Kamis, 12 November 2015

Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang kaya dengan makna, sehingga setiap orang bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda-beda sesuai latar belakang sosial  dan latar belakang pengetahuannya. Akibatnya al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan  Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa aliran dengan penafsiran yang berbeda-beda. Salah satuny adalah penafsiran dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.  
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya?
2.      Apa saja karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
3.      Bagaimana karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
4.      Bagaimana contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya.
2.      Untuk mengetahui karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3.      Untuk mengetahui karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
4.      Mengetahui dan memahami contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Ajarannya
Ahlus sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan kesepakatan / persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode dan cara-cara keduanya. [1]
Cara yang mereka tempuh dalam melakukan penafsiran terhadap alQur’an adalah menuruti cara-cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rosyidin. Mengenai aqidah mereka bisa disimpulkan sebagai berikut: [2]
1.        Wujudnya Allah yang Maha Qadim (terdahulu).
Tidak ada yang layak disembah selain Dia, tidak ada Pencipta selain Dia, yang memiliki sifat yang Berilmu, Maha Berkuasa dan semua sifat-sifat yang sempurna. Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Tidak berkata, tidak ada yang menyerupainya, dan tidak beranak.  
2.        Dzat-Nya tidak bertempat pada sesuatupun yang hawadits ( bersifat baru).
Tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya. Dia Maha Mendengar dan Maha Maha melihat. Apabila Ia member pahala maka itu adalah karena kemurahanNya. Dan jika Dia menghukum dengan siksa, maka itu adalah karena keadilannya. Para pemimpin sesudah Rasulullah SAW adalah Khulafaur Rasyidin yang derajat keutamaan mereka adalah menurut urutan tersebut. Karena itu kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan seorangpun dari mereka, ataupun diantara semua kaum yang berkiblat ke Baitullah umumnya, kecuali mereka yang mengingkari sesuatu yang diketahuinya dari Agama. Ilnilah pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terpenting. Aqidah ini diturunkan dan disimpulkan dari alQur’an dan Hadits.
Al-Qur’an dan Sunnah adalah ushul (pokok) sedangkan aqidah adalah furu’ (cabang). Ahlus Sunnah telah merumuskan kaidah-kaidah mereka berdasarkan anggapan bahwa alQur’an al Karim adalah diatas jangkauan akal, meskipun pandangan mereka ini berbeda dengan pandangan madzhab-madzhab lain.
B.       Karya-Karya Tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
1.      Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim[3]
Pengarangnya adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Bakr bin Farih al-Anshori al-Hazrajy al-Andalusy al-Qurtubi. Tafsir al-Qurtubi tidak mencantumkan kisah-kisah dan sejarah-sejarah, tetapi hanya memusatkan perhatian pada tafsir ayat-ayat hukum. Beliau juga mementingkan keterangan mengenai qiraat-qiraat., menerangkan masalah-masalah nahwu, walaupun tidak panjang lebar dan menerangkan tentang nasikh dan mansukh.
Ciri-ciri lain dari tafsir ini ialah bahwa pengarangnya sedikit sekali menyebutkan cerita-cerita Israilliyat dan hadis-hadis maudhu. Jikapun mengemukakan dengan cerita Israilliyat atau hadis maudhu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam maka beliau selalu menyertainya dengan penolakan dan pembatalan.
Berkenaan dengan hadis-hadis, beliau juga menyebutkannya tapi dengan menyertakan identitas orang yang mengeluarkan hadis itu dan biasanya juga menyebutkan rawinya. Sekalipun demikian, kita jumpai dalam kitab tafsir ini beberapa riwayat Israilliyat dan hadis maudhu.
Misalnya ketika beliau menafsirkan surah Yusuf ayat 24 dengan berkata: “Dan sunguh wanita itu telah menginginkannya dengan bernafsu dan Yusufpun akan sudah menginginkannya pula seandainya ia tidak melihat pertanda yang terang dari Tuhannya”. Berkenaan dengan tanda yang terang dari Tuhan (burhan) itu, beliau mengemukakan perkara-perkara Israilliyat yang tidak shahih.
2.      Tafsir al-Qur’anul Adzim [4]
Pengarangnya adalah Imamul Jalil al-Hafidz Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’ul Bashary ad-Dimasyqy. Tafsir Imam Ibn Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bil ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat dibawah tafsir Ibn Jarir at-Thabari. Didalamnya beliau menafsirkan Kalamullah Ta’ala berdasarkan hadis-hadis dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in, degan komentar tentang riwayat yang cacat dan adil.
