Kesucian lahir dan batin dalam shalat
merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah kita oleh Allah SWT. Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan larangan mendekati shalat
dalam keadaan mabuk terdapat dalam QS. An-Nisa: 43 yang menerangkan bagaimana seharusnya orang melakukan
shalat, agar ia benar-benar suci lahir dan batin sehingga sempurna persiapannya
untuk menghadap Tuhannya. Allah melarang hamba-Nya yang beriman agar
tidak mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk yang seseorang tidak menyadari apa
yang dia katakana dan agar tidak mendekati tempat pelaksanaan shalat (masjid).
Hukum tersebut berlaku sebelum pengharaman khamr. Setelah ayat ini turun, maka
jelaslah masalah khamr dengan sejelas-jelasnya, maka para sahabat tidak ada
yang minum khamr ketika waktu-waktu shalat.
A.
Ayat
al-Qur’an yang Berkaitan dengan Larangan Mendekati Shalat dalam Keadaan Mabuk
Setelah dilakukan penelitian di dalam kitab Mu’jam Mufahras Lil
Alfadz al-Qur’an al-Karim dengan menggunakan kata kunci سكارى
[1]dan
تقربوا [2],
hanya ditemukan satu ayat dalam al-Qur’an, yaitu surat an-Nisa ayat 43. Adapun
ayat dan terjemahannya QS. An-Nisa ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم
مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً
فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci). sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun.
B.
Asbabun
Nuzul Ayat
Riwayat tentang asbabun nuzul surat An-Nisa’ ayat 43 ini banyak
versi, telah
dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam
Nasa’i, dan Hakim dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Diantaranya ketika sahabat
Ali bin Abi Thalib diundang oleh Abdur Rahman bin Auf yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi No. 2952 sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيِّ عَنْ عَطَاءِ
بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ قَالَ صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا
فَدَعَانَا وَسَقَانَا مِنْ الْخَمْرِ فَأَخَذَتْ الْخَمْرُ مِنَّا وَحَضَرَتْ
الصَّلَاةُ فَقَدَّمُونِي فَقَرَأْتُ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ قَالَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
تَعَالَى)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami 'Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdurahman bin Sa'd
dari Abu Ja'far Ar Razi dari Atha` bin As Sa`ib dari Abu Abdurrahman As Sulami
dari Ali bin Abu Thalib ia berkata; "Abdurrahman bin 'Auf pernah
membuatkan makanan dan menyajikan khamr untuk kami, sampai kami (mabuk)
karenanya. Ketika waktu shalat telah tiba, mereka mendorongku (menjadi imam),
kemudian aku membaca; Katakanlah (Muhammad): Hai orang-orang kafir, aku tidak
akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami akan menyembah apa yang kalian
sembah." lalu Allah menurunkan (ayat): "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan." QS An-Nisa`: 43. [3]
Pada suatu
waktu Abdurrahman bin Auf mengundang Ali bin Abi Thalib dan kawan-kawan untuk
berpesta. Pada pesta tersebut dihidangkan khamr (minuman keras) – pada saat itu
belum turun ayat yang mengharamkannya – sehingga mereka mabuk. Ketika waktu
shalat tiba, mereka menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk berdiri sebagai imam dalam
melakukan shalat jama’ah. Pada waktu Ali bin Abi Thalib membaca surat
Al-Kafirun terjadi kesalahan, yaitu: Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa
ta’budun wa-nahnu na’budu maa ta’buduun (katakanlah: wahai orang-orang kafir!
Aku tidak menyembah apa yang menjadi sesembahanmu. Dan kami menyembah apa yang
kamu sembah). Sehubungan dengan kejadian itu, Allah SWT menurunkan ayat ke-34
sebagai peringatan bagi kaum muslimin dan sekaligus larangan melakukan shalat
dikala sedang mabuk. Mereka diperbolehkan melakukan shalat setelah sadar dan
sehat kembali, yaitu sampai mengatahui dan paham apa yang diucapkan di dalam
hati dan sadar terhadap ucapan itu secara kal fikiran yang sehat.
Versi lain yang diriwayatkan oleh Ibn jarir dan
ibn Mundhir dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya yang menjadi imam sholat itu
adalah ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, bukan ‘Ali, dan shalatnya yang dikerjakan
adalah shalat magrib. Sedangkan al-Wahidi, dalam riwayatnya tidak menyebutkan
secara ekplisit siapa yang menjadi imam. Dalam riwayat yang lain, juga
dikemukakan surat An-Nisa’ ayat 43 tersebut turun berkenaan dengan kasus
seorang anshar yang sedang sakit dan tidak kuat bangun walau sekedar untuk
berwudlu, sementara dia tidak punya pembatu, keadaan itu kemudian diceritakan
kepada Nabi SAW, lalu tidak lama setelah itu turunlah ayat diatas, sebagai
bimbingan dan tuntunan tayamum bagi orang yang sakit, sedangkan versi
menurut Ahmad Muhammad al-Hasri, mengemukakan bahwa ayat itu diturunkan usai
peperangan al-Muraishi’ dengan asbabun nuzul sama yang asbabun nuzulnya dari
ayat 6 dari surat al-Maidah. [4]
C.
