BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara bahasa, hadits berarti
baru, dekat, dan kabar. Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan ketetapan (taqrir)
Nabi Muhammad S.A.W.. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian
hadits hanya pada perkataan Nabi Muhammad S.A.W. yang berkaitan dengan hukum,
sedangkan apabila mencakup pula perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum, maka disebut dengan ”sunnah”.
Beranjak dari
pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan lebih dalam mengenai hal
yang berkaitan dengan hadits dan kehujjahan (kedudukan) hadits sebagai sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Inti ajaran
Islam dibangun di atas dua pondasi, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Akan tetapi kenyataannya ada beberapa
perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an menjelaskannya atau secara global saja,
atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah tentang tata cara shalat
yang tidak mungkin dipraktekan tanpa bantuan dari hadits Nabi. Karena Al-Qur’an
sendiri tidak menyebutkan tata cara shalat itu dan Al-Qur’an hanya menegaskan
wajibnya shalat lima waktu saja.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci
kemujmalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan hadits. Imam Abu Hanifah pernah berkata: ”Tanpa hadits tak seorangpun dari kita yang
dapat memahami Al-Qur’an”. Mempelajari Hadits Nabi
Muhammad S.A.W. juga mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda beliau
“Allah membuat bercahaya wajah seseorang
yang mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan
menyampaikannya…” (Abu Daud dan
At-Tarmidzi).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits?
2. Bagaimana bagian-bagian dalam hadits?
3. Bagaimana terminologi terkait hadits?
4. Bagaimana kehujjahan hadits dan hubungannya dengan
Al-Qur’an?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahaui pengertian hadist
2.
Mengetahui bagian-bagian dalam hadist
3.
Mengetahui terminlogi terkait hadist
4.
Mengetahui kehujjahan hadist dan hubungannya dengan Al-Qur’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hadist
1. Pengertian Hadits
Kata hadits berasal dari bahasa Arab, al-hadist
yang berarti hasil pembicaraan atau berita Nabi Muhammad S.A.W.. Dalam bahasa
Arab dapat dipakai sebagai kata sifat, yang bermakna al-jadid (yang
baru), lawan dari al-qadim (yang lama). Sedangkan secara istilah kata
hadits bermakna komunikasi, cerita, dan perbincangan baik berkaitan dengan
masalah keagamaan maupun keduniawian, bersifat historis maupun kekinian.[1]
Definisi hadits secara
terminologi disampaikan oleh para ulama secara berbeda-beda yang dapat
dirangkum sebagai berikut :
a.
Menurut ahli
hadits (Muhadditsun)
Hadits yaitu segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah S.A.W. baik berupa perkataan, perbuatn, ketetapan (taqrir), sifat
fisik, dan tingkah laku Rasulullah S.A.W., baik sebelum diangkat menjadi Rasul
maupun sesudahnya.[2]
b. Ulama Ushul Fiqh/Ahli Hukum (Ushuliyyun)
Hadits yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., selain Al-Quran
Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut
paut dengan hukum syara’ atau dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah.[3]
c.
Ulama Fiqh (Fuqaha’)
Hadist adalah segala perbuatan yang ditetapkan
oleh Rasulullah S.A.W., namun pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib,
dapat ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan lebih utama (afdhal)
untuk diamalkan.
d.
Ulama Lain
Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari
sahabat Nabi Muhammad S.A.W. dan tabi’in. Pendapat ini didasarkan pada adanya
istilah hadits marfu’ (hadist yang disandarkan kepada Nabi S.A.W.), hadist
mauquf (hadist yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi S.A.W.),
dan hadits maqtu’ (hadist yang disandarkan hanya sampai kepada tabi’in).
2. Sunnah, Khabar dan Atsar
Ada istilah lain yang digunakan untuk
mengungkapkan makna yang sama dengan arti hadits, yaitu sunnah, atsar, dan
khabar. Kebanyakan para ahli menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim.