Beliau juga termasuk perintis dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Termasuk diantar riwayat-riwayat yang munkar dan berbau Israilliyat, kadang-kadang secara umum, adakalanya secara meyakinkan dengan uraian yang perinci. Sikap yang demikian mungkin dipengaruhi oleh gurunya, yaitu Imam Ibn Taimiyah. Para mufassir setelah beliau, semuanya tunduk kepada tafsir beliau yang tak syak lagi penuh dengan kemuliaan dan kelebihan itu.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan awal surah Qaf, beliau mengomentari huruf Qaf tersebut dengan mengatakan: “diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka berkata: Qaf itu adalah nama gunun yang mengelilingi bumi, yang dinamai gunung Qaf”. Seakan-akan beliau mengatakan: “Allah lebih mengetahui akan khurafat-khurafat yang diada-adakan oleh Bani Israil”.
3.      Madarikut Tanzil wa Haqaikut Ta’wil
Pengarangnya adalah Abul Barakah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammadan-Nasafi, dari negeri “di seberang sungai”. Imam an-Nasafi meringkas kitaf tafsirnya dari kitab tafsir al-Kasysyaf karangan Imam Zamakhsyari dan kitab tafsir yang disusun oleh Imam al-Baidhawy. Hanya saja beliau tidak menerima pendapat-pendapat Imam Zamakhsyari yang bercorak mu’tazilah dan mengakui madzhab ahlus sunnah.
 Kitab tafsir beliau berukuran sedang dan banyak beredar di kalangan ilmu pengetahuan. Ciri-ciri khas tafsir beliau antara lain: Dalam kitab tafsirnya banyak berlarut-larut dalam membahas ilmu nahwu, dalam masalah qiraat beliau hanya membicarakan Qiraat Tujuh yang mutawatir dan menisbatkan setiap qiraah kepada qari’nya, dalam menafsirkan ayat hukum beliau mengemukakan pendapat madzhab dan menonjolkan pendapat madzhabnya, dan sedikit mengutip riwayat israiliyat dengan disertai penolakan.[5]
C.       Karakteristik Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah [6]
Dalam menafsirkan kitabullah Ahlus Sunnah menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum salaf. Mereka berpegang pada dalil yang manqul/ dikutip dari Rosulullah, juga dari sahabat-sahabat dan para tabiin, serta mereka juga menggunakan akal. Akan tetapi jika mereka menjumpai nash yang shohih dan jelas datangnya dari Rasulullah yang menafsirkan sebuah ayat, maka mereka menyisihkan semua bentuk pemikiran manusia. Dalam mengkaji dan merenungi ayat ayat al-Qur’an mereka tidak keluar dari aturan aturan bahasa Arab, dimana alQur’an diturunkan dengan mempergunakan bahasa tersebut. Apabila mereka menjumpai sesuatu yang nampaknya merupakan kontradiksi antara akal dan naql, mereka berupaya untuk menyesuaikan antara keduanya tanpa keluar dari kaidah kaidah syar’i dan lughawi.
   Kaum Ahlus Sunnah, telah bersepakat pada prinsip prinsip penafsiran sebagai berikut:
a.                        Dalam prinsip-prinsip aqidah selalu berpegang pada arti-arti lahiriah dari ayat-ayat Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak boleh.
b.                        Mengenai lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat Allah, maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh Allah.
c.                        Apabila ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya dapat diperoleh satu pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan pendapat secara ijma’
D.      Contoh Penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[7]
(Tafsir Al-Qurtubi Oleh Imam Abu 'Abdullah Al-Qurtubi).
Dalam kitab tafsir al-Qurtubi surah al-Baqarah ayat 29 adalah sebagai berikut :
وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
Barkata al-Qurtubi dalam tafsirnya :
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir.
وهذه الآية من المشكلات . والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه . قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها . وذهب إليه كثير من الأئمة .
وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى . قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه  وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة .  وهذا قول المشبّهة .  وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها .
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit. Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga pendapat:
a.       Sebagian mereka berkata kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam.
b.      Pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa). Imam Malik menjawab: Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia.
c.       Dan sebagian mereka berkata: kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat). Pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata: kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ahlus sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan kesepakatan/persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode dan cara-cara keduanya. Ada banyak karya-karya tafsir al-Qur’an yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, beberapa diantaranya adalah tafsir karya Ibn Katsir, al-Qurtubi, an-Nasafi, dll.
Karakteristik dalam penafsiran beraliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah selalu berpegang pada arti-arti lahiria dari ayat-ayat Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak boleh, lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat Allah, maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh Allah, dan apabila ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya dapat diperoleh satu pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan pendapat secara ijma’.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.







