Minggu, 17 April 2016

MENDEKATI SHALAT DALAM KEADAAN MABUK


Kesucian lahir dan batin dalam shalat merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah kita oleh Allah SWT. Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk terdapat dalam QS. An-Nisa: 43 yang menerangkan bagaimana seharusnya orang melakukan shalat, agar ia benar-benar suci lahir dan batin sehingga sempurna persiapannya untuk menghadap Tuhannya. Allah melarang hamba-Nya yang beriman agar tidak mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk yang seseorang tidak menyadari apa yang dia katakana dan agar tidak mendekati tempat pelaksanaan shalat (masjid). Hukum tersebut berlaku sebelum pengharaman khamr. Setelah ayat ini turun, maka jelaslah masalah khamr dengan sejelas-jelasnya, maka para sahabat tidak ada yang minum khamr ketika waktu-waktu shalat.
A.    Ayat al-Qur’an yang Berkaitan dengan Larangan Mendekati Shalat dalam Keadaan Mabuk
Setelah dilakukan penelitian di dalam kitab Mu’jam Mufahras Lil Alfadz al-Qur’an al-Karim dengan menggunakan kata kunci سكارى [1]dan تقربوا [2], hanya ditemukan satu ayat dalam al-Qur’an, yaitu surat an-Nisa ayat 43. Adapun ayat dan terjemahannya QS. An-Nisa ayat 43:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
B.     Asbabun Nuzul Ayat
Riwayat tentang asbabun nuzul surat An-Nisa’ ayat 43 ini banyak versi,  telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, dan Hakim dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Diantaranya ketika sahabat Ali bin Abi Thalib diundang oleh Abdur Rahman bin Auf yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi No. 2952 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا فَدَعَانَا وَسَقَانَا مِنْ الْخَمْرِ فَأَخَذَتْ الْخَمْرُ مِنَّا وَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَقَدَّمُونِي فَقَرَأْتُ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ قَالَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (
 Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdurahman bin Sa'd dari Abu Ja'far Ar Razi dari Atha` bin As Sa`ib dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali bin Abu Thalib ia berkata; "Abdurrahman bin 'Auf pernah membuatkan makanan dan menyajikan khamr untuk kami, sampai kami (mabuk) karenanya. Ketika waktu shalat telah tiba, mereka mendorongku (menjadi imam), kemudian aku membaca; Katakanlah (Muhammad): Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami akan menyembah apa yang kalian sembah." lalu Allah menurunkan (ayat): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan." QS An-Nisa`: 43. [3]
Pada suatu waktu Abdurrahman bin Auf mengundang Ali bin Abi Thalib dan kawan-kawan untuk berpesta. Pada pesta tersebut dihidangkan khamr (minuman keras) – pada saat itu belum turun ayat yang mengharamkannya – sehingga mereka mabuk. Ketika waktu shalat tiba, mereka menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk berdiri sebagai imam dalam melakukan shalat jama’ah. Pada waktu Ali bin Abi Thalib membaca surat Al-Kafirun terjadi kesalahan, yaitu: Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’budun wa-nahnu na’budu maa ta’buduun (katakanlah: wahai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang menjadi sesembahanmu. Dan kami menyembah apa yang kamu sembah). Sehubungan dengan kejadian itu, Allah SWT menurunkan ayat ke-34 sebagai peringatan bagi kaum muslimin dan sekaligus larangan melakukan shalat dikala sedang mabuk. Mereka diperbolehkan melakukan shalat setelah sadar dan sehat kembali, yaitu sampai mengatahui dan paham apa yang diucapkan di dalam hati dan sadar terhadap ucapan itu secara kal fikiran yang sehat.
Versi lain yang diriwayatkan oleh Ibn jarir dan ibn Mundhir dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya yang menjadi imam sholat itu adalah ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, bukan ‘Ali, dan shalatnya yang dikerjakan adalah shalat magrib. Sedangkan al-Wahidi, dalam riwayatnya tidak menyebutkan secara ekplisit siapa yang menjadi imam. Dalam riwayat yang lain, juga dikemukakan surat An-Nisa’ ayat 43 tersebut turun berkenaan dengan kasus seorang anshar yang sedang sakit dan tidak kuat bangun walau sekedar untuk berwudlu, sementara dia tidak punya pembatu, keadaan itu kemudian diceritakan kepada Nabi SAW, lalu tidak lama setelah itu turunlah ayat diatas, sebagai bimbingan  dan tuntunan tayamum bagi orang yang sakit, sedangkan versi menurut Ahmad Muhammad al-Hasri, mengemukakan bahwa ayat itu diturunkan usai peperangan al-Muraishi’ dengan asbabun nuzul sama yang asbabun nuzulnya dari ayat 6 dari surat al-Maidah. [4]