Meskipun demikian, ada sebagian ahli menggunakan dalam makna yang berbeda.
Mereka menggunakan kata sunnah dan khabar semakna dengan istilah hadits dan
kata atsar untuk menunjukkan perkataan atau keputusan para sahabat.
a. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa sunnah merupakan jalan, arah,
peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup.[4] Dalam
kitab Mukhtar As-Sihah, disebutkan bahwa sunnah secara etimologis berarti tata
cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik yang terpuji maupun tercela.
Menurut istilah, para ulama juga berbeda-beda dalam memberikan definisi
terhadap sunnah:
a)
Menurut Ulama
Hadits (Muhadditsun)
Sunnah adalah segala apa yang menjadi
peninggalan Nabi Muhammad S.A.W. berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat
(watak budi atau fisik), atau tingkah laku Nabi Muhammad S.A.W., baik sebelum
masa kenabian maupun sesudahnya. Dalam hal ini, menurut mayoritas ulama, sunnah
merupakan sinonim dari hadits.
b)
Menurut Ulama
Ahli Hukum (Usul Fiqh)
Sunnah adalah segala perkataan yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad S.A.W. selain Al-Qur’an, perbuatan, atau ketetapan beliau
yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’.[5]
c)
Menurut Ahli
Fiqh (Fuqaha’)
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi S.A.W. yang
belum sampai pada tingkatan fardlu atau wajib.
b. Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang
disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangakan menurut istilah khabar
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. dan selain beliau,
sehingga mencakup hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’.
Khabar lebih cenderung sinonim dengan hadits, bahkan lebih luas dari hadits.
c. Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas/sisa sesuatu.
Para fuqaha’ memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama
salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah, atsar adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad S.A.W. yang secara
khusus dinamakan hadits mauquf.
B.
Bagian-Bagian Dalam Hadist
1.
Rawi
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a
minal al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istialah adalah:
ما ينتهى إليه السند من الكلام
“Suatu
kalimat tempat berakhirnya sanad”
Atau redaksi lain ialah:
ألفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Lafazh-lafazh
hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih silmpel lagi, yang menyebutkan bahwa
matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian di atas, menunjukan,
bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafazh hadis itu sendiri.
2.
Sanad
Kata Sanad merunurt bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang ita
jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya.
Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah
dan Al-Thiby mengatakan bahwa Sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن
“Berita
tentang jalan matan”.
Yang lain menyebutkan:
سلسلة الرجال الموصلة للمتن
“Silsilah
orang-orang (yang meriwayatkan hadist), yang menyampaikan kepada matan hadist”
Ada juga yang menyebutan:
سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الأول
“Silsialah
para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama”.
3.
Matan
Kata rawi secara bahasa berarti periwayatan. Sedangkan menurut
istilah ulumul hadist, rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadist (naqil al-hadist).
Dalam penelitian hadits,
terdapat cabang ilmu yang khusus membahas tentang kondisi perawi hadits, baik
ditinjau dari sisi positif maupun sisi negatif perawi hadits tersebut.
Ilmu tersebut dikenal dengan istilah “Ilmu Jarh dan Ta’dil”. Sebagian ahli
mengatakan bahwa ilmu Jarh dan Ta’dil tersebut sebenarnya berasal dari ilmu
Rijal Al-Hadits.
Seorang rawi merupakan salah
satu faktor penting keabsahan sebuah hadits, karena jika sebuah hadits berasal
dari rawi yang tidak terpercaya, bisa jadi itu bukanlah sebua hadits murni atau
asli, melainkan sebuah perkara yang dibuat-buat.
C.
Terminologi Terkait Hadist
1.