DAFTAR PUSTAKA

Basuni Fawdah, Mahmud. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka). 1987.

Al-Qurtubi, Abu 'Abdullah. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim. (Beirut: Dar al-Fikr).





[1] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 93
[2] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 94
[3] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 91
[4] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 58
[5] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 83
[6] Mahmud Basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 96
[7] Abu 'Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 254

Isim Nakirah dan Isim Ma'rifah dalam al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kaum muslimin pasti telah mengetahui bahwa bahasa yang ada didalam al-Quran menggunakan bahasa Arab. Beberapa orang islam berusaha untuk mempelajari lebih dalam ilmu agama islam itu sendiri, bahkan hampir setiap orang islam di dunia ini sejak kecil mempelajari agama islam dari dasar, dan tambah mereka dewasa dan mulai memahami apa itu islam mereka mulai menggali lebih dalam pada sumber asalnya, yaitu al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Maka dari itu, menurut kaidah hukum islam mengerti akan ilmu nahwu bagi yang ingin mempelajari al-Quran hukumnya fardhu 'ain.
Kaidah-kaidah bahasa Arab dibahas lebih rinci sehingga mendapatkan bantuan bagi pembaca agar lebih memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dan diharapkan lebih membantu dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi.
B.Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Isim Nakirah dan Ma’rifah?
b. Bagaimana Penggunaan Isim Nakirah dalam al-Qur’an?
c. Bagaimana Penggunaan Isim Ma’rifah dalam al-Qur’an?
d. Bagaimana Pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam Al-Qur’an?
C.Tujuan Penulisan
a. Dapat memahami dan mengetahui Isim Nakirah dan Ma’rifah
b. Dapat memahami penggunaan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an
c. Dapat mengetahui pengulangan Isim Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Isim Nakirah dan Isim Ma’rifat
Isim nakirah adalah isim yang jenisnya umum, menunjukkan sesuatu yang tidak tertentu atau belum tertentu atau setiap isim yang pantas kemasukan alif dan lam. Lebih ringkasnya isim nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.[1]              
Sedangkan isim ma’rifat adalah isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi isim ma’rifat adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahui) atau untuk ta’rif.[2].
Kata (محمد) misalnya, adalah Isim Ma’rifah karena ia menunjuk kepada seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل)  adalah Isim nakirah karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis laki-laki.
                                                                                                            