Makna
Mufradat
1.
Sukara
(سُكَارَى) : keadaan yang
menunjukkan bahwa seseorang sedang hilang akalnya, kebanyakan disebabkan dari
meminum khamr dan dapat mengakibatkan seseorang menjadi marah dan berbicara
yang tidak jelas.[5]
2.
Junuban
((جُنُباً : hadas besar umpamanya disebabkan bersetubuh dengan perempuan atau
keluar mani, wajib disucikan dengan mandi sebelum mengerjakan sembahyang.[6]
3.
‘Abiri
Sabil (عَابِرِي سَبِيلٍ): sekedar berlalu
saja (tekstual), musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan
junub (kontekstual).[7]
4.
Mardha
(مَّرْضَى) : Kata Maridh berasal dari kata maradha
yang berarti ‘sakit’. [8]Pengertian
penyakit menjadi dua. Pertama, penyakit yang berkaitan dengan fisik atau
jasmani, seperti penyakit kulit, luka, dan keletihan. Kedua, penyakit
yang berkaitan dengan jiwa atau hati, seperti penakut, kikir, dan munafik.
Apabila kata maridh di dalam al-qur’an disebut di dalam bentuk maridh (kata
sifat) atau maradha (jamak dari maridh) maka al-quran menggunakannya untuk
pengertian sakit yang berkaitan dengan fisik.[9]
5.
Safar
((سَفَرٍ : perjalanan dan perpindahan dan muncul makna penyingkapan dan
pemunculan. Dinamakan “Musafir” karena ia menyingkapkan tudung penutup
wajahnya. Sedangkan Safar berarti membuka wajah-wajah musafir dan
akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup. Asfar
al-qaum artinya mereka memasuki waktu pagi. Asfara artinya
menerangi sebelum matahari terbit. Safara wajhuhu husnan wa asfara artinya
wajahnya bersinar. Dalam Al-Qur’an ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfirah.[10]
6.
Al-Ghaith
(الْغَآئِطِ): bagian yang rendah dari tanah seperti lembah; penduduk kampung dan
desa-desa yang kecil biasa pergi ke tempat itu sewaktu membuang hajat, agar
tidak terlihat oleh orang-orang.
7.
Lamasatu’nisa’
((لاَمَسْتُمُ النِّسَاء: bercampur dengan isteri
8.
Tayammamu :(فَتَيَمَّمُواْ) bermaksudlah
9.
Ash-Sha’id :(صَعِيداً) permukaan tanah
10.
Ath-Thayyib :(طَيِّباً) yang suci
11.
Al-‘Afuwwu
:(عَفُوّاً)yang mempunyai
maaf (kemudahan/kelapangan)
12.
Al-Ghafur
:(غَفُوراً)yang mempunyai
maghfirah, sedangkan maghfirah adalah menutupi dosa-dosa dengan tidak mengabisinya.[11]
D.
Kategori
Ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
QS. An-Nisa ayat 43 merupakan kategori surat madaniyyah murni,
yaitu surat-surat madaniyah (surat atau
ayat yang diturunkan di Madinah) yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus madaniyah
semua, tidak ada satupun yang makkiyah.
E.
Tafsir
Ayat al-Qur’an yang Berkaitan dengan Larangan Mendekati Shalat dalam Keadaan
Mabuk
1.
Penafsiran
Al-Maraghi dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bagaimana manusia berada di
sisi-Nya di tempat yang tenang, hadhirat yang suci yang menyelamatkannya dari
ketakutan pada hari itu. Allah meminta agar tempat itu manusia menyempurnakan
segala kekuatan akalnya, dan mengarahkannya ke hadhirat Allah Yang Maha Tinggi,
sehingga tidak sibuk mengingat selain Dia.
Artinya:
Janganlah kalian melakukan shalat dalam keadaan mabuk, sehingga
sebelum melakukannya kalian benar-benar mengetahui apa yang akan dibaca dan
dilakukan. Yang demikian itu disebabkan keadaan mabuk tidak mungkin
mendatangkan kekhusyu’an, ketundukan dan keberadaan bersama Allah dengan
bermunajat dengan Kitab-Nya, berdzikir dan berdoa kepada-Nya.[12]
Artinya:
Khithab ini diarahkan kepada kaum Muslimin
sebelum mabuk agar mereka menghindarkannya,
apabila mereka bermaksud hendak melaksanakan shalat, sehingga mereka
selalu berhati-hati lalu menghindarkannya di setiap waktu. Larangan ini
merupakan pendahuluan pengharaman mabuk secara tegas dan keras, sebab orang
yang takut bila datang waktu shalat, sedangkan dia dalam keadaan mabuk akan
meninggalkan “minum” sepenuh siang dan permulaan malam karena terpisah-pisahnya
waktu shalat yang lima waktu dalam tenggang waktu ini.