Istilah-Istilah Dalam Ilmu Hadist
a. Sanad
adalah sejarah perjalanan matan atau jalan yang menyampaikan kepada matan.
b. Matan
ialah perkataan yang bersanad.
c. Rowi
ialah orang yang meriwayatkan hadits atau khobar.
d. Al-Mukhorrij
ialah ahli hadits yang mengeluarkan hadits-hadits yang berbeda sanadnya dengan
hadits-hadits dari kitab seorang ahli hadits, tetapi tidak memenuhi standar
sanadnya penyusun kitab itu, seperti Abu Nu’aim mentakhrij hadits-hadits dalam
Shohih Bukhari dan Ahmad bin Hamdan mentakhrij hadits-hadits dalam Shohih
Muslim. Hadits-hadits yang ditakhrij para mukhorrij itu dikumpulkan dalam kitab
yang disebut Mustakhraj.
e. Al-Mudain
ialah orang yang mengkodifikasi (menyusun buku) hadits.
f. At-Thoriq
ialah jalan datangnya hadits dari seorang imam yang mendengarkan atau
mengeluarkan hadits.
g. Al-Muhaddits
ialah orang yang ahli dalam masalah hadits, mengetahui sanad-sanad, ilat-ilat
para perowi secara lengkap, mana yang rengking atas dan bawah, memahami Kutubut
Tis’ah, Mu’jam al Baihaqi, dan Mu’jam at Thabrany, dan hafal
sekurang-kurangnya 1000 hadits dengan sanadnya. Di antara imam-imamnya antara
lain yaitu ‘Atho bin Robah.
h. Al-Hakim
ialah seorang ahli hadits, mengetahui setiap rowi dengan sejarah hidupnya,
guru-gurunya, dan sifat-sifatnya yang baik maupun yang tercela.
Sekurang-kurangnya dia hafal 300 ribu hadits dengan sanadnya. Di antara
imam-imamnya adalah sebagai berikut:
-
Ibnu
Dinar, wafat 162 H.
-
Laits
bin Sa’ad, wafat 175 H.
-
Imam
Malik, wafat 179 H.
-
Imam
Syafi’I, wafat 204 H.
i. Al-Hafidz
ialah ahli hadits yang lebih khusus dari Al-Muhaddits. Sekurang-kurangnya
hafal 100 ribu hadits beserta sanadnya. Di antara Imam-imamnya adalah:
-
Imam
Al-Iraqi
-
Imam
Syarifuddin
-
Ibnu
Hajar Al-Asqolani
-
Ibnu
Daqiq Al-‘Id
j. Al-Hujjah
ialah gelar bagi orang yang sanggup menghafal 300 ribu hadits beserta sanadnya
seperti Al-Hakim, namun dari segi penguasaannya terhadap ilmu hadits
lebih umum dibandingkan dengan Al-Hakim. Di antara imamnya:
-
Hisyam
bin Urwah, wafat 146 H.
-
Abu
Hudzaid Muhammad bin Walid, wafat 149 H.
-
Muhammad
Abdullah bin Amr, wafat 242 H.
k. Amirul mu’minin
gelar khalifah bagi para Muhadditsin. Disebut ‘Amirul Mu’minin karena
mereka perintis dalam menyebarkan sunnah Rasulullah S.A.W di jamannya. Diantara
para muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain yaitu Syu’bah,
Sufyan At-Tsaury, Ishaq Ibn Rohawaih, Ahmad Ibn Hanbal, Al-Bukhari,
Ad-Darquthny, dan Muslim.
l. Musnid
ialah orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya.
m. Musnad
ialah kitab yang terkumpul di dalamnya hadits-hadits yang diriwayatkan setiap
sahabat. Seperti Musnad Imam Ahmad.
n. Riwayat
ialah perjalanan hadits atau khobar dari Nabi S.A.W.
2.
Cabang-Cabang Ilmu Hadist
a.