B.     Penggunaan Isim Nakirah dalam Al-Qur’an
Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:[3]
1.      Untuk menunjukkan satu (إرادة الوحدة), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Qashshash ayat 20:
وجاء رَجُلٌ من أقصا المدينة يسعى
Keterangan: Kata رَجُلٌ maksudnya adalah seorang laki-laki.
2.      Untuk menunjukkan jenis (إرادة النوع), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 96:
ولتجدنهم أحرص الناس على حَيَوٰةٍ
Keterangan: Kata حَيَوٰةٍ maksudnya adalah suatu jenis kehidupan, yaitu ingin mendapatkan tambahan kehidupan di masa depan (طلب الزيادة في المستقبل), karena ketamakan (الحرص) itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3.      Untuk menunjukkan ‘satu’ dan ‘jenis’ sekaligus (إرادة الوحدة والنوع معا), seperti firman Allah ta’ala dalam surah an-Nuur ayat 45:
والله خلق كل دَابَّةٍ من مَاء
Keterangan: Maksudnya suatu jenis hewan dari segala jenis hewan itu berasal dari suatu jenis air, dan setiap satu ekor hewan itu berasal dari satu nuthfah
 (كل نوع من أنواع الدواب من أنواع الماء، وكل فرد من أفراد الدواب من فرد من أفراد النطف).
4.      Untuk membesarkan atau mengagungkan keadaan (التعظيم), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 279:
فأذنوا بحَرْبٍ من الله
Keterangan: Maksud حَرْبٍ di ayat tersebut adalah peperangan yang besar atau dahsyat (حرب عظيمة).
5.      Untuk menunjukkan arti banyak (التكثير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah asy-Syu’araa ayat 41:
أئن لنا لأَجْرًا
Keterangan: Maksud أَجْرًا pada ayat di atas adalah pahala yang banyak (أجرا وافرا).
6.      Untuk membesarkan (mengagungkan) dan menunjukkan banyak (التعظيم والتكثير معا), seperti firman Allah ta’ala dalam surah Faathir ayat 4:
وإن يكذبوك فقد كذبت رُسُلٌ من قبلك
Keterangan: Maksud رُسُلٌ pada ayat di atas adalah rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya (رسل عظام ذوو عدد كثير).
7.      Untuk meremehkan atau menganggap hina (التحقير), seperti firman Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa ayat 18:
من أي شَيْءٍ خلقه
Keterangan: Kata شَيْءٍ menunjuk pada sesuatu yang rendah, hina dan teramat remeh (من شيء هين حقير مهي).
8.      Untuk menyatakan sedikit (التقليل), seperti firman Allah ta’ala dalam surah at-Taubah ayat 72:
وعد الله المؤمنين والمؤمنت جنت تجري من تحتها الأنهر خلدين فيها ومسكن طيبة في جنت عدن ورِضْوَٰنٌ من الله أكبر
Keterangan: Kata رِضْوَٰنٌ artinya keridhaan yang sedikit (رضوان قليل), namun keridhaan yang sedikit dari Allah tersebut lebih besar daripada surga, karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan
(أي رضوان قليل منه أكبر من الجنات لأنه رأس كل سعادة).

C.     Penggunaan Isim Ma’rifat dalam Al-Qur’an
   Penggunaan isim ma’rifah mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
a.       Ma’rifah dengan  alif-lam (ال) berfugsi:
1.        Untuk menunjukkan kepada kata yang sudah disebut sebelumnya (أل للعهد الذكرى), seperti dalam surah (an-Muzammil : 15-16) : 
إنا أرسلنا إليكم رسولا شهيدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون رسولا (15)
 فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16)

