BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
adalah satu-satunya kitab suci yang kaya dengan makna, sehingga setiap orang
bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda-beda sesuai latar belakang sosial dan
latar belakang pengetahuannya. Akibatnya al-Qur’an pun
ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran
al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode
pertengahan Pada periode ini, berbagai
cabang keilmuan Islam, ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi
warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa aliran dengan
penafsiran yang berbeda-beda. Salah satuny adalah penafsiran dengan aliran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya?
2.
Apa
saja karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
3.
Bagaimana
karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
4.
Bagaimana
contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ajarannya.
2.
Untuk
mengetahui karya-karya tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3.
Untuk
mengetahui karakteristik penafsiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
4.
Mengetahui
dan memahami contoh penafsiran dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Ajarannya
Ahlus
sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan
kesepakatan / persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan
memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode
dan cara-cara keduanya. [1]
Cara
yang mereka tempuh dalam melakukan penafsiran terhadap alQur’an adalah menuruti
cara-cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rosyidin. Mengenai
aqidah mereka bisa disimpulkan sebagai berikut: [2]
1.
Wujudnya
Allah yang Maha Qadim (terdahulu).
Tidak
ada yang layak disembah selain Dia, tidak ada Pencipta selain Dia, yang
memiliki sifat yang Berilmu, Maha Berkuasa dan semua sifat-sifat yang sempurna.
Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Tidak berkata, tidak ada yang menyerupainya,
dan tidak beranak.
2.
Dzat-Nya
tidak bertempat pada sesuatupun yang hawadits ( bersifat baru).
Tidak
ada sesuatupun yang menyerupaiNya. Dia Maha Mendengar dan Maha Maha melihat.
Apabila Ia member pahala maka itu adalah karena kemurahanNya. Dan jika Dia
menghukum dengan siksa, maka itu adalah karena keadilannya. Para pemimpin
sesudah Rasulullah SAW adalah Khulafaur Rasyidin yang derajat keutamaan mereka
adalah menurut urutan tersebut. Karena itu kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
mengkafirkan seorangpun dari mereka, ataupun diantara semua kaum yang berkiblat
ke Baitullah umumnya, kecuali mereka yang mengingkari sesuatu yang diketahuinya
dari Agama. Ilnilah pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terpenting.
Aqidah ini diturunkan dan disimpulkan dari alQur’an dan Hadits.
Al-Qur’an
dan Sunnah adalah ushul (pokok) sedangkan aqidah adalah furu’ (cabang). Ahlus
Sunnah telah merumuskan kaidah-kaidah mereka berdasarkan anggapan bahwa
alQur’an al Karim adalah diatas jangkauan akal, meskipun pandangan mereka ini
berbeda dengan pandangan madzhab-madzhab lain.
B.
Karya-Karya
Tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Pengarangnya
adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Bakr bin Farih al-Anshori
al-Hazrajy al-Andalusy al-Qurtubi. Tafsir al-Qurtubi tidak mencantumkan
kisah-kisah dan sejarah-sejarah, tetapi hanya memusatkan perhatian pada tafsir
ayat-ayat hukum. Beliau juga mementingkan keterangan mengenai qiraat-qiraat., menerangkan
masalah-masalah nahwu, walaupun tidak panjang lebar dan menerangkan tentang
nasikh dan mansukh.
Ciri-ciri
lain dari tafsir ini ialah bahwa pengarangnya sedikit sekali menyebutkan
cerita-cerita Israilliyat dan hadis-hadis maudhu. Jikapun mengemukakan dengan
cerita Israilliyat atau hadis maudhu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam maka beliau selalu menyertainya dengan penolakan dan pembatalan.
Berkenaan
dengan hadis-hadis, beliau juga menyebutkannya tapi dengan menyertakan
identitas orang yang mengeluarkan hadis itu dan biasanya juga menyebutkan
rawinya. Sekalipun demikian, kita jumpai dalam kitab tafsir ini beberapa
riwayat Israilliyat dan hadis maudhu.
Misalnya
ketika beliau menafsirkan surah Yusuf ayat 24 dengan berkata: “Dan sunguh
wanita itu telah menginginkannya dengan bernafsu dan Yusufpun akan sudah menginginkannya
pula seandainya ia tidak melihat pertanda yang terang dari Tuhannya”. Berkenaan
dengan tanda yang terang dari Tuhan (burhan) itu, beliau mengemukakan
perkara-perkara Israilliyat yang tidak shahih.
Pengarangnya
adalah Imamul Jalil al-Hafidz Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir
bin Dhau’ul Bashary ad-Dimasyqy. Tafsir Imam Ibn Katsir dipandang sebagai salah
satu tafsir bil ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat dibawah tafsir Ibn
Jarir at-Thabari. Didalamnya beliau menafsirkan Kalamullah Ta’ala berdasarkan
hadis-hadis dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para
sahabat dan tabi’in, degan komentar tentang riwayat yang cacat dan adil.
Beliau juga
termasuk perintis dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Termasuk
diantar riwayat-riwayat yang munkar dan berbau Israilliyat, kadang-kadang
secara umum, adakalanya secara meyakinkan dengan uraian yang perinci. Sikap
yang demikian mungkin dipengaruhi oleh gurunya, yaitu Imam Ibn Taimiyah. Para
mufassir setelah beliau, semuanya tunduk kepada tafsir beliau yang tak syak
lagi penuh dengan kemuliaan dan kelebihan itu.
Sebagai contoh,
dalam menafsirkan awal surah Qaf, beliau mengomentari huruf Qaf tersebut dengan
mengatakan: “diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka berkata: Qaf
itu adalah nama gunun yang mengelilingi bumi, yang dinamai gunung Qaf”.