Ilmu
Rijal Al-Hadist
Ilmu
untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi
hadist ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena
pada saat ini ada dua yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al-Hadist memberikan
pengertian kepada persoalan khusus persoalan seputar sanad.
b. Ilmu Al-Jarah wa Ta’dil
Ilmu
yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga
dapat ditentukan siapa di antara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak
hadsit yang diriwayatkannya. Ilmu Al-Jarah wa Ta’dil ini dikelompokan oleh
sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada
sanad dan matan.
c. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu
untuk mengetahui para pwrawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatan
mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam
pada aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
d. Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu
yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist,
seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati’, menyebat
hadist marfu’ kepada hadsit mauquf.
e. Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu
yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan
dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai
mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang
dinamakan nasikh.
f. Ilmu Asbabi Wurudil Hadist
Ilmu
yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi
menuturkan itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar
Ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al-Ukbary dari murid Ahmad.
g. Ilmu Ghraib Al-Hadist
Ilmu
untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafadz-lafadz hadist
yang jauh dan sulit dipahami, karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun
150 H., mulailah bahasa Arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu
orang saja lago yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli
mengumpul kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan
kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab
dan mengsarahkannya.
h. Ilmu At-Tashif
Ilmu
pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah
titik/syakalnya atau bentuknya.
i. Ilmu Muktalif Al-Hadist
Ilmu
yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan,
kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara
keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit
difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
j. Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu
yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan
lahirnya. Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang ‘Am atau
mentaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi. Ilmu ini
dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist, di antara para ulama besar
yang telah berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafi’i, Ibnu Qutaibah,
dan Ibnul Jauzy kitabnya bernama At-Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad
Muhammad Syakir.
D.
Kehujjahan Hadist dan Hubungannya dengan Al-Qur’an
1.
Kehujjahan Hadits
Kehujjahan hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan hadits
yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i)
selain Al-Qur’an yang dibuktikan dengan dalil-dalil syari’ah.
Para ulama sepakat bahwa hadits menempati
kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Meskipun di dalam Al-Qur’an tidak pernah
diterangkan bahwa dasar hukum kedua adalah hadits. Hanya saja, konsep yang
menunjukkan kewenangan Nabi S.A.W dalam melahirkan sumber hukum kedua (hadits)
secara langsung dari Al-Qur’an dengan menyinggung tentang kepatuhan terhadap
Rasulullah S.A.W., bahkan merupakan suatu kewajiban mengikuti segala perilaku
Nabi S.A.W..[6]
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini
merupakan dalil-dalil serta kesepakatan ulama dalam membuktikan hadits sebagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an :
a.
Dalil Al-Qur’an
-
Dalam Al-Qur’an, Allah telah menerangkan kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup. Di antara ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
“Allah
sekali-sekali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik
(mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan
jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar”. (Q.S. Ali Imran: 179)
“Wahai orang-orang
yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan
hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (Q.S. An-Nisa’: 136).
- Dalam Al-Qur’an,
Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad S.A.W. Di antara ayat-ayat yang
dimaksud tersebut yaitu:
·
Sebagai
pensyarah (penafsir) Al-Qur’an
Allah S.W.T. berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Zikru, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S. An-Nahl:
44).
· Sebagai pembuat hukum (legislator)
Allah S.W.T.
berfirman:
“Nabi SAW menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari beban
yang melilit mereka” (Q.S. Al-A’raf: 157).
· Sebagai teladan kaum muslimin
Allah S.W.T.
berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mendambakan rahmat
Allah S.W.T. dan kedatangan hari kiamat dan dia selalu menyebut Allah”
(Q.S. Al-Ahzab: 21)
· Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin
Allah S.W.T.
berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul,
melainkan untuk ditaati dengan segala seijin Allah” (Q.S. An-Nisa:
64)
“Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (Q.S. An-Nisa: 80).
b.
Dalil Hadits
Nabi Muhammad S.A.W. bersabda:
·
"Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur’an dan yang seperti
Al-Qur’an (Hadits)" (H.R. Abu Daud).
·
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat
selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku” (H.R. Al-Hakim dan Malik).