C.     Makna Mufradat
1.             Sukara (سُكَارَى) :  keadaan yang menunjukkan bahwa seseorang sedang hilang akalnya, kebanyakan disebabkan dari meminum khamr dan dapat mengakibatkan seseorang menjadi marah dan berbicara yang tidak jelas.[5]
2.             Junuban ((جُنُباً : hadas besar umpamanya disebabkan bersetubuh dengan perempuan atau keluar mani, wajib disucikan dengan mandi sebelum mengerjakan sembahyang.[6]
3.            ‘Abiri Sabil (عَابِرِي سَبِيلٍ): sekedar berlalu saja (tekstual), musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub (kontekstual).[7]
4.             Mardha (مَّرْضَى) : Kata Maridh berasal dari kata maradha yang berarti ‘sakit’. [8]Pengertian penyakit menjadi dua. Pertama, penyakit yang berkaitan dengan fisik atau jasmani, seperti penyakit kulit, luka, dan keletihan. Kedua, penyakit yang berkaitan dengan jiwa atau hati, seperti penakut, kikir, dan munafik. Apabila kata maridh di dalam al-qur’an disebut di dalam bentuk maridh (kata sifat) atau maradha (jamak dari maridh) maka al-quran menggunakannya untuk pengertian sakit yang berkaitan dengan fisik.[9]
5.            Safar ((سَفَرٍ : perjalanan dan perpindahan dan muncul makna penyingkapan dan pemunculan. Dinamakan “Musafir” karena ia menyingkapkan tudung penutup wajahnya. Sedangkan Safar  berarti membuka wajah-wajah musafir dan akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup. Asfar al-qaum artinya mereka memasuki waktu pagi. Asfara artinya menerangi sebelum matahari terbit. Safara wajhuhu husnan wa asfara artinya wajahnya bersinar. Dalam Al-Qur’an ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfirah.[10]
6.             Al-Ghaith (الْغَآئِطِ): bagian yang rendah dari tanah seperti lembah; penduduk kampung dan desa-desa yang kecil biasa pergi ke tempat itu sewaktu membuang hajat, agar tidak terlihat oleh orang-orang.
7.             Lamasatu’nisa’ ((لاَمَسْتُمُ النِّسَاء: bercampur dengan isteri
8.             Tayammamu :(فَتَيَمَّمُواْ) bermaksudlah
9.             Ash-Sha’id :(صَعِيداً) permukaan tanah
10.         Ath-Thayyib :(طَيِّباً) yang suci
11.         Al-‘Afuwwu  :(عَفُوّاً)yang mempunyai maaf (kemudahan/kelapangan)
12.         Al-Ghafur  :(غَفُوراً)yang mempunyai maghfirah, sedangkan maghfirah adalah menutupi dosa-dosa dengan tidak mengabisinya.[11]

D.    Kategori Ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
QS. An-Nisa ayat 43 merupakan kategori surat madaniyyah murni, yaitu surat-surat madaniyah  (surat atau ayat yang diturunkan di Madinah) yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus madaniyah semua, tidak ada satupun yang makkiyah.

E.     Tafsir Ayat al-Qur’an yang Berkaitan dengan Larangan Mendekati Shalat dalam Keadaan Mabuk
1.      Penafsiran Al-Maraghi dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bagaimana manusia berada di sisi-Nya di tempat yang tenang, hadhirat yang suci yang menyelamatkannya dari ketakutan pada hari itu. Allah meminta agar tempat itu manusia menyempurnakan segala kekuatan akalnya, dan mengarahkannya ke hadhirat Allah Yang Maha Tinggi, sehingga tidak sibuk mengingat selain Dia. 


Artinya:
Janganlah kalian melakukan shalat dalam keadaan mabuk, sehingga sebelum melakukannya kalian benar-benar mengetahui apa yang akan dibaca dan dilakukan. Yang demikian itu disebabkan keadaan mabuk tidak mungkin mendatangkan kekhusyu’an, ketundukan dan keberadaan bersama Allah dengan bermunajat dengan Kitab-Nya, berdzikir dan berdoa kepada-Nya.[12]
 
 


