibadah ekstra, dan ini menjadi sumber inspirasi
bagi kaum zuhud awal, kemudian kaum sufi sepeninggal mereka dalam menjalankan
pola ibadah serupa.
a.
Intensitas
Shalat Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW.
menurut sejumlah riwayat gemar melaksanakan shalat di tengah malam.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. melaksanakan shalat
malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aku bilang kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengmpuni dosa Anda
yang telah berlalu dan yang akan dating?!” Beliau menjawab, “Apakah aku tidak
suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
b.
Intensitas
Puasa Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW.
juga mempeprbanyak puasa sunnah. Hadis-hadis mengenai hal ini cukup banyak, di
antaranya yang diriwayatkan olehAnas bin Malik ra., ia berkata: “Rasulullah
SAW. senang berpuasa dan sering kali tidak makan sampai kami mengatakan setahun
ini Rasulullah SAW. berpuasa terus. Namun, di tahun berikutnya beliau tidak
berpuasa sampai kami mengatakan beliau tidak suka berpuasa setahun penuh. Dan
puasa yang paling beliau sukai adalah puas abulan Sya’ban. (H.R. Ahmad dan
ath-Thabari).
c.
Syarat-Syarat
Memperbanyak Frekuensi Ibadah
Penting
diisyaratkan di sini bahwa Rasulullah SAW. dalam sejumlah hadist melarang keras
tindakan memperketat didi (tasyaddud) dalam masalah ibadah. Disebutkan dalam
riwayat Muslim misalnya bahwa Zainab giat menjalankan qiyamullail. Saking
bersemangatny, ia mengikatkan seutas tali di masjid sebagai penopang tubuh agar
dapat terus-menerus melanjutkan shalat. Ketka Rasulullah SAW. mengetahui hal
tersebut, beliau langsung melarangnya
Kasus serupa
menurut riwayat Muslim terjadi pada Haula’, yang ebrpantang tidur malam agar
dapat memperbanyak ibadah, dan ketika Rasulullah SAW. menegatahuinya, beliau
pun melarangnya. Larangan serupa disampaikan Rasulullah SAW. kepada Abdullah
bin Amru yang konon bertekad untuk berpuasa terus-menerus dan qiyamullail
sepanjang malam.
Ketiga hadist yang
berisi larangan Nabi SAW. untuk berlaku ekstrem dalam beribadah ini tidak serta
merta mengurangi apalagi menafikan anjuran untuk memperbanyak ibadah. Sebab
tujuan dari hadist Zainab adalah arahan bahwa shalat sebagai media hamba untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, harus dilakukan dalam kondisi fit (bugar)
agar pelaku dapat merasakan kenikmatan spiritual saat berkomunikasi dengan
Allah, Tuhan sekalian alam. Sementara tujuan dari hadist al-Haula’ adalah
pemberian peringatan bahwa aktifitas memperbanyak ibadah bagi orang yang tidak
mampu tidak tidak dianjurkan. Sama halnya seperti orang yang qiyamullail
sepanjang malam hingga melalaikan kewajiban atau mengabaikan hak adami
(manusia) yang disyariatkan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda: “
Kerjakanlah amal sesuai kemampuan kalian, sesungguhnya Allah SWT. tidak pernah
bosan sampai kalian sendiri bosan.”
Begitu juga halnya
dengan hadist Abdullah bin Amru, yang menurut an-Nawawi mengandung arahan dan
pesan bahwa qiyamullail semalam suntuk dan menegrjakannya secara
berkesinambungan setiap malam makruh hukumnya sebab ia akan menimbulkan
kebosanan dalam beribadah.
Adapun larangan
Nabi SAW. pada Ibnu Amru untuk terus menerus berpuasa hanya berlaku khusus
baginya karena dengan cahaya kenabian yang dimiliki, beliau tahu bahwa ia tidak
akan mampu menjalankan hal tersebut secara kontinu. Sedangkan untuk selain Ibnu
Amru, puasa demikian dianjurkan bagi yang memang mampu. Buktinya, Rasulullah
SAW. mengizinkan Hamzah bin Amru untuk terus berpuasa meski dalam kondisi musafir
karena beliau tahu ia mampu melaksanakannya.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah kita mengetahui tentang asal
usul tasawuf, kita dapat menyimpulkan bahwa para ahli ada yang berpendapat
bahwa tasawuf sebagian berasal dari agama selain Islam. Namun, ajaran tersebut
tidak terlalu mendominasi. Sementara ajaran Islam yang dijadikan sebagai
landasan tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Banyak hadist Rasulullah
yang dijadikan sebagai sumber ajaran tasawuf ini. Namun, tidak hanya dari
perkataan NAbi Muhammad SAW. yang dijadikan sebagia sumber ajaran tasawuf,
perilaku keseharian beliau juga menjadi landasan dalam pengamalan ajaran
tasawuf Islam.
B.
Saran
Semoga setelah membaca makalah ini
kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Alloh SWT, salah satunya dengan
memperdalam ilmu tasawuf yang bertujuan untuk mensucikan diri. Semoga makalah
ini bermanfaat, khususnya bagi kami sebagai penulis, umumnya bagi semua
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya. 1987
Ali, Yunasril. Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah, dan
Khurafat. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.
1987
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta:
AMZAH. 2011
Suryadilaga, M. Alfatih,dkk,.Miftahus Sufi. Yogyakarta:
TERAS.2008
Tim Penyusun Naskah Text Book Pengantar Ilmu Tasawuf. Buku
Pengantar Tasawuf.
Medan: Badan Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen
Agama.
1982
Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 RADEN Madrasah Hidayatul
Mub’tadi-ien Pondok
Pesantren Lirboyo.
Jejak Sufi; Membangun Moral Berbasis Spiritual. Kediri:
Lirboyo Press.
2011
Thanks nice info sis...
BalasHapusAmiiin ya allaah
BalasHapus