Dengan demikian, mabuk hanya akan terjadi pada waktu tidur sesudah
shalat isya’ hingga waktu sahur. Maka akan sedikitlah minum karena ia
terkalahkan oleh tidur; dan pada permulaan siang sejak shalat subuh hingga
waktu zuhur, waktu kebanyakan orang bekerja dan mencari nafkah, maka akan
sedikitlah orang yang mabuk pada waktu itu kecuali orang-orang yang menganggur
dan malas. Diriwayatkan, bahwa setelah turun ayat itu mereka meminum khamar
sesduah shalat isya’, sehingga tatkala datang waktu shubuh mabuk mereka telah
hilang, dan sadar akan apa yang mereka katakana.[13]
Artinya:
Ada perbedaan
makna antara kedua uslub: la tawrabu ‘sh-shalata wa antum sukara dengan la
taqrabu ‘sh-shalata sukara. Yang pertama mengandung larangan untuk mabuk
yang ditakutkan akan berketerusan hingga waktu shalat, sehingga melakukannya
dalam keadaan mabuk itu. Makna ringkasnya, hindarkanlah agar mabuk itu tidak
menjadi sifat kalian ketika datang waktu shalat, sehingga kalian melakukan
shalat dalam keadaaan mabuk. Kepatuhan terhadap larangan ini baru bisa
terlaksana dengan meninggalkan mabuk pada waktu shalat dan waktu-waktu
menjelang shalat. Sedangkan yang kedua hanya mengandung larangan shalat dalam
waktu mabuk saja. [14]
2.
Penafsiran
Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir FI Zhilalil Qur’an
Ayat ini
menjelaskan sebagian hukum-hukum shalat dan hukum thaharah yang merupakan
pendahuluan shalat sebagai pelajaran kaum muslimin dari sisa-sisa tradisi
jahiliah, yaitu meminum khamr. Islam dapat menyelesaikan gejala yang sudah
mendalam di kalangan masyarakat jahiliah ini dengan beberapa ayat al-Qur’an
saja yang dilakukan secara gradual (bertahap), dan dengan lemah lembut dan
perlahan-lahan. Ya tentu saja terjadi ketegangan, namun tidak sampai terjadi
peperangan atau tanpa jatuh korban dan pertumpahan darah. Khamr merupakan unsur
pokok dari materi unsur-unsur kebudayaan masyarakat jahiliah. Banyak cerita
mengenai peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahap-tahap pengharaman khamr
dalam masyarakat muslim dan tokoh-tokoh yang merupakan pahlawan dalam peristiwa
ini, di antaranya Umar, Ali bin Abi Thalib, Hamzah, dan Abdur Rahman bin Auf
yang menghiasi proses perjalanan fenomena ini dikalangan kaum jahiliah Arab. [15]
Sesungguhnya
ini adalah jalan tengah menghentikan kebiasaan minuman keras antara menjauhkan
orang dari khamr karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan
mengharamkannya dengan langsung karena peminumnya merupakan kotor dan termasuk
perbuatan setan. Caranya ialah dengan melarang meminum minuman keras ketika
sudah dekat waktu-waktu shalat, yang antar waktu shalat dengan waktu shalat
yang lain tidak cukup bagi seseorang yang suka mabuk-mabukkan untu memminum
hingga sadar kembali dari mabuk agar mengerti apa yang mereka ucapkan. Terjadi
pertentangan batin antara menunaikan shalat dan meminum minuman keras.
Sedangkan hati sudah sampai pada kesadaran bahwa shalat merupakan tiang
kehidupannya. Hingga ketika telah tiba untuk memberikan keputusan yang pasti
maka turunlah dua ayat dalam surat al-Maidah: 90-91, maka berhentilah kaum
muslimin secara total.
Sesungguhnya
kehiduapan manusia pada zaman jahiliah terjadi karena dua hal. Pertama, kosongnya
ruh dari iman. Kedua, kosongnya ruh dari memperlihatkan
kepentingan-kepentingan besar yang dapat menyelamatkan potensi manusia.
[1] Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Lil Alfadz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1992), hlm. 600
[2] Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Lil Alfadz al-Qur’an al-Karim, hlm. 376
[3] Software Lidwa
[4] A. Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakaerta:
Rajawali Press, 1989), hlm. 242
[5] Ar-Ragib
al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2004) hlm. 242
[6] Fachruddin Hs,
Ensiklopedia al-Qur’an Jilid 1(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 574
[7] Abu Muthiah, Jajak
Pendapat Tentang Poligami, hlm. 13
[8] Sahabuddin, Ensiklopedia
al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 591
[9] Ar-Ragib
al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran, hlm. 486
[10] Ar-Ragib
al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Alquran, hlm. 239
[11] Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, Terj.Jilid 5 (Semarang: Toha Putra, 1986), hlm. 75
[12] Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, hlm. 46
[13] Maraghi, Tafsir
Al-Maragh, hlm. 46
[14] Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, hlm. 47
[15]
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 2 (Robbani Press), hlm. 371