·
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu
sekalian denganya” (H.R. Abu Daud
dan Ibn Majah).
c.
Kesepakatan (Ijma’) shahabat
Kesepakatan
umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan
yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah S.A.W. masih hidup
(langsung dari Nabi), sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ Al-Rasyidin
hingga masa-masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara
mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi
bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Banyak
peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber
hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa berikut:
·
Ketika
Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata:
“Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah S.A.W.,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
·
Saat
Umar bin Khatab berada di depan Hajar Aswad ia berkata
“Saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah S.A.W. menciummu, saya tidak akan menciummu”.
·
Ali
bin Abu Thalib berkata “Kami melihat Rasulullah S.A.W. berdiri, lalu kami
berdiri, dan beliau duduk, kami pun duduk”.
d.
Ijma
Ulama
·
Imam Abu Hanifah berkata:
“Apabila Hadits itu shahih,
maka itulah madzhabku”.
“Apabila aku mengemukakan
suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan khabar dari Rasulullah
S.A.W., maka tinggalkanlah pendapatku”.
·
Imam Malik berkata :
“Sesungguhnya aku adalah
manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku,
apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits maka ambillah. Setiap yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, tinggalkanlah”.
“Tidak seorangpun yang hidup
setelah Nabi S.A.W. kecuali sabdanya yang dibuat pegangan dan semua pendapat
ditinggalkan kecuali sabda Nabi .SA.W.”.
e.
Petunjuk Akal/ Ra’yu (logika)
Agama
Islam yang diikuti oleh umat sekarang ini adalah agama yang dibawa oleh utusan
Allah S.W.T. yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad S.A.W.. Jika kita percaya
kepada beliau sebagai utusan Allah S.W.T., kitapun tentunya wajib menaati
segala peraturan yang dibawanya. Sebab beliau hanya sekedar menyampaikan apa
yang diterima dari Allah S.W.T., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala
atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang
beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak
ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham, tetapi selalu dalam
petunjuk dan bimbingan-Nya, sehingga hasil ijtihad beliau tetap berlaku sampai
ada nash yang menasakhnya.
1. Hubungan dan Fungsi Hadist Terhadap
Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan.
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat
umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist berfungsi sebagai sumber ajaran kedua
setelah Al-Qur’an untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Qur’an
tersebut.
Sesuai firman Allah SWT:
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan” (QS.
An-Nahl:44)
Allah S.W.T. menurunkan Al-Qur’an agar dapat dipahami oleh manusia,
maka Rasulullah S.A.W. diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajaranya melalui hadist-hadistnya.
Fungsi hadits sebagai penjelas (bayan) Al-Qur’an dalam
pandangan ulama berbeda-beda, diantaranya:
a.
Imam Malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist
terhadap Al-Qur’an, yaitu:
-
Bayan At-Taqrir
-
Bayan At-Tafsir
-
Bayan At-Tafshil
-
Bayan Al-Ba’ts
-
Bayan At-Tasyri’
b.
Imam Syafi’i menyebutkan ada lima fungsi yaitu:
-
Bayan At-Tafshil
-
Bayan At-Takhshish
-
Bayan At-Ta’yin
-
Bayan At-Tasyri’
-
Bayan An-Nasakh
Berikut ini merupakan fungsi hadits yang disepakati oleh para
ulama:
1. Bayan At-Ta’kid
Bayan Al-Ta’qid disebut juga Bayan Al-Taqrir dan Bayan Al-Itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah
menetapkan, memperkokoh/memperkuat, dan mengungkapkan kembali isi/keterangan yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Contoh hadits yang diriwayatkan Muslim:
فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
Dari
Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah S.A.W. telah bersabda: “Apabila kalian
melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu
maka berbukalah” (H.R. Muslim)
Hadist ini Menguatkan ayat dalam
Surah Al-Baqarah ayat 185:
“Maka
barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”
(Q.S. Al-Baqarah:185)
2. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah hadist berfungsi untuk
menjelaskan secara pemerinci (tafsil) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan/persyaratan (taqyid)
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish)
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah,
qishahs, hudud, dsb.)
a.
Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-Qur’an:
Rasulullah S.A.W. bersabda:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى ومسلم)
“Shalatlah
sebagaimana engkau melihat aku shalat” (H.R. Bukhari). Hadist ini member rincian terhadap ayat: “Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'” Q.S. (Al-Baqarah: 43).
b.
Memberi batasan (taqyid) terhadap ayat Al-Qur’an:
Rasulullah S.A.W. bersabda: “Rasulullah S.A.W. didatangi
seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan”. Hadist ini memberi batasan terhadap ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38).
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38).
c.
Mengkhususkan (takhshish) keumuman ayat Al-Qur’an:
Nabi S.A.W. bersabda: “Tidaklah orang Muslim mewarisi dari orang
kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (H.R. Bukhari).
Hadist ini mengkhususkan keumuman ayat: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagiaan seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan ...” (Q.S. An-Nisa’: 11).
3. Bayan At-Tasyri’
Bayan
At-Tasyri’ adalah hadits berfungsi menetapkan dan membentuk hukum yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an. Contoh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
“Bahwasannya Rasulullah S.A.W. telah mewajibkan zakat fitrah kepada
umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim” (H.R. Muslim)
Fungsi hadits yang tidak disepakati mayoritas ulama:
1.
Bayan An-Nasakh
Bayan An-Nasakh
adalah mengubah/menghapus suatu hukum/ketentuan yang terdahulu meskipun jelas
kemudian diganti dengan ketentuan yang datang setelahnya.
Kata nasakh
secara bahasa berarti ibhtal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Menurut ulama Mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil
syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah
berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi dan syari’
(pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk
selama-lamanya (temporal).
Jadi ketentuan
yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena
yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.
Ketidakberlakuan suatu hukum (nasakh wa al-mansukh) harus memenuhi
syarat-syaratnya yang ditentukan, terutama syarat/ketentuan adanya naskh dan
mansukh. Contoh:
“Tidak
ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menasakh firman Allah S.W.T. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa”
Sementara yang
menolak naskh ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun
naskh tersebut dengan hadits mutawatir, lalu Mahdzab Zhahiriyyah dan Khawarij
yang juga menolaknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas, kita dapat mengetahui bahwa hadist merupakan salah satu pengangan umat
Islam setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Akan tetapi, kenyataannya ada
beberapa perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an menjelaskannya atau secara
global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang masih global itu perlu adanya suatu penjelas yang dapat
memericinkannya agar dapat diterima oleh umat Islam secara benar dan tepat.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci kemujmalan
Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan hadits. Imam
Abu Hanifah pernah berkata: ”Tanpa hadits tak seorangpun dari kita yang
dapat memahami Al-Qur’an”. Mempelajari hadits Nabi Muhammad S.A.W. juga
mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda beliau “Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang
mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan menyampaikannya…” (Abu Daud dan At-Tarmidzi).
B.
Saran
Penulis menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis
miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang
membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan
makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bukan Bintang.
'Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi
Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Imam Muhsin, dkk. 2005. Al-Hadist. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis.
Surabaya: Bina Ilmu.
Niamules. 2014. Pengertian Rawi dan Proses Tranformasi Hadist
diakses dari http://rusunawablog.wordpress.com pada tanggal 11-12-2014 pukul 09:53 WIB.
[1] Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj.
A. Yamin (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 17.
[2] Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj.
A. Yamin (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 19.
[3] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bukan Bintang, 1987), hlm. 20.
[4] Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj.
A. Yamin (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 20.
[5] Imam Muhsin dkk., Al-Hadist (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 11.
[6] Muhammad
Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis
terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 25.
Mumtaz dan mantab tulisannya, apa ini untuk materi tugas akhir ?
BalasHapus