Artinya:
 Khithab ini diarahkan kepada kaum Muslimin sebelum mabuk agar mereka menghindarkannya,  apabila mereka bermaksud hendak melaksanakan shalat, sehingga mereka selalu berhati-hati lalu menghindarkannya di setiap waktu. Larangan ini merupakan pendahuluan pengharaman mabuk secara tegas dan keras, sebab orang yang takut bila datang waktu shalat, sedangkan dia dalam keadaan mabuk akan meninggalkan “minum” sepenuh siang dan permulaan malam karena terpisah-pisahnya waktu shalat yang lima waktu dalam tenggang waktu ini.
Dengan demikian, mabuk hanya akan terjadi pada waktu tidur sesudah shalat isya’ hingga waktu sahur. Maka akan sedikitlah minum karena ia terkalahkan oleh tidur; dan pada permulaan siang sejak shalat subuh hingga waktu zuhur, waktu kebanyakan orang bekerja dan mencari nafkah, maka akan sedikitlah orang yang mabuk pada waktu itu kecuali orang-orang yang menganggur dan malas. Diriwayatkan, bahwa setelah turun ayat itu mereka meminum khamar sesduah shalat isya’, sehingga tatkala datang waktu shubuh mabuk mereka telah hilang, dan sadar akan apa yang mereka katakana.[13]

Artinya:
Ada perbedaan makna antara kedua uslub: la tawrabu ‘sh-shalata wa antum sukara dengan la taqrabu ‘sh-shalata sukara. Yang pertama mengandung larangan untuk mabuk yang ditakutkan akan berketerusan hingga waktu shalat, sehingga melakukannya dalam keadaan mabuk itu. Makna ringkasnya, hindarkanlah agar mabuk itu tidak menjadi sifat kalian ketika datang waktu shalat, sehingga kalian melakukan shalat dalam keadaaan mabuk. Kepatuhan terhadap larangan ini baru bisa terlaksana dengan meninggalkan mabuk pada waktu shalat dan waktu-waktu menjelang shalat. Sedangkan yang kedua hanya mengandung larangan shalat dalam waktu mabuk saja. [14]

2.      Penafsiran Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir FI Zhilalil Qur’an
Ayat ini menjelaskan sebagian hukum-hukum shalat dan hukum thaharah yang merupakan pendahuluan shalat sebagai pelajaran kaum muslimin dari sisa-sisa tradisi jahiliah, yaitu meminum khamr. Islam dapat menyelesaikan gejala yang sudah mendalam di kalangan masyarakat jahiliah ini dengan beberapa ayat al-Qur’an saja yang dilakukan secara gradual (bertahap), dan dengan lemah lembut dan perlahan-lahan. Ya tentu saja terjadi ketegangan, namun tidak sampai terjadi peperangan atau tanpa jatuh korban dan pertumpahan darah. Khamr merupakan unsur pokok dari materi unsur-unsur kebudayaan masyarakat jahiliah. Banyak cerita mengenai peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahap-tahap pengharaman khamr dalam masyarakat muslim dan tokoh-tokoh yang merupakan pahlawan dalam peristiwa ini, di antaranya Umar, Ali bin Abi Thalib, Hamzah, dan Abdur Rahman bin Auf yang menghiasi proses perjalanan fenomena ini dikalangan kaum jahiliah Arab. [15]
Sesungguhnya ini adalah jalan tengah menghentikan kebiasaan minuman keras antara menjauhkan orang dari khamr karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan mengharamkannya dengan langsung karena peminumnya merupakan kotor dan termasuk perbuatan setan. Caranya ialah dengan melarang meminum minuman keras ketika sudah dekat waktu-waktu shalat, yang antar waktu shalat dengan waktu shalat yang lain tidak cukup bagi seseorang yang suka mabuk-mabukkan untu memminum hingga sadar kembali dari mabuk agar mengerti apa yang mereka ucapkan. Terjadi pertentangan batin antara menunaikan shalat dan meminum minuman keras. Sedangkan hati sudah sampai pada kesadaran bahwa shalat merupakan tiang kehidupannya. Hingga ketika telah tiba untuk memberikan keputusan yang pasti maka turunlah dua ayat dalam surat al-Maidah: 90-91, maka berhentilah kaum muslimin secara total.
Sesungguhnya kehiduapan manusia pada zaman jahiliah terjadi karena dua hal. Pertama, kosongnya ruh dari iman. Kedua, kosongnya ruh dari memperlihatkan kepentingan-kepentingan besar yang dapat menyelamatkan potensi manusia. 


























[1] Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Lil Alfadz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), hlm. 600
[2] Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Lil Alfadz al-Qur’an al-Karim, hlm. 376
[3] Software Lidwa
[4] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakaerta: Rajawali Press, 1989), hlm. 242
[5] Ar-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) hlm. 242
[6] Fachruddin Hs, Ensiklopedia al-Qur’an Jilid 1(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 574
[7] Abu Muthiah, Jajak Pendapat Tentang Poligami, hlm. 13
[8] Sahabuddin, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 591
[9] Ar-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran, hlm. 486
[10] Ar-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran, hlm. 239
[11] Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj.Jilid 5 (Semarang: Toha Putra, 1986), hlm. 75
[12] Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, hlm. 46
[13] Maraghi, Tafsir Al-Maragh, hlm. 46
[14] Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, hlm. 47
[15] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 2 (Robbani Press), hlm. 371