Seakan-akan beliau mengatakan: “Allah lebih mengetahui akan khurafat-khurafat
yang diada-adakan oleh Bani Israil”.
3.
Madarikut
Tanzil wa Haqaikut Ta’wil
Pengarangnya
adalah Abul Barakah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammadan-Nasafi, dari negeri “di
seberang sungai”. Imam an-Nasafi meringkas kitaf tafsirnya dari kitab tafsir
al-Kasysyaf karangan Imam Zamakhsyari dan kitab tafsir yang disusun oleh Imam
al-Baidhawy. Hanya saja beliau tidak menerima pendapat-pendapat Imam
Zamakhsyari yang bercorak mu’tazilah dan mengakui madzhab ahlus sunnah.
Kitab tafsir beliau berukuran sedang dan
banyak beredar di kalangan ilmu pengetahuan. Ciri-ciri khas tafsir beliau
antara lain: Dalam kitab tafsirnya banyak berlarut-larut dalam membahas ilmu
nahwu, dalam masalah qiraat beliau hanya membicarakan Qiraat Tujuh yang
mutawatir dan menisbatkan setiap qiraah kepada qari’nya, dalam menafsirkan ayat
hukum beliau mengemukakan pendapat madzhab dan menonjolkan pendapat madzhabnya,
dan sedikit mengutip riwayat israiliyat dengan disertai penolakan.[5]
Dalam menafsirkan kitabullah Ahlus Sunnah menempuh jalan yang telah
ditempuh oleh kaum salaf. Mereka berpegang pada dalil yang manqul/ dikutip dari
Rosulullah, juga dari sahabat-sahabat dan para tabiin, serta mereka juga
menggunakan akal. Akan tetapi jika mereka menjumpai nash yang shohih dan jelas
datangnya dari Rasulullah yang menafsirkan sebuah ayat, maka mereka menyisihkan
semua bentuk pemikiran manusia. Dalam mengkaji dan merenungi ayat ayat al-Qur’an
mereka tidak keluar dari aturan aturan bahasa Arab, dimana alQur’an diturunkan
dengan mempergunakan bahasa tersebut. Apabila mereka menjumpai sesuatu yang
nampaknya merupakan kontradiksi antara akal dan naql, mereka berupaya untuk
menyesuaikan antara keduanya tanpa keluar dari kaidah kaidah syar’i dan
lughawi.
Kaum Ahlus Sunnah, telah
bersepakat pada prinsip prinsip penafsiran sebagai berikut:
a.
Dalam
prinsip-prinsip aqidah selalu berpegang pada arti-arti lahiriah dari ayat-ayat
Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara terperinci mengenai perkara yang
boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak boleh.
b.
Mengenai
lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat Allah,
maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan
berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh
Allah.
c.
Apabila
ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya dapat diperoleh satu
pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan pendapat secara
ijma’
(Tafsir Al-Qurtubi Oleh Imam Abu
'Abdullah Al-Qurtubi).
Dalam kitab tafsir al-Qurtubi surah al-Baqarah ayat 29 adalah
sebagai berikut :
وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما
شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير
من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى
ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير
معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم
: نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم :
نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
Barkata al-Qurtubi dalam tafsirnya :
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan
manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat :
Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan
ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat
ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang
bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi
Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak
terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya
tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong
keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan
menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah
(orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata :
“kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna
dhohir.
وهذه
الآية من المشكلات . والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه . قال بعضهم :
نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها . وذهب إليه كثير من الأئمة .
وهذا
كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى
ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى . قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان
به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله
ظاهر اللغة . وهذا قول المشبّهة . وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها
على ظاهرها .
Dan ayat
ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit. Dan manusia pada ayat ini dan pada
ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga pendapat:
a. Sebagian
mereka berkata kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam.
b. Pendapat
ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik bahwa seseorang bertanya kepada
nya tentang firman Allah (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa). Imam Malik
menjawab: Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal
(mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan
saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia.
c. Dan
sebagian mereka berkata: kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna
bahasa (lughat). Pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata: kami bacakan
dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahlus
sunnah adalah ahlul-haqqi wal-jama’ah (orang-orang yang menetapi kebenaran dan
kesepakatan/persatuan). Dalam menetapkan aqidah, mereka menempuh jalan
memadukan antara akal dan naql. Mereka mengikuti jejak Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi serta tokoh-tokoh yang mengikuti metode
dan cara-cara keduanya. Ada banyak karya-karya tafsir al-Qur’an yang beraliran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, beberapa diantaranya adalah tafsir karya Ibn Katsir,
al-Qurtubi, an-Nasafi, dll.
Karakteristik
dalam penafsiran beraliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah selalu berpegang pada
arti-arti lahiria dari ayat-ayat Kitabullah dan Sunnah tanpa menjelaskan secara
terperinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak
boleh, lafadz yang pada dhohirnya tidak sesuai dengan kesucian Dzat dan Sifat
Allah, maka wajib secara qath’i untuk memalingkannya dari arti lahiriahnya dan
berpegang pada keyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh
Allah, dan apabila ayat yang mutasyabih mempunyai satu ta’wil yang darinya
dapat diperoleh satu pemahaman yang dekat, maka dalam hal ini wajib dikemukakan
pendapat secara ijma’.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta
kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan
konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Basuni
Fawdah, Mahmud. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka). 1987.
Al-Qurtubi,
Abu 'Abdullah. Al-Jami’ Li
Ahkamil Qur’anil ‘Adzim. (Beirut: Dar al-Fikr).
[1] Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 93
[2]
Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 94
[3]
Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 91
[4]
Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 58
[5]
Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 83
[6]
Mahmud Basuni
Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka), 1987, hlm. 96
[7] Abu 'Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami’
Li Ahkamil Qur’anil ‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 254