Kata (الرسول) yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (رسولا) yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari penggunaan (ال) pada kata (الرسول) yang ketiga tersebut.
2.        Untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara (ال للعهد الذهنى ), seperti dalam surah (at-Taubah : 40) :
...إذ هما في الغار....                                                                                              
Kata (الغار) dalam ayat itu menunjuk kepada gua Hira, tempat Rasulullah bersama Abu Bakar ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke Madinah. Itu sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan gua Hira. 
3.        Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah (ال للعهد الحضرى) , dsb. Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم أكملت لكم دينكم ....
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah. Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang diturunkan pada hari Arafah ketika Nabi bersama para sahabatnya menunaikan ibadah haji.
4.      Menunjukkan kepada konotasi tertentu jika digunakan pada ism jenis. Artinya, penggunaan ال pada suatu ism jenis memberikan makna khusus antara lain:
5.      Untuk menunjukkan suatu kelebihan yang tidak dipunyai oleh yang lain (mubalaghah) seperti ungkapan زيد الرجل , artinya Zaid adalah seorang yang sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi semua ال yang dipakai dalam sifat-sifat Tuhan masuk dalam kategori ini.
6.      Untuk menegaskan hakikat keberadaan dari ism jenis tersebut seperti ال pada surah (Al-An’am :89):
...أولئك الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....
Adanya tambahan ال pada kata-kata tersebut menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga unsur tersebut, bukan mengandung pengertian mubalaghah seperti yang pertama.
7.      Menunjukkan untuk menghabiskan segala karakteristik jenis, seperti:
 ذَلِكَ الْكِتَابُ
Maksudnya, kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
8.      Untuk menyatakan bahwa makna dari kata yang memakai ال tersebut mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية). Di antara ciri ال ini adalah boleh diikuti oleh istitsna’ (pengecualian) setelahnya seperti[3]:
...إن الأنسان لفي خسر(2) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)
Dan boleh pula disifati dengan jamak seperti ال yang terdapat pada kata الطفل dalam surah (an-Nuur: 31) :
...أوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata الذين yang berfungsi sebagai sifat bagi الطفل adalah jamak dari الذي. Namun, di sini hal itu boleh terjadi karena الطفل memakai ال istighraqiyyah tersebut.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa masuknya ال pada suatu kata memberikan pengertian tertentu yang tidak dijumpai pada kata yang sama bila tidak memakai ال tersebut.
b.         Ma’rifah  dengan ‘alamiyah (nama) berfungsi untuk:
a)    Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (al-Fath: 29)
b)   Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (al-Lahab:1)
c.          Ma’rifah dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
a)    Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ (Lukman: 11)
b)   Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh”, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (al-Baqarah: 5)
c)    Menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ (al-‘Ankabut: 64)
d)   Memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (al-Baqarah: 2)
d.         Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi:
a)    Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah:
 وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا (al-Ahqaf [46]:17) 
dan firman-Nya:  وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf: 23)
b)   Untuk menunjukkan arti umum, seperti:
 وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (al-‘Ankabut: 69)
c)    Untuk meringkas kalimat, seperti: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آَذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا 
(al-Ahzab: 69). 
Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentunya pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
D.      Pengulangan Kata Benda (Isim)[4]
Apabila sebuah  isim disebutkan dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan:
  1. Kedua-duanya ma’rifah
Pengulangan kata yang sama dalam  satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat, maka kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata  yang kedua.
  1. Kedua-duanya nakirah
Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk Nakirah, maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang pertama
Contoh kedua macam ini terkumpul dalam surah ( al-Insyirah: 5-6) :
فإن مع العسر يسرا (5) إن مع العسر يسرا (6)                                                                                        
Penjelasan:
Al ‘Usr (العسر) “kesulitan” adalah isim ma’rifat dan yusron (يسرًا) “kemudahan”  adalah isim nakiroh. Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang dalam surat Alam Nasyroh hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya sama dengan al ‘usr dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim ma’rifah (seperti kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Jika isim ma’rifah  diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata yang pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam jinsi ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat pertama sama dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.
Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat al-Insyirah tersebut ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro (kemudahan) kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti kata yang tidak diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Secara umum, jika isim nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua berbeda dengan kata yang pertama.”Ini berarti ada satu kesulitan dan ada dua kemudahan. Dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata: Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa “al”.[5]
  1. Yang pertama nakirah, sedangkan yang kedua ma’rifah[6]
Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah, maka hakikat yang kedua (ma’rifah) sama dengan hakikat yang pertama (nakirah).
Contoh: (al-Muzzammil:15-16)
فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا 
  1. Yang pertama ma’rifah, sedangkan yang kedua nakirah
Jika yang pertama ma’rifah, sedang yang kedua nakirah, maka hakikat ma’rifah bergantung pada nakirah.[7]
Contoh: (az-Zumar: 27-28):  
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا

Dalam kaidah ushul fiqh, jika isim nakiroh terletak dalam konteks penafian/peniadaan, larangan, syarat, pertanyaan menunjukkan keumuman. misalnya pada ayat berikut:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا – Qs 4:36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” . ( An Nisa’ : 36 ).
Maka maksud dari ayat tersebut adalah larangan terhadap syirik baik itu syirik dalam niat, perkataan, perbuatan, baik itu dari syirik akbar, syirik ashghor/kecil, syirik yang tersembunyi (terletak di hati), syirik yang jelas. Maka terlarang bagi seorang hamba menjadikan tandingan apapun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sekutu pada salah satu dari semua hal-hal yang tersebut di atas.








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Isim nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Sedangkan isim ma’rifat adalah isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Penggunaan isim nakirah dan ma’rifah dalam al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi. Pengulangan kata benda atau isim yaitu apabila terdapat  isim yang disebutkan dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedangkan yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedangkan yang kedua nakirah.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.


[1] Muhammad ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, Al-Kawakib al-Durriyah syarah Mutammimah Jurumiyah, juz1, , Al-Haramain, Surabaya. Tt. Hal 45
[2] Musthafa al-Ghulayaini, Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyah, terj. Drs. H. Moh. Zuhri Dipl, TAFL, dkk. Asy-Syifa, (Semarang, 1992), hal.227
[3] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 266
[4] [4] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media, 272.
[5] [5] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media,273
[6] Hasbi Ash-Shidiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-Media, 274.
[7] Ibid